Pagi belum sepenuhnya datang ketika Elias, Kirana, dan Pak Surya keluar dari toko antik. Udara dingin Jakarta menjelang subuh menyentuh wajah mereka, namun tak mampu mendinginkan pikiran yang berkecamuk. Mereka tahu bahwa setiap menit yang terbuang bisa jadi peluang bagi Gigi Ular untuk mengunci rencana gilanya.
“Kita butuh keunggulan,” kata Elias sambil memeriksa pistol kecil yang ia sembunyikan di balik jaket. “Sesuatu yang bisa membuat Risa lengah.”
Kirana mengangguk. “Aku punya ide. Tapi ini akan melibatkan orang lain. Seseorang yang kau kenal, meskipun aku yakin kau tak berharap untuk bertemu dia lagi.”
Elias menoleh tajam. “Siapa?”
Kirana menyeringai samar. “Dino.”
Nama itu menghentikan langkah Elias.
“Dino masih hidup?” tanyanya.
“Lebih dari sekadar hidup,” jawab Kirana. “Dia berkembang. Sekarang dia jadi perantara senjata gelap di Glodok. Tapi dulu, dia pernah jadi analis komunikasi untuk timmu di Orion sebelum dia menghilang setelah penutupan operasi. Dan dia… menyimpan satu rekaman penting—intersepsi sinyal antara Risa dan seseorang dengan kode nama Tangan Obsidian.”
Elias menggertakkan gigi. “Kalau rekaman itu masih ada… mungkin bisa jadi umpan.”
Pagi itu, kawasan Glodok penuh hiruk pikuk. Di tengah pasar yang padat dan berisik, sebuah bar kecil tersembunyi di balik dinding toko alat elektronik. Di dalamnya, lampu redup menerangi ruangan yang dipenuhi asap rokok dan musik jazz tua. Di sudut ruangan, seorang pria gempal duduk santai, mengenakan jaket kulit dan topi fedora.
Dino.
Saat melihat Elias masuk, pria itu menghela napas panjang. “Hidup ini memang aneh. Gue kira lo udah ditanam di bawah tanah.”
“Dan lo ternyata belum berhenti berurusan dengan dunia gelap,” jawab Elias tanpa basa-basi.
Dino tertawa pendek. “Gue nyari duit, bukan masalah. Lo yang main-main sama ular. Mau apa sekarang?”
Elias duduk, Kirana berdiri di belakangnya. “Gue tahu lo nyimpan rekaman komunikasi antara Risa dan Tangan Obsidian. Gue butuh itu.”
Dino menatapnya lama, lalu tertawa kecil. “Lo dateng-dateng mau barang panas kayak gitu? Lo pikir gampang?”
“Gue gak punya waktu buat main aman.”
Dino mengelus janggutnya. “Baik. Tapi gue kasih lo peringatan. Rekaman itu bukan cuma percakapan. Itu pengakuan. Risa... pernah dikendalikan. Bukan sepenuhnya keinginan dia waktu bunuh Naya.”
Elias membeku. Nama itu menghantamnya seperti palu godam.
“Naya…” bisik Pak Surya. “Itu agen muda yang mati waktu Orion gagal, kan?”
Elias mengangguk. Wajah itu masih jelas di ingatannya—mata penuh semangat, tawa ringan di tengah gelapnya dunia spionase. Dan Risa… adalah orang terakhir yang bersamanya sebelum peluru menembus jantung Naya.
Dino menggesekkan USB kecil ke atas meja. “Ambil. Tapi ingat, kebenaran kadang lebih berat daripada peluru.”
Elias mengambilnya tanpa kata. Saat ia hendak pergi, Dino memanggilnya.
“Elias… kalau lo mau lawan Gigi Ular, lo harus siap kehilangan lebih dari yang udah hilang.”
Mereka kembali ke markas Kirana. Di ruang belakang toko antik, mereka memutar rekaman itu.
[Sinyal terenkripsi, suara samar terdengar]
Risa: “Aku sudah di lokasi. Tapi aku... ragu. Dia masih terlalu muda.”
Suara pria berat dan dalam, kemungkinan besar Tangan Obsidian: “Keraguanmu adalah kelemahan. Lakukan atau kau yang digantikan.”
Risa: “Tapi dia mempercayai kita... dia mempercayaiku.”
Tangan Obsidian: “Kepercayaan adalah mata uang orang lemah. Lakukan, atau aku sendiri yang akan menyelesaikannya.”
Suara tembakan terdengar di akhir rekaman.
Elias menutup mata. Rasa bersalah, dendam, dan keraguan bercampur dalam dadanya.
“Dia tak pernah sepenuhnya memilih,” kata Kirana pelan. “Dia dipaksa.”
“Dan sekarang dia memimpin mereka,” sahut Elias. “Entah karena dendam… atau karena dia ingin memperbaiki kesalahan dengan cara yang salah.”
Pak Surya menatap Elias. “Apa rencanamu?”
Elias berdiri. “Kita sebarkan potongan rekaman ini. Biarkan Risa tahu bahwa kita tahu. Buat dia muncul. Tapi bukan untuk bertempur… untuk bicara.”
Kirana mengangguk pelan. “Dan kalau dia tidak datang untuk bicara?”
Elias mengisi peluru ke pistolnya. “Maka kita anggap dia sudah membuat pilihannya.”
Di gedung tinggi di kawasan SCBD, seorang wanita berdiri menatap Jakarta dari balik jendela kaca berlapis baja. Rambut hitamnya diikat rapi, dan mata dinginnya menatap layar tablet yang menampilkan rekaman yang baru saja bocor.
Risa Purnama.
Di belakangnya, dua pria bersenjata menunggu perintah.
Dengan suara tenang, Risa berkata, “Sebarkan pesan ini ke seluruh kanal. Beritahu Elias… jika dia mau jawaban, aku akan menunggu di tempat yang dulu menjadi milik kita—Gedung Sektor Tiga, markas Orion yang sudah terkubur.”
Ia menatap malam Jakarta yang mulai diterangi mentari pagi. “Sudah waktunya masa lalu dan masa kini bertemu.”
Langkah Elias terasa berat saat ia melangkah ke luar dari ruang belakang toko antik Kirana. Udara Jakarta yang mulai menghangat tak mampu menenangkan pikirannya. Ia berdiri diam di pinggir jalan, menatap arus kendaraan yang mulai padat. Mobil, motor, dan angkot berlalu-lalang tanpa tahu bahwa sebentar lagi, kota ini bisa berubah menjadi medan perang diam-diam.
Pak Surya keluar dari belakangnya, membawa dua gelas kopi hitam panas. Ia menyodorkan satu kepada Elias tanpa berkata-kata. Elias menerimanya, lalu duduk di kap mobilnya.
“Gue pernah lihat mata kayak gitu,” kata Surya setelah menyesap kopinya. “Mata orang yang gak yakin apakah dia sedang melangkah ke depan... atau sedang menggali lubang kuburnya sendiri.”
Elias hanya mendengus. “Gue kira setelah keluar dari dunia itu, semuanya akan jadi lebih sederhana. Tapi ternyata... dunia gak pernah berhenti berputar.”
“Kadang kita gak punya pilihan selain ikut mutar... atau digilas.”
Kirana keluar membawa laptop. “Risa sudah membalas,” katanya tanpa basa-basi. “Pesannya singkat: ‘Datang sendiri. Tak ada jebakan, hanya jawaban. Gedung Sektor Tiga, pukul 22.00.’”
“Dan lo percaya?” tanya Surya cepat.
“Gue gak pernah percaya Risa,” sahut Elias. “Tapi gue percaya dia ingin menyelesaikan sesuatu malam ini.”
Gedung Sektor Tiga terletak di kawasan terlantar, tak jauh dari perbatasan Ancol. Dulunya markas rahasia dari operasi Orion, kini bangunan itu ditinggalkan begitu saja setelah misi mereka runtuh. Sebagian dindingnya dipenuhi grafiti, dan bagian atapnya nyaris roboh karena korosi dan usia.
Elias datang seorang diri, mengenakan jaket hitam dan membawa satu pistol kecil tersembunyi di balik punggung. Ia masuk melalui pintu samping yang masih memiliki bekas lambang Orion—simbol burung hantu dan tiga bintang yang telah pudar.
Lorong panjang menyambutnya dengan suara langkah kakinya sendiri yang menggema. Lampu-lampu neon tua sesekali masih menyala, berkedip pelan seolah mengingat masa lalu yang tak mau mati.
Di aula utama yang dulu jadi ruang briefing tim Orion, seorang wanita berdiri menunggunya.
Risa.
Rambutnya sedikit lebih panjang dari terakhir kali Elias melihatnya. Ia mengenakan mantel kulit panjang dan sarung tangan hitam. Di pinggangnya, senjata kecil tergantung—tapi tidak dipegang. Wajahnya tegas, namun matanya... ada luka yang tak pernah sembuh.
“Elias,” katanya, tenang.
“Risa.”
Hening. Mereka berdiri saling memandangi, seperti dua bayangan dari masa lalu yang menolak lenyap.
“Kenapa sekarang?” tanya Elias. “Setelah semua ini, kenapa ajak gue ke sini?”
“Karena hanya kau yang masih bisa menghentikan mereka,” jawab Risa. “Dan karena aku lelah jadi boneka Tangan Obsidian.”
Elias menatapnya tajam. “Jadi semua ini... lo ingin membelot?”
“Aku ingin mengakhiri semuanya. Termasuk dosa gue sendiri.”
Ia melangkah maju perlahan, membuka saku dalam mantelnya dan mengeluarkan chip data.
“Ini semua rencana mereka. Protokol ‘Naga Tidur’, struktur jaringan ‘Mata Ular’, sampai ke identitas asli Tangan Obsidian. Tapi...” —dia berhenti— “...dalam chip ini juga ada video pembunuhan Naya. Bukti bahwa aku... memang menembaknya.”
Elias mengepalkan tangan.
“Gue butuh lo untuk melihatnya,” lanjut Risa. “Agar lo ngerti kenapa gue harus menembaknya. Bukan karena perintah. Tapi karena... dia tahu sesuatu yang seharusnya gak boleh diketahui siapa pun.”
Elias maju, mengambil chip itu, lalu menatapnya dalam-dalam.
“Gue gak tahu apakah gue masih bisa percaya lo,” bisiknya.
“Gak perlu percaya. Tapi lo harus putuskan apakah lo mau perang ini selesai... atau lo cuma mau balas dendam.”
Malam itu, Elias kembali ke markas Kirana. Ia duduk di depan layar, chip data di tangannya seperti bom waktu.
“Lo yakin mau lihat ini?” tanya Kirana.
Elias mengangguk. “Ini satu-satunya cara untuk tahu siapa sebenarnya yang gue lawan.”
Kirana memasukkan chip, dan video dimulai.
Naya muncul di layar, sedang berdiri di sebuah ruangan kecil. Ia sedang memindai dokumen—dokumen rahasia yang berisi nama-nama agen ganda dalam operasi Orion. Dan salah satu nama di situ…
“Surya?”
Pak Surya membeku. Di layar, Naya berkata pelan, “Kalau ini benar, berarti kita semua sudah dikhianati dari dalam.”
Lalu... suara langkah. Risa masuk. Wajahnya panik.
“Kau tak seharusnya melihat itu, Naya,” katanya.
“Ini... ini penghianatan,” jawab Naya. “Kita harus kabur sekarang!”
Dan tembakan itu terdengar.
Video berhenti.
Ruangan menjadi hening. Pak Surya berdiri pelan, wajahnya pucat.
“Gue... gue gak tahu Naya punya dokumen itu,” katanya pelan. “Tapi gue gak pernah nyuruh dia dibunuh.”
Elias berdiri perlahan, matanya tak lepas dari layar.
“Gue percaya lo,” katanya akhirnya. “Tapi sekarang kita tahu... Tangan Obsidian lebih dalam dari yang kita kira.”
Kirana menatap chip data. “Kalau informasi ini benar... maka pemimpin Gigi Ular ada di lingkaran paling dalam badan intelijen kita sendiri.”
Elias menggertakkan rahangnya. “Dan ini bukan soal balas dendam lagi.”
Ia menatap mereka berdua. “Ini soal menghentikan orang yang bisa menjatuhkan negeri ini dari dalam.”