Episode 5 : Berpisah?

1831 Words
Episode 5 #luka_yang_tak_berdarah Berpisah? Sudah seminggu pasca kejadian ciuman itu, selama itu pula Rizam tak pernah pulang. Pernah sekali ku kirim pesan padanya sekedar bertanya dia di mana. Hanya di baca. Tak ada balasan. Aku penasaran, tapi jika ku cari keberadaan laki-laki itu, artinya aku melanggar kesepakatan. Kami tidak berhak mencampuri urusan pribadi masing-masing. "Apa yang kau lamunkan Dira? Sejak tadi aku memanggilmu." Wisnu sudah berdiri di sampingku. "Wisnu? Kapan kau datang?" Laki-laki itu tersenyum sambil menyerahkan sebuah dokumen. "Belum lama. Kau kenapa?" Wisnu kembali bertanya. "Aku baik-baik saja Wisnu. Memangnya aku kenapa?" Aku balik bertanya sekedar mengalihkan perhatiannya. "Kau masih seperti dulu. Suka memendam masalah. Apa kau tidak mau mengatakannya padaku?" "Aku sungguh baik-baik saja Wisnu." "Baiklah jika kau tidak mau mengatakan apa-apa, aku tidak akan memaksa. Malam ini temani aku menghadiri acara amal brand kita di hotel Paradise. Kau tidak keberatan kan?" Hotel Paradise? Itu kan tempat Rizam bekerja. Sepertinya aku harus ikut. Bukankah ini kesempatan untuk mengetahui di mana laki-laki itu? Aku mengangguk setuju ke arah Wisnu. "Pulang kerja nanti ikut aku ke suatu tempat. Kau tidak harus pulang ke rumah dulu kan?" Wisnu bertanya memastikan. "Tidak. Hari ini aku punya banyak waktu luang." "Bagus. Nanti aku akan menemuimu setelah jam kantor selesai." Wisnu berlalu dengan tersenyum senang. Senyuman Wisnu adalah godaan terberat. Bagaimana mungkin hatiku masih bergejolak untuknya? Apa yang harus ku lakukan untuk menghilangkan rasa ini? Bekerja keras. Ya aku harus bekerja keras agar tidak terus menerus mengingat senyum itu. Saat jam pulang tiba, sesuai janji, Wisnu datang menghampiri. Aku hanya menurut ketika laki-laki itu meminta orang kepercayaannya untuk membawa mobilku pulang. Dia berjanji akan mengantarku selesai acara. "Kita mau kemana?" Aku bertanya setelah melirik jam yang baru pukul 3. "Ke butik." Wisnu menjawab singkat. "Butik? Kau mau beli baju?" Aku menautkan alisku seraya menatap Wisnu yang konsen menatap jalanan. "Iya. Tepatnya aku dan kamu. Tema acaranya menggunakan kain batik, jadi ku pikir kita perlu baju batik untuk menghadiri acara tersebut." "Kenapa tidak bilang dari tadi? Kalau cuma baju batik aku memiliki beberapa di rumah. Kita bisa mengambilnya jadi tidak harus beli." Wisnu tidak menjawab. Kini laki-laki itu sibuk memarkirkan mobilnya di sebuah butik mewah. Susah payah aku menelan saliva. Apa lagi ini? Uangku memang cukup untuk membeli baju di sini, tapi tentu saja rasanya sayang membuang-buang uang hanya untuk sepotong dress yang hanya sesekali di pakai. "Kenapa harus di sini Wisnu? Kau tau kan aku tidak sekaya itu." Wisnu terkekeh sebelum memaksaku turun dari mobil. "Aku yang bayar Andira. Kau tidak perlu khawatir seperti itu." "Tentu saja aku khawatir. Sepotong baju disini bisa bernilai puluhan juta." Wisnu kembali tertawa sambil mengacak rambutku gemas. "Ayo masuk. Aku yang bayar. Kau hanya harus mencoba baju mana yang menurutku sesuai." "Baiklah. Catat aku tidak meminta atau memaksamu untuk membelinya." "Iya Andira. Ya tuhan kau sama sekali tidak berubah." Tanpa canggung Wisnu menautkan jemari kami. Aku ingin melepaskan diri. Tapi laki-laki itu memaksa sambil menyeretku berjalan di sisinya. Aku tau semua ini dosa, tapi kenapa dosa ini begitu indah? Sesampainya di dalam butik, Wisnu menyodorkan beberapa dress untuk ku coba. Setelah cukup lama mengganti ini dan itu, akhirnya Wisnu memutuskan pilihannya. Dress batik bergaya gaun modern sebatas lutut, tanpa lengan, akhirnya menjadi pilihan. Cantik memang. Wisnu juga memilih kemeja batik bercorak sama. Lengkap sudah. Kami terlihat serasi seperti pasangan sungguhan. "Kenapa harus sama?" Setelah sampai di mobil aku memulai aksi protes. "Tentu saja karena kita dari perusahaan yang sama Andira. Apa yang kau takutkan?" Wisnu tersenyum menggoda. "Aku takut ada yang salah paham." "Siapa? Suamimu?" Wisnu menatap mataku sesaat. "Su suami? Kenapa tiba-tiba kau menyebut kata suami?" Aku tergagap. "Kenapa? Pertanyaanmu aneh Andira. Siapa lagi yang akan salah paham selain suamimu. Tapi apa mungkin suamimu juga akan datang ke acara perusahaan kita?" Aku memilih tidak menjawab. Wisnu tidak tau jika suamiku bekerja di sana. Jika dia tau, apa mungkin dia tetap akan membeli baju bercorak sama? "Oh iya aku belum cerita. Aku sengaja memilih hotel Paradise karena sahabatku yang ku kenalkan padamu dulu bekerja di hotel itu." Aku tercekat mendengar perkataan Wisnu. Dia tau kalau Rizam bekerja di sana. "Kau kenapa Dira. Dari tadi kau hanya diam. Kau marah?" Wisnu bertanya khawatir. Aku menggeleng lemah. Aku tidak marah, tapi aku takut. Bagaimana jika Wisnu tau kalau Rizam adalah suamiku? Apa yang akan dia pikirkan tentangku dan juga pernikahan kami? *** Pukul 8 malam saat kami tiba di hotel Paradise. Wisnu memintaku berpegang pada lengannya. Rasanya canggung. Tapi tetap ku lakukan mengingat kami datang sebagai tuan rumah. "Kalian sudah datang." Pak Bahri, CEO perusahaan, langsung menyapa begitu kami menghampiri. Laki-laki tua itu menyambut kami dengan senyum hangat. "Maafkan keterlambatan kami pak. Jalanan sedikit macet." Aku memberi alasan meski tau beliau tidak keberatan dengan keterlambatan. "Tidak apa-apa Andira. Jika kalian sudah datang, sapalah para tamu. Bapak akan istirahat sebentar sebelum acara dimulai." Kami membungkuk hormat dan membiarkan beliau berlalu. Sepeninggal beliau, kami menyapa beberapa tamu. "Hei kau datang?" Wisnu memeluk seseorang yang baru datang bersama pasangannya. Awalnya aku tidak melihat karena masih sibuk ngobrol dengan rekan kerja sekantor. Tapi kemudian Wisnu menghentikan obrolan kami dan membimbingku menemui orang yang tadi dia peluk. Rizam? Airin? "Hei kita bertemu lagi." Aku menyapa Airin sambil memeluk wanita itu basa-basi. Terhadap Rizam, aku hanya tersenyum dan mencoba bersikap biasa. "Terima kasih sudah menyiapkan tempat yang luar biasa untuk acara perusahaan kami." Wisnu menepuk bahu Rizam. "Tidak masalah. Lagi pula uang yang kalian berikan tidak main-main, jadi mana mungkin kami menyiapkan tempat asal-asalan. Ngomong-ngomong kalian ini pasangan atau..." "Pasangan? Jangan bercanda Rizam. Andira ini sudah menikah." Wisnu memotong ucapan Rizam sebelum laki-laki itu sempat menyudahi kalimatnya. "Ku pikir kalian pasangan. Tapi sungguh, kau dan Andira sangat serasi Wisnu." Rizam sengaja memprovokasi. Aku memilih diam. "Benarkah? Kami memang pasangan yang paling cocok. Tapi sayang, jodoh tidak mau mengikat kami." Aku mencubit perut Wisnu. Laki-laki itu hanya terkekeh sembari menggenggam erat jemariku. "Lepaskan Wisnu, nanti ada yang salah paham." Aku sengaja berbisik dan mencoba melepaskan tanganku. "Salah paham apa Andira? Jangan bodoh, mulai sekarang bersikaplah seperti pasanganku." Wisnu balas berbisik, hampir tak terdengar. "Ngomong-ngomong kapan kalian akan menikah?" Wisnu menatap Airin dan Rizam bergantian. Mereka tersenyum, entah mengapa hatiku rasa terbakar. "Secepatnya. Aku punya sedikit masalah. Untuk itu aku belum bisa melamar Airin." "Apa lagi masalahmu kawan? Sekarang kau sudah mapan, bahkan bisa di bilang kau sudah kaya." Rizam hanya tersenyum. Di sampingnya Airin memilih diam, tetap menggenggam lengan Rizam seolah takut kehilangan. Karena jengah ku putuskan untuk menghindari mereka. "Aku ke toilet dulu Wisnu. Perutku sedikit bermasalah." Wisnu melepaskan genggaman tangannya dan menyentuh keningku. "Kau tidak sakit kan? Wajahmu pucat Dira." Aku menggeleng dan menyingkirkan tangan Wisnu dari keningku. "Apa perlu ku temani?" Aku tertawa. Apa iya harus sedramatis itu? Wisnu memang sosok yang sangat pengertian dan penyayang. Itulah mengapa hatiku sulit berpaling darinya. "Kenapa tertawa?" "Kau membuat perutku semakin sakit Wisnu. Kau laki-laki pertama yang mau menemaniku ke toilet." Aku masih menertawakan Wisnu. Dia mengelus rambutku pelan sebelum akhirnya membiarkanku pergi. Sepertinya aku harus mengakhiri semua ini. Rizam tidak akan pernah menerimaku. Aku hanya membuang-buang waktu jika terus bersamanya. Lain kali akan ku cari waktu yang tepat untuk mengatakan semua pada ayah dan ibu, juga Wisnu. Entah mengapa melihat Wisnu yang begitu perhatian, aku jadi egois ingin memilikinya. Setelah yakin Rizam dan Airin sudah berbaur dengan tamu lainnya, aku keluar dari toilet. Sialnya saat keluar, ternyata acara akan segera di mulai. Dari kejauhan Wisnu memintaku duduk di dekatnya. Aku senang, setidaknya aku tidak harus bertemu Rizam dan Airin lagi. "Lama sekali?" "Perutku sedikit tidak enak." "Apa tidak sebaiknya kita periksa ke dokter? Siapa tau kau sedang hamil." Aku memukul lengan Wisnu pelan dengan wajah bersemu merah. "Berhenti bercanda Wisnu." "Kenapa bercanda? Kau sudah menikah Dira, jadi kemungkinan hamil itu ada." "Tapi aku tidak pernah melakukan hubungan dengan siapapun, jadi bagaimana mungkin aku bisa hamil?" Wisnu menatapku penuh selidik. Astaga apa yang baru saja ku katakan? "Kau tidak pernah..." "Jangan di bahas." Aku langsung memotong ucapan Wisnu. Sepertinya Wisnu masih ingin bicara, tapi seseorang yang baru datang dari arah belakangku membuat Wisnu mengurungkan niatnya. "Sudah selesai?" Aku menoleh mencari tau dengan siapa Wisnu bicara. Rizam? Kenapa dia harus duduk di sini sih? Aku mulai gugup saat laki-laki yang berstatus 'suamiku' itu duduk tepat di sebelahku. "Iya. Airin memang tidak terlalu suka acara formal seperti ini." "Jadi dia pulang sendiri?" Wisnu kembali bertanya. "Tidak. Aku meminta supirku untuk mengantarnya." Aku memilih diam dan memakan cemilan yang di hidangkan di atas meja. Telingaku panas mendengar Rizam begitu perhatian pada Airin. Apa dia benar-benar menganggap kalau dia itu masih lajang? Ah aku memang harus mengakhiri semua ini. "Andira dari tadi kau sibuk makan. Apa makanannya enak?" Tanpa permisi Wisnu menarik tanganku dan memasukan potongan kue yang sedang ku pegang ke dalam mulutnya. Mukaku memanas. Kenapa Wisnu jadi seperti ini sih? "Kalian seperti orang pacaran. Apa suaminya tidak marah?" Rizam menatap Wisnu serius. "Kami memang pacaran. Sampai sekarang masih belum putus. Andira tidak pernah memutuskan hubungan kami, aku juga tidak melakukannya." "Kau bicara apa Wisnu? Setelah aku menikah, tanpa harus ada kata putus, kita sudah resmi berpisah." Wisnu terkekeh melihat raut wajah tidak suka yang sengaja ku perlihatkan. Aku tidak ingin di cap sebagai w************n oleh Rizam. Cukup dia yang tidak tau diri. "Kau serius sekali Dira. Aku cuma bercanda." "Kau memang bercanda tapi sahabatmu bisa saja salah paham." Aku menoleh sekilas pada Rizam. "Jangan terlalu serius Dira. Aku dan Wisnu memang suka bercanda. Lagi pula aku sama sekali tidak keberatan jika kalian mau pacaran." Aku tersenyum getir, sedang Rizam menatapku jengah. "Semoga saja kalian tidak sama brengseknya." Suaraku pelan tapi masih bisa di dengar oleh Rizam dan Wisnu. "Kau tau kalau dia b******k? Wah ternyata seorang Andira pun tau kalau kau itu laki-laki buaya Rizam." Wisnu tertawa pelan. Rizam tak berkomentar tapi ekor matanya mengisyaratkan padaku untuk bicara. Aku tak menanggapi, sengaja ku acuhkan perintah Rizam untuk mengikutinya. Setelah Rizam pergi, tak lama ponselku berbunyi. [Temui aku! Jika tidak akan ku bongkar rahasia kita pada Wisnu.] Dia mau apa? Setelah menghilang seminggu penuh, kenapa sekarang dia ingin membuat keributan? Tak mau Wisnu curiga, aku kembali beralasan ke kamar mandi. Begitu keluar dari ruang pesta, Rizam langsung menarik tanganku. Dia baru melepaskan pegangan tangannya begitu kami berada di ruangan yang cukup tersembunyi. "Apa kabar?" Aku bertanya basa-basi untuk menyulut emosi Rizam. Belum juga bicara, ponsel Rizam berbunyi. Sekilas dapat ku lihat foto Airin terpampang di sana. Artinya Airin yang sedang menghubungi laki-laki itu. "Jangan di angkat." "Kenapa?" Tanya Rizam sembari tersenyum mengejek. "Sekali saja jangan di angkat." Suaraku sedikit tercekat. "Beri aku alasan Andira. Kalau kau bisa memberiku alasan yang masuk akal maka aku tidak akan mengangkatnya." "Karena aku istrimu." Kalimat pendek itu meluncur begitu saja dari bibirku. Tapi sepertinya alasan yang kuberikan tidak cukup masuk akal bagi Rizam. Karena setelah itu Rizam berbalik dan mulai berbicara dengan Airin melalui ponselnya. Aku kecewa. Ternyata status sebagai seorang istri tidak bisa menghentikan Rizam. Aku memilih menjauh dan membiarkan bulir bening mengalir di pipi. Baiklah Rizam. Ayo kita akhiri semua ini. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD