Cinta Terpendam Yang Kandas
Dari balik jendela kamarnya, Nixie memandang dengan hati yang berdebar ketika Sebastian melangkah keluar dari mobil sport merahnya.
Sebastian, dengan rambut cokelat yang selalu berantakan secara sempurna dan senyum yang menawan, telah menjadi pusat perhatiannya sejak mereka masih di bangku sekolah.
Setiap kali melihatnya, Nixie merasakan desiran di dadanya yang sulit dijelaskan apalagi Sebastian pernah menyapanya dengan begitu ramah ketika mereka berpapasan.
Hari itu, Nixie memutuskan untuk mengumpulkan keberanian dan berbicara dengan Sebastian meskipun dia tahu bahwa kini Sebastian sedang berpacaran dengan Tina—kakak tirinya.
Nixie merasa tak kalah cantik dari Tina dan dia ingin merebut Sebastian dari Tina agar Tina tahu rasanya bagaimana jika miliknya direbut, seperti dia merebut ibu Nixie.
Nixie mengenakan gaun favoritnya, menyisir rambutnya dengan rapi, dan mengenakan sedikit lip gloss.
Dengan jantung berdebar, dia melangkah keluar dan menuju ke halaman depan, di mana Sebastian sedang berbicara dengan Tina.
Tina, kakak tiri Nixie, berdiri di sana dengan anggun. Rambut pirangnya tergerai lembut, mengenakan gaun musim panas yang memperlihatkan siluetnya yang sempurna.
Senyumnya yang manis dan caranya berbicara dengan penuh pesona membuatnya tampak seperti dewi.
Nixie menyaksikan dari kejauhan, merasakan ketidaknyamanan yang semakin mendalam. Ia tahu bahwa Tina selalu menarik perhatian orang-orang di sekitarnya, termasuk Sebastian.
"Sebastian, senang sekali melihatmu," sapa Nixie dengan senyum lebar dan Tina tersenyum melihat Nixie, berharap dia bisa membuat Nixie cemburu.
Sebastian balas tersenyum. "Senang melihatmu juga, Nixie. Bagaimana kabarmu?"
"Aku sangat baik. Kau tak ke dalam?"
"Ya, aku memang akan makan malam di sini." Sebastian kembali tersenyum.
"Benarkah? Senang mendengarnya. Ayo masuklah."
"Aku yang akan membawanya masuk, Nixie." Tina menggenggam tangan Sebastian dengan mesra dan berjalan melewati Nixie dengan pandangan merendahkan.
Nixie kemudian berjalan di belakamg mereka, merasa tersisih dan tak berarti. Percakapan Sebastian dan Tina terus berlanjut tanpa melibatkannya.
Nixie berusaha untuk tidak menunjukkan kekecewaannya, tetapi hatinya marah.
*
*
Malam pun tiba dan saat makan malam bersama keluarga, Sebastian dengan wajah berseri-seri mengumumkan bahwa dirinya melamar Tina di depan keluarganya.
"Aku ingin melamar Tina karena kami saling mencintai dan aku tak ingin kehilangan Tina." Sebastian sedikit gugup. "Apakah kalian menyetujuinya?"
Alan tersenyum dan mengangguk. "Tentu saja kami menerimanya, Sebastian. Ayahmu adalah teman bisnisku dan ikatan ini akan bertambah kuat jika kalian melangkah ke jenjang yang lebih serius."
Mariane memeluk Tina dengan penuh kebanggaan, sementara Alan, ayah tiri Nixie, menepuk pundak Sebastian dengan bangga.
"Kalian memang pasangan yang sangat serasi." Mariane mencium pipi Tina dan melihatnya dengan begitu bangga.
Nixie yang duduk di ujung meja, merasakan dunia seolah runtuh di sekitarnya. Ia mencoba tersenyum, tetapi air matanya hampir tak terbendung.
Ia merasa seperti boneka yang dipaksa untuk tersenyum di tengah kesedihan yang mendalam.
"Selamat, Tina. Selamat, Sebastian," ucapnya dengan suara yang hampir tak terdengar.
Tina tersenyum penuh kemenangan pada Nixie dan mencium bibir Sebastian di depan Nixie.
Nixie kemudian beranjak dari tempat duduknya dan pergi dari ruang makan. Tak ada yang peduli dengan kepergiannya itu karena semua larut dalam kebahagiaan Tina dan Sebastian.
*
*
Malam itu, Nixie mengurung diri di kamarnya. Air matanya mengalir tanpa henti. Ia merasa kehilangan lebih dari sekadar cinta yang tak terbalas.
Ia kehilangan harapan, impian, dan bagian dari dirinya sendiri. Ia tidak tahu bagaimana cara melanjutkan hidupnya dengan melihat orang yang dicintainya bersanding dengan orang yang seharusnya ia panggil sebagai kakak.