36. Surat Izin

1019 Words
Selama masih bersama Aaron dan yang lain, Tulip bisa sejenak melupakan rasa sedihnya. Bahkan rasa sakitnya pun turut samar. Namun ketika ia masuk ke kamarnya dan kembali sendirian, rasa sakit itu kembali muncul. Dengan menggunakan krim pereda nyeri, Tulip berusaha menyembuhkan dirinya sendiri. Terutama bagian pergelangan tangan dan pinggulnya. Sesekali ia melirik ponselnya yang tidak menerima notifikasi sama sekali. Siapa lagi yang ditunggu kalau bukan Diaz. Sebab ia diminta untuk meneleponnya, namun ternyata pesan yang Tulip kirimkan sejak beberapa jam yang lalu masih belum mendapatkan balasan. "Mungkin Kak Diaz ada urusan mendadak. Kayanya mendingan aku tidur. Kali aja entar pas bangun, sakitnya udah ilang," gumam Tulip seraya membaringkan tubuhnya dan berusaha untuk tidur. Sedikit kurang nyaman jika harus berbaring dengan posisi terlentang, karena pinggulnya masih lumayan nyeri. Akhinya Tulip memilih posisi telungkup. Tak membutuhkan waktu lama, akhirnya ia pun tertidur. Keesokan paginya, tidak seperti biasanya, Tulip terbangun lebih cepat daripada alarmnya. Setidaknya meringankan sedikit pekerjaan Freya, karena tidak perlu menahan emosi–akibat sulitnya membangunkan Tulip di pagi hari. Diregangkan otot-otot tubuhnya sembari menguap sepuasnya. "Engghhhh! Enak banget tidurku!" gumam Tulip yang baru membuka matanya setengah. Kemudian ia mencoba untuk menggerakkan pergelangan tangannya serta mengecek pinggulnya. "Woah! Udah gak sakit!" Matanya kini sudah terbuka sempurna. Ia begitu senang karena tubuhnya sudah tidak ngilu lagi. Sebelum turun dari ranjangnya, ia lebih dulu membuka ponselnya. Masih tak ada balasan dari Diaz, hal itu membuat kening Tulip bertaut. 'Gak biasanya Kak Diaz gak bales chat-ku,' batin Tulip. Namun ia tak mau ambil pusing. Diletakkannya lagi ponsel itu di atas nakas, lalu bersiap untuk mandi. Satu persatu persiapan ia lakukan, sampai akhirnya dia mulai bercermin dan mengatur rambutnya. Ia kembali mengingat masalah kemarin. Mungkin masalahnya memang sudah berlalu, namun luka di hati tentu tak bisa hilang begitu saja. Namun bukan Tulip namanya jika hanya memikirkan dirinya sendiri. 'Kak Meli di mana ya sekarang? Apa dia di tempat yang aman? Kalo minta Papa untuk penjarain pamannya Kak Meli, bisa gak, ya?' Kemudian ia segera tersadar. 'Enggak! Enggak! Enggak! Bisa diamuk abis-abisan aku sama Kakak.' Tulip menggeleng cepat dan melanjutkan aktivitasnya. Tak lama kemudian, ia pun turun ke ruang makan tanpa menunggu dipanggil seperti biasa. Sayangnya, ia kembali mendapati ruang makan itu kosong. Hanya ada makanan di meja dan juga asistennya tentu saja, namun tidak ada orang tuanya. "Mama-Papa berangkat jam berapa, Bi?" tanya Tulip. "Mungkin satu jam yang lalu, Non," jawabnya. "Pagi banget!" gumam Tulip seraya duduk di kursinya dan menunggu Aaron. "Pagi, Lip!" sapa Aaron ketika ia baru saja menginjak anak tangga terakhir dan langsung duduk di sebelah Tulip. "Hm… pagi," jawab Tulip lesu. "Kamu kenapa? Pagi-pagi udah gak semangat gitu," tanya Aaron penasaran. "Udah hampir seminggu Mama-Papa gak sarapan sama kita." "Namanya juga sibuk, mau gimana lagi?" Aaron membalik piringnya dan mengambil nasi. Tulip hanya diam dan mengikuti yang Aaron lakukan. Ia tetap makan meskipun porsinya tidak banyak. Kalau tidak makan, Aaron akan lebih cerewet lagi. "Kakak sekelas sama Kak Melinda?" "Enggak, dia sekelasnya si Shendy." "Mmm." Tulip mengangguk seraya menyuap kembali makanannya. Tak ada obrolan lagi. Setelah makanan sarapan selesai, mereka langsung berangkat ke sekolah. Sepanjang jalan, Aaron menyibukkan diri dengan membaca buku. Bukan pemandangan yang asing, sudah biasa Aaron seperti itu. Sedangkan Tulip masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Namun satu hal yang Tulip pegang, ia kini sama sekali tidak bersalah. Maka ia bertekad untuk melawan siapapun yang mungkin akan mengganggunya. Orang terdekatnyalah yang memberikannya kekuatan dan keberanian. Ia juga malu kalau harus terus-terusan kalah dan tertindas. Sementara itu di tempat lain, Diaz sudah lebih dulu sampai di sekolah. Ia langsung menemui wali kelas Melinda, yakni Bu Hilda. "Jadi, kamu yang mengantar Melinda ke sana?" "Iya, Bu. Dan ini surat dokternya," ujar Diaz seraya memberikan sebuah amplop dengan kop surat resmi dari Rumah Sakit Jiwa. "Belum ada hasil diagnosisnya, ya?" "Belum, Bu. Soalnya kemarin dokternya gak ada di tempat, jadi saya cuma bisa minta surat rawatnya aja." "Terus, masalah bayarannya gimana? Apa Melinda punya uang?" "Ada, Bu. Cuma mungkin dia butuh wali yang bisa dipercaya untuk mengurus itu. Makanya saya mau minta tolong sama Ibu." "Ah begitu. Ya sudah, nanti biar saya yang ke rumah sakit. Terima kasih, ya!" "Sama-sama, Bu. Saya juga berterima kasih karena Ibu mau membantu Melinda." "Memang udah tugas saya kok. Sana balik ke kelas! Sebentar lagi bel." "Baik, Bu." Diaz pun kembali ke kelasnya, tugasnya sudah selesai. Sebelum masuk ke kelasnya, ia merasa sedikit ragu ketika baru saja melewati kelas Shendy. Ia rasa ada baiknya untuk memberi tahu Shendy, sebab ia juga yang menyerahkan kasus ini pada awalnya. Beberapa menit Diaz berhenti sambil berpikir. 'Jangan sekarang deh! Takut mood-nya rusak, nanti dia malah gak fokus belajar,' batinnya seraya kembali melangkahkan kaki ke kelasnya sendiri. "Dari mana?" tanya Aaron yang sudah duduk di kursinya dan beberapa buku yang sudah terbuka di atas meja. Mengerjakan PR dadakan? Tentu saja bukan. Di atas mejanya memang tidak pernah kosong. Minimal sebuah buku Tulis pasti tergeletak di sana. "Ketemu Bu Hilda," jawab Diaz seraya meletakkan tasnya dan duduk. "Melinda lagi?" "Iya." "Kenapa kamu yang urus? Kan, kamu gak terlibat," tanya Aaron penasaran. Diaz mendekat lalu berbisik, "Melinda di rawat di Rumah Sakit Jiwa." Aaron terkejut mendengarnya. "Serius? Kamu yang masukin dia ke sana? Jahat banget!" tuduh Aaron. "Sembarangan! Aku cuma nganter. Dia yang mau dianter ke sana. Yah, mau gimana lagi? Rumah tempat dia tinggal itu bukan rumah lagi," jawab Diaz yang penuh rasa iba. "Wow, gak nyangka dia lebih pilih tinggal di sana. Terus, keluarganya udah tau?" "Belum, mungkin Bu Hilda yang bakal ngurus itu. Aku gak mau ikut campur terlalu jauh." Aaron mengangguk lalu menutup buku bacaannya dan memasukkan ke dalam laci. "Ada PR, gak?" tanya Diaz kemungkinan. "Gak ada, cuma ada pre-test aja." "Astaga! Hari ini Pak Mario, ya?" "Hmm," jawab Aaron disertai anggukan. "Pasti kamu belum belajar." "Gimana mau belajar? Orang jam balik dari RSJ aja udah malem. Jangankan belajar, mandi pun enggak. Begitu sampe aku langsung tidur." "Nih pake bukuku aja! Udah aku tandai bahasan apa yang mungkin bakal keluar." Aaron memberikan buku catatannya kepada Diaz. "Penyelamat! Thanks, Ron!" Diaz langsung membuka catatan itu dan mulai membacanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD