Eps. 6 Hal sepele tapi harus waspada

1596 Words
Author P.O.V Saat Jesi sampai di rumahnya, dia buru – buru masuk dengan wajah kesal. Mulutnya komat – kamit sendiri seakan menggerutu tidak terima. Mama Jesi yang melihat langsung mengernyitkan alisnya. “Kamu kenapa, Jes? Kok pulang – pulang manyun begitu,” “Gak apa – apa, Ma,” singkat Jesi sambil duduk “Yakin? Kamu terlihat sangat kesal loh,” “Ya memang Jesi sedang kesal, Ma. Kesal kepada iblis yang seenaknya memperlakukan Jesi seperti mainan,” “Iblis? Mainan? Apa maksudmu? Mama tidak mengerti. Dan, memangnya kamu bisa lihat iblis?” tanya mama Jesi bingung “Bukan itu maksud Jesi, Ma. Iblis itu hanya panggilan sarkas kepada orang yang nyebelin,” terang Jesi malas “Oo gitu. Gimana ceritanya kok dia bisa buat anak Mama semarah ini, hmm?” “Sebenarnya tadi itu....“ Ucapan Jesi menggantung seketika “Sudahlah, Ma. Gak penting juga,” Jesi memutuskan percakapannya dengan wajah yang nampak lesu. “Loh kok gitu. Kan Mama juga pengen tahu ceritanya sayang,” tutur mama Jesi penasaran Sebenarnya Jesi juga ingin menceritakan kejadian yang dialaminya tadi. Tapi karena saking lelahnya, dia sudah tidak punya tenaga untuk bersuara lagi. Toh mamanya juga gak tahu siapa orangnya. Jadi dia lebih memilih untuk tidak bercerita. “Jesi lelah, Ma. Mau istirahat. Jesi masuk kamar dulu ya,” pamit Jesi mengakhiri “Ya sudah. Jangan lupa bersihkan badanmu dulu,” jawab mama Jesi sambil tersenyum. Jesi yang berjalan gontai tetiba ingat sesuatu. Dia balik badan menghadap mamanya lagi. “Ma....” panggil Jesi lagi “Hemm,” “Bisakah mulai besok, Jesi bawa mobil lagi?” tanya Jesi hati – hati “Memangnya kamu sudah nerima perjodohan itu?” tanya balik mamanya “Enggak,” singkat Jesi “Ya berarti jawaban Mama juga enggak,” “Tapi, Ma, Jesi sudah gak kuat lagi tiap hari pulang pergi harus naik taksi. Mama tahu sendiri kan, Jesi gak suka bau taksi. Enakan pakai mobil sendiri. Apalagi uang saku Jesi dibatasi, hanya cukup buat bayar taksi dan makan di kantin,” terang Jesi sambil memelas “Lah itu kamu sudah tahu kalau uang sakumu dibatasi. Jadi kalau nanti kamu bawa mobil sendiri, terus isi bensinnya pakai apa?” Jesi nampak berpikir jernih. Iya juga ya “Ya kartu ATM Jesi aja dikembalikan lagi, Ma. Ya, Ma ya?” rengek Jesi sambil tersenyum “Gak bisa, Jes. ATM dan kunci mobil kamu kan ada di Kakekmu. Kamu lupa ya, yang narik fasilitas kamu itu Kakekmu, bukan Mama. Jadi kalau kamu mau itu kembali, minta saja sendiri sama Kakekmu,” terang mama Jesi panjang lebar Jesi sendiri tahu betul watak kakeknya itu. Jika dia sudah bilang A ya tetap A. Jadi jika Jesi mau fasilitasnya kembali, ya harus bersedia menerima perjodohan itu. Jesi akhirnya memilih kembali ke kamar dengan wajah cemberut serta kaki yang menendang – nendang ke udara. Mama Jesi yang melihat hanya menggeleng pasrah melihat kelakuan anak semata wayangnya itu. “Sebal, sebal, sebal. Aaahh sungguh menyebalkan. Kapan sih aku bisa bebas? Masak setiap hari harus naik taksi. Mau jajanpun harus dibatasi. Apa Mama gak tahu kalau temanku sampai ngecengin aku di kampus. Huh,” gerutu Jesi sambil merebahkan tubuhnya di atas kasur. Jesi memang bukan anak orang kaya. Tapi setidaknya, dia juga mendapat fasilitas yang lumayan baik dari keluarganya. Meskipun mobil yang dia gunakan juga terlihat sederhana dan tidak semewah dan semahal teman – temannya. Namun dia bersyukur masih bisa diijinkan memakai mobil keluarga. ATM yang dia punya-pun isinya cukup untuk memenuhi kebutuhan Jesi tiap bulannya. Sebab Jesi juga bukan tipekal anak yang boros. Dia tahu mana kebutuhan dan mana keinginan. Meskipun banyak yang ingin dia beli dan lakukan, tapi dia selalu memendam keinginannya tersebut. Didikan mamanya yang seorang single mother, menjadikan Jesi tumbuh menjadi anak yang baik dan tidak manja. Namun berbeda kali ini, sepertinya dia benar – benar tidak kuat lagi menghadapi kakek dan mamanya yang terus menerus menyuruhnya untuk menerima perjodohan itu. Bagi Jesi, mamanya boleh saja menyuruh apapun kepada Jesi, dan akan dia laksanakan dengan baik. Tapi tidak untuk urusan jodoh. Jesi benar – benar tidak bisa. Baginya memilih pasangan itu urusan hati. Saat menikah-pun dia juga yang akan merasakan dan menjalani biduk rumah tangga itu. Jadi dia tidak mau asal comot, apalagi dengan pria yang belum pernah dia temui. Bahkan namanya-pun dia tidak tahu dan tidak mau tahu. Jika saat Jesi kecil keinginannya adalah menikah dengan pangeran, tapi seiring berjalannya waktu dan umurnya sudah mulai dewasa, keinginannya kini tidak muluk – muluk. Hanya ingin menikah dengan pria baik yang menerima dia apa adanya. Mau berjuang bersama untuk sukses. Tidak mengekang Jesi, dan masih diperbolehkan bekerja untuk meraih cita – citanya. Yaitu menjadi pembisnis hebat dibidang makanan. Sebab Jesi suka sekali kulineran. Dan anehnya, badannya tidak pernah gemuk mau sebanyak apapun dia makan. Sungguh suatu anugrah, bukan. Dia juga ingin memperbesar usaha catering mamanya. Agar kelak mamanya bisa memiliki tempat yang jauh lebih luas dan layak. “Haduh, gimana caranya ya ngomong sama Kakek?” gumam Jesi seorang diri. Dia mencoba berfikir cara mendapatkan fasilitasnya kembali. Saat mengingat perjodohan itu lagi, mata Jesi kembali memerah. “Pokoknya aku tidak mau menikah dengan Paman itu. Aku tidak peduli status dan wajahnya. Aku tidak mau menjadi istri dari pria itu. Meski umurnya belum sampai 30, tetap saja bagiku itu tua. Secara umurku saja belum genap 20 tahun. Dan saat ini, hanya ada dua orang yang sangat ku benci. Paman yang akan dijodohkan denganku, dan malaikat yang berhati iblis itu,” geram Jesi mengepalkan tangannya. Mengingat kembali kejadian dirinya diturunkan di tengah jalan tadi, membuat suasana hati Jesi kembali memanas. “Saat aku bertemu dengannya lagi. Akan ku buat perhitungan dengannya,” batin Jesi mengeram. . Disisi lain, Tok tok tok.... Suara daun pintu membuyarkan fokus Juan yang saat ini sedang mengecek berkas di meja kerjanya. “Masuk,” titah Juan singkat Haris berjalan memasuki ruang kerja Juan yang sangat luas dan nyaman itu. Pemandangan mentari di sore hari, sangat cantik jika dilihat dari kaca besar ruang kerja Juan. Kebetulan ruang kerjanya berada di lantai paling atas bangunan itu. Dan di lantai tersebut hanya ada satu – satunya ruangan disitu. Jadi bisa dipastikan betapa megah dan luasnya ruang kerja Juan. “Pak, saya kesini ingin melaporkan tugas yang Bapak perintahkan tadi siang,” tutur Haris sopan Haris memang asisten yang dapat diandalkan oleh Juan. Segala bentuk perintah dari Juan, dia bisa menyelesaikannya kurang dari 24 jam. Tak heran jika gajinya sangat tinggi. Dan bagi Juan yang memiliki begitu banyak harta, uang segitu sangat kecil dan tidak ada apa – apanya dibandingkan kekayaannya. Dulu perusahaan itu dibangun oleh ayahnya hingga berjaya. Tapi semenjak diturunkan kepada Juan, perusahaan itu semakin sukses dan melambung tinggi. Alpha Grup menjadi satu – satunya perusahaan tersohor dan terkenal di benua Asia ini. “Lanjutkan!” singkat Juan tanpa menoleh ke arah Haris. Dia masih betah menatap berkas – berkasnya. “Yang pertama saya akan melaporkan tentang identitas, Lee Min Ho dulu, Pak. Dia seorang aktor yang terkenal di Korea Selatan. Namanya juga terkenal dimana – mana. Dan, Nona Jesi sangat mengidolakannya. Nona Jesi bahkan menempelkan banyak poster di dinding kamarnya. Walpaper di ponselnya juga wajah Lee Min Ho itu, Pak,” terang Haris panjang lebar. Jangan ditanya kenapa Haris bisa tahu. Karena informasi seperti itu sangat mudah ditangani. Bahkan jika informasinya ada di dalam goa sekalipun. “Seperti apa sih wajahnya hingga dia seantusias itu?” tanya Juan penasaran “Ini Pak fotonya,” Haris menyodorkan ponselnya ke atas meja Juan. Dia sengaja memperbesar layarnya agar bisa dilihat oleh atasannya “Oh itu,” singkat Juan yang hanya melirik sekilas ke layar ponsel itu, dan kembali mengecek berkas dengan wajah datarnya. Dia memang tampan, tapi ekspresi dan perkataan singkat dari Juan, menandakan bahwa dirinya juga masih layak bersaing karena ketampanannya juga. Hanya saja bedanya dia bukan artis. “Dan yang kedua. Pria yang mengobrol dengan Nona Jesi itu bernama, Adam Mahardika. Dia putra pertama, Bapak Mahardika. Keluarganya memiliki perusahaan kecil yang bergerak dibidang kontruksi. Namanya PT. Mahardika. Saat ini usianya 20 tahun. Pria itu kakak tingkat Nona Jesi. Dia jatuh hati pada Nona Jesi saat melihatnya pertamakali waktu ospek. Kebetulan dia yang mengospek Nona Jesi, Pak. Dan semenjak itulah, Adam selalu mendekati Nona Jesi. Dia selalu berusaha meluluhkan hati Nona Jesi,” terang Haris dengan mantap “Respon Jesi gimana?” tanya Juan lagi Dia tidak peduli dengan perasaan pria itu. Selagi Jesi tidak suka, tidak jadi masalah buat Juan. “Itu dia saya tidak tahu, Pak,” “Maksud kamu, kamu tidak bisa mencari tahu sikap Jesi kepadanya? Itu bahkan hal yang mudah loh. Masak gak bisa,” tutur Juan sarkas dengan tangan masih sibuk mengecek berkasnya. “Bukan itu maksud saya, Pak,” “Jadi?” Haris nampak kebingungan untuk menjelaskan. Dia berhenti sejenak untuk mengambil nafas sebelum melanjutkan kembali “Dari informasi yang saya terima. Nona Jesi tidak pernah menolak dia secara langsung, Pak. Terkadang respon Nona Jesi menjauh. Namun terkadang, Nona Jesi juga tidak menghindar saat dihampirinya. Bahkan pernah ada gosip mereka pacaran, karena seringnya Adam menemui Nona Jesi di kelasnya,” terang Haris panjang lebar Juan yang sedari tadi sibuk menatap berkas, seketika berhenti mendengar penjelasan dari Haris. Sorot matanya menajam hingga membuat bulu kuduk merinding melihatnya. “Keluarganya memang tidak sebanding denganku. Tapi mendengar penjelasanmu tadi, sepertinya dia akan menjadi masalah dikemudian hari,” tutur Juan dengan menggertakan giginya. “Bereskan dia,” perintah Juan sambil mengepalkan tangannya. “Baik Pak,” jawab Haris dengan tegas Entah apa yang dipikirkan Juan. Rasanya tatapan tajam dan semburat merah di wajahnya, seakan menandakan bahwa dirinya sedang cemburu. TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD