13. Aku Tidak Sendirian Lagi

1369 Words
Pelajaran olahraga sudah berlalu sejak enam jam yang lalu, namun Tulip masih bingung dengan apa yang ia rasakan. Sebisa mungkin ia fokus ke pelajaran, ia takut mengidap sebuah penyakit yang membahayakan. Udara dingin masih terus menyelimutinya beberapa hari terakhir. Ia takut sakitnya semakin parah, bukan hanya alergi seperti biasanya. Bahkan sampai di rumah pun, ia masih juga memikirkan kejadian itu. "Kamu kenapa? Dari tadi banyak ngelamun," tegur Aaron. Kini Tulip sedang duduk di atas karpet di kamar Aaron. "Kak, setelah jam pelajaran olahraga tadi, jantungku deg-degan," ujar Tulip. "Ya kalo gak deg-degan, tandanya kamu udah mati," jawab Aaron santai sembari menyusun buku-bukunya di lemari. Ia punya lemari kaca khusus buku, tidak hanya satu melainkan tiga. "Kakak! Aku serius!" sungut Tulip. "Aku juga serius, apa yang salah?" tanya Aaron sembari menengok sebentar, kemudian lanjut menyusun buku lagi. Tulip hanya diam sembari memanyunkan bibirnya. Melihat itu Aaron bicara lagi, "Ada yang sakit, gak?" Tulip hanya menggeleng. Aaron berhenti membereskan buku dan berpindah duduk di kursi belajarnya. "Kalo gak ada yang sakit, mudah-mudahan aman. Kalo tiba-tiba deg-degan kaya gitu, mungkin kamu kecapekan atau terkejut setelah liat atau teringat sesuatu," jelas Aaron. "Terkejut?" tanya Tulip dengan memperlihatkan ekspresi seperti orang yang sedang berpikir. "Terkejut bukan berarti kaya kaget karena dikagetin orang atau jatoh, atau hal mengejutkan lainnya. Kadang ada kondisi dimana tubuh kita memberikan respon 'kaget' pada sesuatu yang kita sendiri gak sadar." "Bahasa Kakak terlalu berat," keluh Tulip. "Tapi kayanya ada benernya," tambah Tulip lagi. "Kamu gak lagi suka sama seseorang, kan?" tanya Aaron menyelidik, ia mulai mencurigai Tulip. "Cih! Enak aja! Udahlah, aku mau mandi," ujar Tulip seraya beranjak dari posisi duduknya. Ia masih menolak dengan keras tentang apapun yang berhubungan dengan hal percintaan. 'Semoga kamu memang gak suka sama orang lain untuk sekarang, aku gak mau kamu disakitin. Kamu terlalu gampang untuk dicintai, tapi gak menutup kemungkinan untuk gampang disakitin juga,' batin Aaron sembari memperhatikan Tulip yang baru saja menutup pintu kamarnya. 'Suka sama seseorang? Apa aku suka sama Kak Felix? Aneh, gak mungkin aku suka sama dia, kenal juga enggak. Aku cuma kagum sama suaranya, bukan suka sama pemilik suaranya,' batin Tulip membantah ucapan Aaron. *** Sejak Kiran dan Isabel mengobrol dengan Tulip dan Naya di ruang ganti waktu itu, mereka merasa cocok dan satu frekuensi. Ketika jam istirahat, meja makan kelompok Tulip menjadi semakin ramai. Juan dan Valent hanya bisa saling lirik ketika populasi perempuan bertambah di kelompok mereka. "Apa kalian ada niat untuk menggusur kami berdua?" tanya Juan pada ke-empat siswa perempuan yang sedang asyik membicarakan aksesoris yang seminggu lalu baru saja dikeluarkan oleh Blueberry Store. "Enggak, memang kenapa?" balas Naya tanpa menengok ke arah Juan. "Udahlah, kalian lanjutin aja!" ujar Juan lagi. Ia merasa percuma mengajak bicara gadis-gadis yang masih asyik dengan dunianya. "Kamu betah di sini?" tanya Juan pada Valent yang seolah terlihat tidak keberatan dengan situasi saat ini dan sibuk menghabiskan ayam gorengnya. "Kenapa harus gak betah?" balas Valent cuek. "Manusia satu ini ternyata sama aja," gerutu Juan. Juan kembali fokus pada makanannya. Dia tipe orang yang cerewet, ketika ia dipaksa untuk menjadi pendiam maka ia menjadi gelisah seperti cacing yang kepanasan. Namun situasi menjadi hening ketika Kiran melontarkan sebuah pertanyaan. "Tulip, aku denger dulu kamu di-bully di SMP sampe berniat untuk keluar dari sekolah, ya?" tanya Kiran dengan santainya. Semuanya sontak terkejut tak terkecuali Juan dan Valent. Tulip hanya bisa mematung, ia tak percaya pertanyaan itu bisa terlontar siang ini, di saat keadaan sedang baik-baik saja bahkan sangat baik baginya. Ia hampir menangis, jantungnya berdebar kencang. Ia sangat takut untuk mengakuinya, namun ia juga tidak bisa berbohong. "Kamu di-bully karena katanya kamu anak pu--" ucapan Juan terhenti setelah Naya mencubit perutnya. "Maaf, anak angkat maksudku," lanjut Juan lagi. Deg! Jantungnya terasa semakin tertusuk mendengar pernyataan dari Juan. Ia ingin menangis saat itu juga. Melihat keadaan Tulip yang semakin memburuk, Valent hendak menegur yang lainnya. Namun, hal tersebut gagal ia lakukan karena Tulip memberanikan diri untuk melawan ketakutannya. Satu hal yang ia pegang, jika semuanya akan menjauh setelah mengetahui kebenarannya, masih ada Aaron dan Diaz yang akan membantunya. "Iya… a–aku… memang anak angkat. Aku cuma menumpang di rumah itu, aku gak setara sama kalian. Kalian boleh menjauhi aku, tapi tolong jangan bully aku," jawab Tulip setengah memohon, tangisnya sudah pecah. Ia bicara sambil menundukkan pandangan, Naya langsung memeluknya. "Tulip, kami gak sejahat itu! Apapun statusmu di keluarga, itu bukan masalah untuk kami di sini," ujar Naya tulus. "Bener! Meskipun aku penasaran sama kebenarannya, tapi aku gak akan mempermasalahkan apapun. Kamu tetep menjadi temenku!" tambah Juan, ia merasa bersalah karena rasa penasarannya telah membuat temannya menangis. Kiran dan Isabel turut menenangkan Tulip. Valent masih belum angkat bicara, namun ia menyadari kalau mereka kini menjadi pusat perhatian. "Ayo balik ke kelas! Jangan di sini!" ajak Valent. Mereka akhirnya mengajak Tulip keluar dari kantin. Karena tangis Tulip tak kunjung berhenti, Naya berinisiatif untuk mengajak Tulip ke taman belakang sekolah. Taman tersebut lumayan luas, biasanya digunakan jika beberapa guru menginginkan belajar outdoor. Sehingga tersedia beberapa kursi di sana. Naya mengusap punggung tangan Tulip dengan lembut, Valent pergi sebentar untuk membelikan air mineral, sedangkan Juan masih bergeming dengan rasa bersalah. Setelah Valent kembali, Tulip diminta untuk minum setidaknya sedikit. Perlahan Tulip mulai bisa mengontrol dirinya, ia pun berhenti menangis meski masih menyisakan sedikit isakan. "Apa kalian gak keberatan temanan sama aku yang kaya gini?" tanya Tulip setelah tangisnya mereda. "Hei! Jangan pernah mikir kaya gitu lagi! Aku udah bilang apapun statusmu di rumah, itu gak jadi masalah untuk kami. Memangnya kalo kamu anak angkat, apa masalahnya? Memang kami rugi?" tandas Naya. "Yang kaya itu orang tua angkatku, aku cuma anak pungut. Bahkan aku gak tau orang tuaku asli itu orang baik atau orang jahat," Tulip terus mengungkapkan semua yang pernah diucapkan teman-teman SMP-nya waktu merundungnya dulu. "Orang tuaku–" Valent menghentikan ucapannya. Tulip, Naya dan Juan langsung melihat ke arahnya. "Kenapa orang tuamu?" tanya Naya. "Orang tuaku bercerai karena papaku seorang pemakai n*****a. Lebih parahnya, lebih dari 10 tahun dia memperlakukanku dengan kasar, ternyata alasannya karena aku bukan anak kandungnya. Mereka menikah karena mamaku hamil sama orang lain dan memanfaatkan papaku sebagai penutup aibnya," jelas Valent. Ia menceritakan dengan santai, tak ada kesedihan yang terlihat. Namun, tak ada yang tahu pernah sehancur apa hatinya sampai ia bisa sekuat sekarang. Ketiga temannya diam membeku, tidak tahu harus merespon apa. Terlebih Tulip, ia merasa tidak seharusnya lemah seperti ini, masih banyak orang punya masalah lebih berat daripada dirinya. "Terus, sekarang kamu ikut siapa? Kamu tinggal di mana?" tanya Juan. "Di apartemen Daisy. Apart itu milik orang tua mamaku, hidupku dibiayai mereka. Sedangkan orang tuaku gak pernah peduli sama aku lagi. Begitu juga aku yang udah gak peduli sama mereka." Mereka kembali diam, semuanya kehilangan kata-kata. Ingin menghibur, namun si empunya masalah justru terlihat baik-baik saja. Valent memang sudah baik-baik saja. Masalah itu sudah berlalu lebih dari 5 tahun, hingga ia perlahan bisa bangkit dengan sendirinya. "Tulip, kamu gak apa-apa?" Suara Aaron mengalihkan fokus mereka berempat. "Kakak!" seru Tulip seraya bangkit menyambut Aaron. "Kamu kenapa? Siapa yang bikin kamu nangis?" tanya Aaron yang benar-benar panik. Terlihat di belakangnya juga ada Diaz yang langsung menghampiri teman-teman Tulip. "Makasih, ya, kalian udah nemenin Tulip," ujar Diaz. "Sama-sama, Kak. Kami janji bakal terus nemenin Tulip. Kejadian di SMP, kami pastikan gak akan terulang lagi," jawab Naya dengan mantap. Valent dan Juan juga ikut mengangguk mendukung ucapan Naya. "Kamu yakin baik-baik aja? Mau pulang sekarang?" tanya Aaron lagi. Tulip menggeleng pelan. "Aku baik-baik saja kok, Kak. Sekarang aku gak sendirian lagi, aku punya mereka," jawab Tulip dengan yakin. Meski masih ada sedikit rasa takut, namun pengakuan Valent tadi membuatnya merasa tidak sendirian. Bukan senang melihat orang lain lebih susah daripada dirinya, tapi ia merasa tidak boleh lari dari masalah. Ia pasti bisa menghadapi semuanya, terlebih saat ini dia tidak berjuang sendirian. Ia masih punya teman-teman yang peduli padanya. Setelah yakin semuanya baik-baik saja, mereka kembali ke kelas lagi. Entah dari mana Aaron bisa tahu keberadaan Tulip, yang pasti ia benar-benar menjalankan amanah kedua orang tuanya untuk menjaga Tulip. Bukan semata-mata perintah, tapi karena memang ia tulus menyayangi Tulip lebih dari apapun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD