Jakarta Undercover

Jakarta Undercover

book_age18+
0
FOLLOW
1K
READ
dark
brave
bxg
serious
city
musclebear
like
intro-logo
Blurb

Jakarta, lima tahun lalu

Malam turun seperti tirai beludru hitam, menyelimuti bangunan beton lembap dan lorong-lorong tua yang seolah menyimpan bisikan rahasia. Di dalam bunker bawah tanah yang sudah lama ditinggalkan, bau oli tua, debu mesiu, dan darah bercampur dalam udara yang pekat.

Elias Vance berlutut di samping tubuh seorang agen muda yang terbaring tak bernyawa. Mata gadis itu menatap kosong ke langit-langit retak, sementara darahnya membentuk pola yang perlahan mengalir ke simbol di lantai: ular melingkar menggigit ekornya sendiri, membingkai sepasang belati bersilang.

Langkah kaki terdengar dari lorong gelap di belakangnya. Seseorang datang. Elias mencabut pistolnya—dengan tangan gemetar, bukan karena takut, tapi karena ia tahu apa yang akan ia lihat.

Risa Purnama muncul dari bayang-bayang, wajahnya tenang, sarung tangan hitamnya memegang senjata yang masih berasap.

“Kau terlalu lambat, El,” katanya, lirih. “Dia bukan bagian dari rencana. Tapi kamu tahu... tidak ada ruang untuk kelembutan dalam operasi ini.”

Elias memandang gadis di hadapannya. Naya. Gadis yang terlalu muda untuk dunia sekejam ini. Gadis yang mempercayainya sampai akhir.

Dan malam itu, segalanya runtuh. Orion’s Veil bubar. Semua dokumen dihapus. Semua agen dibersihkan. Elias menghilang. Dunia percaya ia sudah mati. Tapi ia hanya tenggelam—dalam kehidupan sunyi di balik kemudi taksi malam.

Kini, lima tahun kemudian, simbol itu kembali muncul. Dan bersama dengannya, juga muncul suara-suara dari masa lalu—pengkhianatan, kematian, dan satu pertanyaan yang belum pernah terjawab:

Siapa sebenarnya yang menarik tali di balik Operasi Orion?

Elias tahu satu hal:

Masa lalu tak pernah mati. Ia hanya menunggu waktu untuk memburu kembali.

ic_default
chap-preview
Free preview
Penumpang terakhir
Jakarta. Jam digital di dasbor taksi tua Elias menunjukkan 23:49 WIB. Langit gelap, gerimis tipis turun malas-malasan, memantulkan cahaya lampu jalan ke aspal yang licin. Udara lembap dan pekat, aroma kota besar yang tak pernah benar-benar tidur. Elias Vance menggenggam setir, jari-jarinya mengetuk-ngetuk irama pelan ke permukaan kulit yang sudah aus. Tak ada musik. Hanya desis AC tua yang lebih sering menghembuskan kenangan daripada udara sejuk. Taksi lamanya—warna kuning pudar dengan goresan hitam di sisi kiri—lebih dari sekadar kendaraan. Itu tempat persembunyian. Tempat menyembunyikan masa lalu, dan kadang... tempat menyembunyikan diri dari siapa dirinya sebenarnya. Malam itu sepi. Terlalu sepi untuk malam Jumat di Jakarta. Biasanya ada pasangan yang pulang dari bioskop, pemabuk dari bar Sudirman, atau pegawai kantoran yang kelewat lembur. Tapi malam itu, hanya lampu merah yang berkedip malas dan suara klakson jauh dari arah tol. Elias memandangi spion tengah. Matanya kosong, tapi dalam benaknya selalu ada gerakan. Selalu ada analisa. Insting lamanya belum mati, meski sudah bertahun-tahun ia mencoba hidup sebagai orang biasa. Tiba-tiba, pintu belakang terbuka. Seorang pria berpakaian serba hitam masuk tanpa suara. Wajahnya tertutup masker dan topi, menyisakan sepasang mata kelam yang tak menatap Elias sedikit pun. “Pondok Indah. Jalan Flamboyan Raya. Lewat belakang,” katanya datar, nyaris berbisik. Elias menoleh sekilas, lalu mengangguk tanpa bicara. Ia tahu jalan itu. Jalan yang jarang dilalui karena gelap dan sering jadi tempat transaksi yang tak ingin disaksikan orang. Tapi dia tidak tanya. Sudah bukan tugasnya untuk peduli. Taksi meluncur perlahan, menyusuri jalan-jalan sunyi yang lebih banyak dihuni lampu mati dan toko tutup. Pria di belakangnya diam seperti bayangan. Tak ada percakapan, hanya suara wiper yang menyapu gerimis dari kaca depan. Sampai di belokan terakhir, pria itu berkata, “Berhenti di depan ruko kosong itu.” Elias menginjak rem. Pria itu membuka pintu, tapi sebelum keluar, ia menoleh sejenak ke Elias. Mata mereka bertemu sepersekian detik. Ada sesuatu di sana—tekanan, ketegangan, seolah ia sedang mengukur Elias dari balik tatapan dingin itu. Kemudian dia keluar. Menutup pintu perlahan. Tidak menunggu kembalian dari lembaran seratus ribu yang diselipkan ke celah kursi depan. Taksi kembali sunyi. Elias menarik napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke jok. Tapi sebelum menginjak gas, sesuatu menarik perhatiannya. Di kursi belakang, nyaris tersembunyi di bawah lipatan kain jok—ada benda kecil berkilau. Elias memutar tubuhnya, meraih benda itu. Sebuah token logam, bulat, seukuran koin kuno. Berat dan dingin saat disentuh. Ia membaliknya perlahan di telapak tangannya. Di satu sisi, ukiran kepala ular dengan mata merah dari batu kecil, dan di sisi lain—sebilah belati bersilang. Simbol itu familiar. Terlalu familiar. Jantung Elias berdetak lebih cepat. Napasnya tertahan. Bukan karena ia takut. Tapi karena ia tahu persis apa arti simbol itu. Orion’s Veil. Sebuah unit rahasia, bahkan lebih gelap dari bayangan birokrasi. Tempat Elias pernah menjadi senjata hidup. Tempat segala pengkhianatan dan kematian dimulai. Tempat Naya— Ia menutup mata, dan seperti keran bocor, ingatan itu mengalir deras. Denting peluru. Jeritan radio. Darah di lantai beton. Tubuh Naya yang tergeletak, matanya menatap langit-langit bunker yang runtuh. Dan suara di earpiece-nya malam itu: "Target terminated. Semua personel ditarik. Operasi dibatalkan." Elias meremas token itu keras-keras, hingga telapak tangannya berdenyut nyeri. Ia membuka mata. Dunia nyata kembali. Tapi detak jantungnya belum tenang. Pria tadi bukan penumpang biasa. Dan token ini bukan kebetulan. Seseorang mencoba membangunkan sesuatu yang sudah dikubur. Elias menyalakan taksi dan berbelok ke kanan, menjauhi rute pulang. Ia tahu harus ke mana. Toko Antik Surya Dharma. Toko kecil yang tersembunyi di Pasar Baru, di antara kios obat Cina dan penjual kemenyan. Tempat yang tidak banyak diketahui orang, tapi menyimpan lebih banyak rahasia daripada museum negara. Pak Surya adalah satu-satunya yang mungkin bisa membaca makna simbol ini. Taksi menyusuri jalan sepi. Di luar, Jakarta terus hujan. Tapi di dalam Elias, badai yang lebih kelam mulai tumbuh. Ia menatap token itu sekali lagi, mata ular merah menyala di bawah lampu dashboard. Dan untuk pertama kalinya dalam lima tahun, Elias Vance tahu—ia tidak lagi hanya seorang sopir taksi. Malam ini, ia kembali menjadi bayangan. Elias mengemudi tanpa arah pasti. Jalanan Jakarta di malam hari seperti labirin gelap yang hanya dikenali oleh mereka yang terbiasa dengan sisi kelam kota ini. Ia melewati beberapa warung tenda yang masih buka, sopir truk yang tidur di balik kemudi, dan segelintir pejalan kaki yang menunduk melawan hujan gerimis. Di sebuah perempatan, ia berhenti. Lampu merah berkedip pelan. Saat menatap ke arah cermin spion tengah, Elias merasa seperti melihat bayangannya sendiri—tapi lebih muda, lebih idealis, dan lebih naif. Wajah Naya muncul dalam pikirannya. Gadis itu hanya 23 saat dikirim bersamanya ke operasi terakhir. Rambut pendek, senyum kaku, tapi mata penuh tekad. "Kita cuma pion, Elias," kata Naya dulu di dalam helikopter sebelum turun. "Tapi pion juga bisa mat kalau melangkah salah." Elias mengatupkan rahangnya. Ia tak pernah menyukai kalimat itu, tapi belakangan, ia paham—itu bukan keluhan. Itu peringatan. Lampu berubah hijau. Elias tak langsung jalan. Ia hanya diam, seperti menimbang antara memutar arah atau terus menggali sesuatu yang seharusnya tetap terkubur. Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk, tanpa nama pengirim. Hanya satu kalimat: “Mereka sudah tahu kau menemukannya.” Elias memandang layar ponsel itu lama, lalu mematikan perangkatnya. Tak ada gunanya menelusuri siapa pengirim. Ia tahu hanya satu orang yang mungkin bisa mengirim pesan dengan enkripsi secepat itu: Risa Purnama. Nama yang membuat udara dalam taksi seketika menebal. Risa... wanita itu dulunya rekan sekaligus cermin dari sisi gelap Elias. Dingin, efisien, dan tanpa ampun. Jika dia sudah turun tangan, maka ini bukan sekadar peringatan. Ini deklarasi. Gerimis makin deras. Jalanan berubah licin dan lebih gelap. Tapi Elias tetap tenang. Tangannya tetap stabil di setir. Ia sudah terbiasa menghadapi hujan—baik yang turun dari langit maupun dari bayang-bayang masa lalu. Taksi membelok tajam ke arah Pasar Baru. Di sana, di sebuah lorong tua dengan neon kedip-kedip dan aroma kemenyan menggantung di udara, toko antik Pak Surya menunggu. Elias memarkir mobil di depan lorong. Ia menatap token sekali lagi sebelum memasukkannya ke saku jaket kulitnya. Tangannya sempat berhenti—bergetar sedikit—bukan karena takut, tapi karena ia tahu: apa pun yang menunggunya malam ini, akan mengubah semuanya. Sebelum keluar, ia menatap bayangannya di kaca spion. “Lo udah lari cukup lama, El,” gumamnya pelan. “Sekarang waktunya ngadepin mereka.” Lalu ia membuka pintu, dan melangkah ke dalam lorong gelap dengan langkah mantap. Dan di kejauhan, di atas sebuah gedung kosong yang menghadap jalan itu, seorang siluet berdiri dalam bayangan. Tangan bersarung kulit hitam menggenggam senapan laras pendek dengan teropong laser yang tidak menyala. Mata sang penembak menyipit saat melihat Elias berjalan menjauh dari taksi. Risa Purnama tersenyum tipis. “Permainan dimulai.”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

JANUARI

read
43.1K
bc

Om, Jadi Cinta Enggak?

read
97.1K
bc

Wolf Alliance Series : The Path of Conquest

read
41.8K
bc

Scandal Para Ipar

read
704.0K
bc

Wolf Alliance Series : The Gate of Sin

read
41.4K
bc

Papa, Tolong Bawa Mama Pulang ke Rumah!

read
4.2K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
151.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook