Menjadi Teman

706 Words
Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, Nixie merasa jantungnya berdebar kencang. Bukan hanya karena rasa sakit di kakinya, tapi juga karena jarak tubuhnya yang begitu dekat dengan Xaquille. Aroma maskulin khas dari tubuh Xaquille dan sentuhan lembut tangannya pada pinggang Nixie membuat hatinya bergetar. "Kita hampir sampai," kata Xaquille dengan suara beratnya, seolah bisa merasakan ketidaknyamanan Nixie. Akhirnya mereka tiba di rumah peternakan Nixie. Xaquille dengan hati-hati turun dari kuda, lalu dengan perlahan membopong Nixie turun. "Aku akan membawamu masuk," katanya sambil berjalan perlahan menuju rumah. Jarak mereka begitu dekat sehingga Nixie bisa merasakan napas Xaquille di wajahnya. Jantungnya berdebar semakin kencang. Xaquille tersenyum tipis ketika detakan itu terasa juga di dadanya karena posisi mereka yang tak berjarak lagi. Xaquille membawa Nixie ke dalam rumah, meletakkannya di sofa dengan hati-hati. "Kaki mu perlu diobati," katanya. "Aku akan mengambilkan air hangat dan perban. Di mana kotak obatnya?" Nixie mengangguk, rasa sakit di kakinya sedikit mereda karena perhatian Xaquille. "Di laci dapur." Tak lama kemudian, Xaquille kembali dengan baskom berisi air hangat dan beberapa perban. Dia berlutut di depan Nixie, mencelupkan kain ke dalam air hangat, lalu dengan lembut mengompres kaki Nixie. "Rasa sakitnya mulai berkurang?" tanya Xaquille sambil terus mengompres. "Sedikit," jawab Nixie dengan suara lirih, matanya tak lepas dari wajah Xaquille yang serius dan penuh perhatian. Setelah beberapa saat, Xaquille mulai membalut kaki Nixie dengan perban. Sentuhannya lembut namun tegas, membuat Nixie merasa nyaman meskipun rasa sakit masih menyelinap di sela-sela perban yang dililitkan. Setelah selesai mengobati kaki Nixie, Xaquille duduk di sampingnya. "Kau harus beristirahat," katanya. "Aku akan mengurus dombamu dan memastikan semuanya baik-baik saja." Nixie merasa hatinya melambung. "Terima kasih, Xaq. Kau tetangga yang baik." Xaquille tersenyum hangat. "Sudah menjadi tugasku membantu tetangga, terutama ketika dalam kesulitan." Mereka berdua tertawa kecil, menghilangkan sedikit rasa canggung di antara mereka. Nixie merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara Xaquille memandangnya, seolah ada perasaan yang tersimpan di balik sorot matanya. Namun Nixie tak mau terlalu berekspektasi tinggi karena dia takut kecewa seperti sebelumnya. "Bisakah aku meminta nomer teleponmu? Aku sendirian di sini dan aku belum mengenal siapa pun kecuali Paman George," pinta Nixie sebelum Xaquille pergi. "Tentu saja. Mana ponselmu?" Lalu Nixie pun memberikan ponselnya yang sejak tadi dikantonginya. Dan kemudian Xaquille menyimpan nomernya di ponsel Nixie. "Terima kasih," kata Nixie ketika Xaquille memberikan ponsel itu lagi pada Nixie. "Sama-sama. Aku pergi dulu." Xaquille berbalik pergi dan senyum di wajah Nixie mengembang karena setidaknya dia kini punya teman sana. * * Dua hari berlalu, dan Xaquille terus datang ke rumah Nixie untuk memastikan dia baik-baik saja dan membantu mengurus peternakannya. Nixie merasa semakin terikat pada Xaquille. Setiap bantuan, setiap kata-kata lembut, dan setiap perhatian kecil membuat perasaannya semakin tumbuh. Suatu hari, saat matahari mulai terbenam, Xaquille kembali datang mengunjungi Nixie sambil membawa makanan yang dibuatnya sendiri. Mereka duduk bersama di teras, menikmati pemandangan malam yang mulai diselimuti kegelapan sambil makan bersama. "Terima kasih, Xaq" kata Nixie dengan suara lembut. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau tidak ada." Xaquille menatap mata Nixie dalam-dalam. "Aku senang bisa membantumu, Nixie." "Oh ya, sejak kapan kau bekerja di peternakan sebelah?" tanya Nixie. "Baru saja." "Kau hanya tinggal sendirian di sana?" Xaquille mengangguk kemudian meminum kopinya. "Siapa pemiliknya? Apakah orang kota?" "Ya, pemiliknya orang kota dan membeli peternakan ini hanya karena random saja mungkin." Xaquille mengedikkan bahunya. Nixie tertawa lirih. "Berapa gajimu?" Nixie menanyakan itu karena jika memang terjangkau, Nixie ingin mempekerjakan Xaquille di peternakannya juga. "Aku tak digaji karena aku mendapat fasilitas lengkap di sana. Aku mendapat jatah bulanan, kesehatan, dan semua kebutuhanku. Aku hanya butuh tempat hidup saja." Nixie tersenyum. "Aku suka melihatmu, seperti tak memiliki beban apa pun dalam hidupmu. Tapi bagaimana jika semua kebutuhanmu dihentikan dan rumah peternakan itu dijual oleh pemiliknya?" "Banyak pekerjaan yang bisa kulakukan karena aku punya banyak keahlian. Hmm ... tabunganku juga lumayan banyak dan tak pernah mengambilnya sejak tinggal di sini." Pria itu tertawa lirih. Nixie mengangguk dan merasa nyaman dengan Xaquille yang hidupnya begitu sederhana dan tak banyak menuntut banyak dalam kehidupannya. Nixie ingin hidup penuh kedamaian seperti yang dijalani oleh Xaquille saat ini. "Jika kau tak bekerja lagi di sana, datanglah kemari. Kau bisa menjalankan peternakan ini dan menemaniku di sini." Nixie tersenyum. Xaquille mengangguk. "Tawaran yang menarik. Akan kupikirkan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD