Nadine segera menggelengkan kepala mencoba menghilangkan ingatannya semalam. Bisa-bisanya dia kembali melakukan hubungan badan dengan Abraham. Bagaimana itu bermula?
“Kemarilah, kau pasti kelelahan.”
“Apa kau masih belum terpukau dengan penampilanku?” tanya Rose dengan bibir mengerucut. Abraham tetap merentangkan satu tangannya meminta Rose datang, perempuan itu mendekat dan duduk di pangkuan Abraham dengan posisi miring, tangan Rose melingkar di bahu pria itu.”Kenapa? kau masih belum puas, Tuanku?”
“Panggil aku Abraham, kau bukan pelayanku.”
“Woahhh, Abraham,” panggilnya mengecupi pipi pria itu.
Kenapa Rose melakukannya? Dia suka mengeluarkan sisi ini, untuk meyakinkan Abraham kalau Nadine dan Rose adalah dua orang yang berbeda. Namun ternyata, menjadi liar seperti ini ternyata menyenangkan juga.
Abraham menarik selimut tipis dan menutupi bagian bawah Rose yang tidak memakai apapun. Pria itu kemudian meminum kembali anggur miliknya.
“Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Diam saja?”
“Kau tidak mau uang banyak?”
“Um, aku tidak terlalu menginginkannya. Uangku sudah banyak.”
“Sombong sekali.”
Rose terkekeh. “Masih banyak wanita lain yang bisa kau beli di sini, Abraham. Mereka bahkan lebih panas dariku.”
“Tapi aku menyukai yang ini,” ucap Abraham tiba tiba saja menggigit bahu Rose dan membuat perempuan itu memekik kaget.
Memukul bahu Abraham dan mengumpatinya dengan kalimat kasar. Bukannya marah, Abraham malah tertawa. Yang membuat Rose terdiam sejenak, pria tampan ini memiliki lesung pipi. Kenapa dia baru menyadarinya sekarang? Abraham tampak memepesona sekarang.
“Pernah minum anggur ini?”
“No, itu anggur yang mahal,” ucapnya bergidik ngeri. “Aku dengar harganya sama dengan satu rumah mewah.”
“Mau mencobanya?”
“Apakah boleh?”
“Apapun untukmu.”
“Termasuk melepaskanku dan tidak menggangguku lagi?”
“Baiklah, Cantik. Kalau itu yang kau inginkan.” Abraham meminum anggur itu dari botolnya, kemudian memegang dagu Rose dan membiarkan anggur itu mengalir dari mulut Abraham ke mulutnya.
Rose kaget, tapi dia menikmatinya. Dan efek Abraham yang terus memberikannya anggur membuat Rose kehilangan kendali atas tubuhnya. Dia mengingat sentuhan pria itu saat dirinya menyerahkan seluruh tubuhnya. Bagaimana Abraham memperlakukannya dengan baik meskipun melakukannya berkali-kali sampai kelelahan.
Dan akhirnya, sisi liar Rose muncul. Dia ingin merasakannya lagi. “Ini hadiah terakhir untukmu,” ucapnya mendorong bahu Abraham supaya bersandar di kursi, Rose merubah posisi menjadi berhadapan dan menyingkirkan penghalang di tubuhnya. “Abraham….,” panggilnya di telinga pria itu.
“Oh my god!” Nadine menarik rambutnya sendiri. Dia benar benar gila telah mengambil keputusan itu. meskipun pagi harinya, Nadine langsung mendapatkan uang yang banyak dari Belle dan perempuan itu berkata kalau dia tidak akan mengganggunya lagi. “Kupikir dia tidak memakai pengaman semalam. Hisshh, apa yang harus aku lakukan?”
Pusing sendiri karenanya. Sampai… BRUK! Seseorang mendorong bahu Nadine sampai membuatnya menabrak loker. Matanya menatap siapa yang melakukan itu.
“Kau…. Pergi menjadi perwakilan fakultas?”
Inilah si pintar yang selalu bersaing dengannya. “Mereka yang memintaku untuk itu, Victoria.”
“Harusnya kau menolak.” Perempuan berambut pirang itu mendekat dan menatap tajam Nadine. “Aku membiarkanmu mendapatkan keuntungan dari mereka yang memintamu mengerjakan tugas. Kau pikir aku tidak tau huh? Aku bisa melaporkan ini.”
“Tolong jangan, jika kau melaporkannya, mereka akan dalam masalah.”
“Kau pikir aku ped──”
“Vic, ada banyak orang di sini,” ucap salah satu temannya memperingatkan.
Victoria mengedarkan pandangannya dan berdecak. “Kau tidak akan lolos begitu saja,” ucapnya demikian dan melangkah pergi meninggalkan Nadine yang ketakutan di sana.
***
Satu orang yang membuat Nadine was-was, dia memang memiliki derajat yang berbeda dengannya tapi kemampuan otaknya setara dengannya. Beberapa kali saling menyalip dengan nilai terbaik. Nadine khawatir sekali kalau Victoria dan gengnya akan membuat hal yang menakutkan. Terakhir kali adalah satu tahun yang lalu, Nadine pernah disiram air pel dan dikurung di kamar mandi.
“Nadine, aku merindukanmu,” ucap satu-satunya sahabat Nadine yang baru saja pulang dari luar kota. “Aku dengar kau akan ke London sebagai pewakilan fakultas ya? selamat ya sayangku, aku bangga padamu,” ucap perempuan campuran Asia-Barat itu.
“Mei, lepaskan. Orang orang memperhatikan itu.”
“Ya ampun, kau tidak merindukanku ya?”
“Aku sedang mengerjakan tugas orang lain. Harus selesai sebelum malam.”
“Okay okay. Kudengar Ibumu sudah selesai dioperasi ya? tinggal pemulihan?”
“Iya, dia bilang merindukanmu. Kapan kau menjenguk?”
“Hehehe, nanti ya,” ucap Meila menatap jam di tangannya. “Kau tau aku meninggalkan UKM cukup lama, sekarang aku harus rapat dulu.”
“Silahkan, kau memang tidak merindukanku ya.”
“Aku akan menemuimu sebelum kau berangkat ke London. Sampai jumpa,” ucapnya membubuhkan kecupan di pipi Nadine.
Perempuan bermata hitam itu hanya mampu menghela napasnya dalam dan kembali mengerjakan tugas yang diberikan padanya. sampai sang penjaga perpustakaan memberi peringatan kalau tempat ini akan ditutup.
Nadine yang harus menyelesaikan pekerjaannya memilih untuk duduk dulu di taman fakultas dan focus pada laptopnya. Topeng untuk Rose dan keuntungan untuk Nadine jika mengerjakan tugas ini.
Mengabaikan fakta kalau hari sudah malam, Nadine tetap berada di sana. Mumpung aada wi-fi gratis pula, jadi dia tidak akan rugi.
“Wah, ini dia si orang tidak tau diri. Sudah aku biarkan kau berbisnis dengan anak anak yang lain, sekarang malah mengambil posisi yang seharusnya diriku.”
Nadine berhenti mengetik dan menutup laptop, dia menoleh ke belakang dan mendapati Victoria bersama dengan teman temannya. Terakhir kali dia disiksa oleh perempuan ini, rasanya masih teringat sampai sekarang. “Tapi, Victoria, pak wakil dekan I yang memintaku.”
“Kau bisa menolak dan menyarankan aku yang terpilih? Kenapa tidak kau lakukan?”
“Maaf.”
“Sepertinya kau rindu aku pukul ya?” tanya Victoria memberi isyarat pada kedua temannya untuk memegangi Nadine.
“Kumohon jangan, Victoria. Aku minta maaf. Tolong jangan lakukan ini padaku.”
“Kau seharusnya tau kalau aku yang pantas berada di sana.”
Kedua tangan Nadine dipegangi, sementara Victoria menjambak rambutnya dengan kuat kemudian menendang perutnya hingga Nadine bahkan tidak bisa berteriak. Ketika Nadine luruh ke tanah, Victoria mengambil laptop perempuan itu dan melemparnya pada kepala hingga membuat Nadine terluka. Darah keluar dari sana.
“Vic, aku rasa ini keterlalua,” ucap salah satu temannya memperingati.
“Tidak, dia harus tau dimana tempatnya.”
“Apa yang kalian lakukan di sana?” sebuah suara dari sisi lain membuat Victoria kaget. Dia segera mengambil tasnya dan berlari dari sana sebelum wajahnya terlihat. Diikuti oleh kedua temannya dan meninggalkan Nadine sendirian di sana.
Perempuan berkacamata itu meringis kesakitan memegangi perut, kepalanya berdarah dan tatapannya buram.
“Hei, tetap terjaga,” ucap sosok yang diyakini Nadine adalah Abraham.
Dia merasakan tubuhnya diangkat sebelum kesadarannya hilang.