Langit mendung menggantung di atas Jakarta, seolah mencerminkan kondisi kota yang kian suram. Di dalam toko antik Kirana yang kini jadi markas darurat, suasana tegang mendominasi. Data yang dibawa dari markas bawah tanah Gigi Ular masih dalam proses dekripsi, tapi sudah cukup menunjukkan satu hal: peta operasi mereka jauh lebih luas dari yang dibayangkan.
“Gak cuma Jakarta,” gumam Kirana sambil menatap monitor. “Operasi mereka menjangkau Surabaya, Medan, bahkan luar negeri. Mereka bukan sekadar organisasi bawah tanah… ini semacam negara dalam bayangan.”
Elias berdiri di belakangnya, memijat pelipis. Matanya merah karena kurang tidur. “Ada nama kode yang terus muncul di jaringan: Kali Yuga.”
Dinda, duduk di sudut dengan kakinya dibalut perban, mengangkat alis. “Itu bukan kode biasa. Kali Yuga adalah era kehancuran dalam mitologi Hindu. Simbol dari zaman kegelapan.”
Pak Surya yang tengah menyeduh kopi bergumam, “Jadi mereka melihat diri mereka sebagai... pemicu akhir zaman?”
“Bukan hanya pemicu,” Elias menyela. “Mereka ingin mengatur ulang segalanya. Pemerintahan, ekonomi, bahkan sistem sosial.”
Kirana mengetik cepat. “Dan sepertinya pusat kontrol dari seluruh jaringan mereka terhubung ke satu lokasi di Jakarta... tapi terenkripsi berat.”
“Lo bisa tembus?” tanya Elias.
Kirana menyeringai tipis. “Gue bisa ngebobol server militer AS waktu kuliah. Ini cuma soal waktu.”
Sementara itu, di tempat lain, Rex Umbra berdiri di dalam ruangan kaca tinggi yang menghadap cakrawala Jakarta. Di belakangnya, layar raksasa menampilkan feed real-time dari berbagai titik operasi. Salah satunya menampilkan foto Elias, disandingkan dengan label merah: Target Prioritas Utama.
Seorang pria berjas gelap masuk ke dalam ruangan. “Unit lapangan gagal mengeksekusi tim Vance. Tapi kami berhasil menandai pergerakan mereka.”
Rex tidak menoleh. “Biarkan mereka terus berlari. Orang seperti Elias Vance… tak akan bisa diam saat melihat kebenaran. Dia akan terus menggali, dan saat dia sampai di pusatnya… kita kunci pintunya.”
Dia melangkah menuju panel kontrol dan menekan tombol yang menyala merah: Aktifkan Protokol Kali Yuga – Fase I.
Kembali ke markas Kirana, Kirana akhirnya menemukan sesuatu.
“Gue dapet akses ke bagian logistik internal mereka. Ada pengiriman besar yang dijadwalkan malam ini… tujuan: Pelabuhan Marunda.”
Elias menyipitkan mata. “Isinya?”
“Gak jelas. Labelnya pakai kode: Raktachakra.”
Dinda langsung berdiri walau tertatih. “Itu istilah dari India Kuno. Artinya: roda darah. Dalam konteks militer, itu biasa dipakai buat menyebut mesin pembantaian.”
Surya melotot. “Jadi... mereka mau nyelundupin senjata?”
Kirana menggeleng. “Bukan senjata biasa. Lihat ini.” Ia menunjuk tampilan data: grafik biologis, formula kimia, dan model 3D kapsul logam.
Elias membeku. “Ini… senjata biologis.”
Dinda menambahkan, “Dan mereka berniat sebarkan lewat jalur distribusi bahan makanan. Sekali tersebar, gak ada yang bisa nahan dampaknya.”
Elias menatap mereka semua. “Kita harus hentikan mereka malam ini. Sebelum kota ini jadi kuburan massal.”
Malam itu, Pelabuhan Marunda tampak lengang, tapi bayangan mengintai di setiap sudut. Kontainer-kontainer besar terjejer rapi, dijaga ketat oleh sekelompok pria bersenjata yang menyamar sebagai petugas logistik.
Elias dan tim menyusup dari sisi utara, menggunakan kanal tua yang terlupakan. Kirana tetap di van pengawas, memantau pergerakan lewat drone kecil yang ia operasikan dari laptop.
“Ada tiga kontainer dengan suhu stabil—dijaga paling ketat. Itu target kita,” ucapnya lewat radio.
Elias dan Surya bergerak mendekat. Dinda, meski masih tertatih, menyiapkan bahan peledak kecil untuk mengalihkan perhatian. Dalam hitungan detik, ledakan kecil mengguncang sisi lain pelabuhan.
Saat para penjaga berlarian, Elias menyusup ke kontainer dan membukanya.
Di dalamnya, puluhan kapsul logam tertata rapi, masing-masing dengan simbol Gigi Ular dan tulisan merah: RAKTA.
“Ini bukan pengiriman,” gumam Elias. “Ini pemicu kiamat.”
Surya mengangkat detonator kecil. “Kita hancurkan semuanya sekarang.”
Tapi sebelum mereka sempat bergerak, suara tembakan menggema. Salah satu agen bayangan muncul dari belakang peti dan menembak ke arah Surya. Elias bergerak cepat, menembak balik dan menjatuhkan pria itu.
Surya terluka di lengan, tapi masih berdiri. “Gue masih bisa nyalain ini.”
“Cepat,” Elias memerintah.
Mereka keluar dari kontainer dan dalam hitungan detik, ledakan dahsyat menghancurkan semua kapsul. Api membubung ke langit malam, dan sirene pelabuhan mulai meraung.
Tapi kemenangan itu hanya sementara.
Kirana berteriak dari radio. “Mereka tahu! Tim bayangan menuju lokasi lo! Gue dapet sinyal mereka lacak posisi lo pakai satelit!”
Elias meraih radio. “Kita tarik diri sekarang. Titik evakuasi: Jembatan Merah.”
Di jalan sempit menuju Jembatan Merah, mereka dikejar habis-habisan. Mobil pickup tua yang mereka tumpangi bergoyang dihantam peluru. Dinda menembak balik dari belakang, sementara Elias terus menyetir dengan kecepatan gila.
Saat mereka berhasil melewati jembatan, satu ledakan mengguncang jalan belakang—tim pengejar hancur dihantam ranjau yang sudah ditanam sebelumnya oleh Kirana.
Mereka lolos.
Tapi hanya untuk sementara.
Kembali di markas, mereka duduk terdiam. Luka-luka ditangani, tapi yang paling terasa adalah kelelahan mental.
“Berapa banyak lagi yang mereka punya?” tanya Surya dengan suara berat.
Kirana mengetik cepat, lalu menunjuk layar. “Data dari kontainer itu bawa kita ke lokasi lain... mungkin markas utama mereka di Jakarta.”
Elias berdiri perlahan, menatap layar dengan mata tajam.
“Kalau ini pusatnya... maka besok malam, kita masuk.”
“Dan kalau itu jebakan?” Dinda menimpali.
“Kalau kita nunggu lebih lama,” Elias berkata pelan, “gak akan ada lagi kota buat diselamatin.”
Malam menjelang subuh, dan toko antik Kirana sunyi dalam kecemasan. Di ruang bawah tanah yang telah mereka sulap menjadi pusat komando, suara ketikan Kirana satu-satunya yang memecah keheningan.
“Gue nemuin sesuatu,” katanya tiba-tiba.
Elias dan Dinda langsung menghampiri. Kirana menunjuk pada pola rute distribusi kapsul RAKTA yang berhasil ia selamatkan dari server pelabuhan.
“Ini bukan cuma pengiriman. Ini... peta invasi biologis. Mereka targetin lokasi-lokasi dengan populasi padat, sistem sanitasi buruk, dan akses media terbatas.”
Dinda mengerutkan kening. “Mereka nyebar virus di tempat yang butuh waktu lama buat dideteksi. Pas ketahuan, udah terlalu telat.”
Elias menyapu layar dengan pandangan tajam. “Gue pernah liat metode ini. Taktik yang pernah diusulkan... oleh seorang pakar penyakit eksperimental, Dr. Harith Mahardika.”
Pak Surya yang mendengar dari tangga menimpali, “Dia itu bukan tokoh publik?”
“Dulu. Sekarang dia menghilang, dicoret dari banyak database. Tapi kalau info ini akurat...” Elias menunjuk satu titik merah di layar, “...dia mungkin dalang biologis dari Gigi Ular.”
Kirana menggali lebih dalam, hingga menemukan log rahasia: percakapan terenkripsi antara Rex Umbra dan seseorang berinisial ‘H.M.’
“Ini bukti keterlibatan Harith. Dan mereka berencana uji coba besar... di Rusun Tanjung Elang, dua hari dari sekarang,” katanya.
Elias berdiri. “Kita gak bisa nunggu. Kita temui dia lebih dulu.”
Dini hari berikutnya, Elias dan Dinda melaju ke arah Sentul, tempat terakhir yang diketahui menjadi tempat persembunyian Dr. Harith Mahardika. Jalanan sepi, tapi firasat buruk membayangi.
“Lo yakin dia masih di sana?” tanya Dinda sambil memeriksa pistolnya.
“Kalau dia pindah, pasti ninggalin jejak. Orang kayak Harith gak pernah bisa benar-benar menghilang.”
Mereka tiba di sebuah vila tersembunyi di balik hutan bambu. Suasana mencekam. Jendela tertutup, tak ada cahaya dari dalam. Tapi ada suara mesin generator kecil di belakang rumah.
Elias memberi isyarat. Mereka masuk diam-diam.
Di dalam, bau zat kimia menyengat. Tabung uji, peralatan laboratorium, dan papan tulis penuh rumus terpajang di setiap sudut ruangan. Dan di sana, di tengah kekacauan ilmiah itu, seorang pria kurus berambut abu-abu duduk, menatap mereka dengan mata kosong.
“Elias Vance,” katanya lemah. “Akhirnya lo datang.”
Elias mendekat hati-hati. “Lo tahu kenapa gue di sini.”
Harith mengangguk. “Kali Yuga akan datang. Dan gue pencipta darah pertamanya.”
Dinda mencabut pistol. “Lo gila.”
“Tentu.” Harith tersenyum aneh. “Tapi dalam kegilaan, kadang ada kejujuran. Gue cuma alat. Rex... dia yang percaya dunia ini perlu dibakar biar tumbuh kembali.”
Elias menatapnya lurus. “Bantu kita hentikan ini.”
Harith diam sejenak, lalu berjalan tertatih ke sebuah brankas di pojok ruangan. Ia memasukkan kode, dan mengambil sebuah drive kecil.
“Di sini. Semua data virusnya. Komposisi, penyebaran, antivirus awal. Tapi hati-hati… Rex nanemin ‘mata’ di dalam file ini. Sekali lo aktifkan, dia bakal tahu.”
“Gue tanggung resikonya,” kata Elias, mengambil drive itu.
Tiba-tiba, suara peluru menembus kaca.
Harith tersentak, lalu roboh—darah mengalir dari pelipisnya.
“Sniper!” Dinda berteriak.
Elias menarik tubuhnya dan berlindung di balik meja, lalu mereka menyusup keluar lewat lorong bawah vila yang Harith sudah siapkan untuk kabur. Di luar, drone musuh berputar di atas mereka.
Dinda melempar EMP kecil, menonaktifkan drone untuk beberapa menit. Cukup untuk kabur.
Dengan drive di tangan, mereka kembali ke Jakarta—tapi kehilangan satu-satunya saksi hidup dari dalam jaringan Gigi Ular.
Di markas, Kirana menyambut mereka dengan kabar buruk. “Drive ini dikunci dengan sistem pengaman biologis. Harith satu-satunya yang bisa buka.”
Elias menatap layar. “Atau... kita temukan penciptanya. Harith bukan kerja sendiri. Dia pasti punya asisten.”
Kirana menggali data lagi. “Ada satu nama... Raka Ismaya. Mantan dosen bioteknologi, hilang sejak tiga tahun lalu.”
“Cari dia,” kata Elias dingin. “Karena dia sekarang harapan terakhir kita.”
Di sisi lain kota, di puncak gedung megah yang dibangun oleh perusahaan bayangan, Rex Umbra berdiri di depan layar hologram. Salah satu asistennya mendekat.
“Mereka punya drive Harith.”
Rex tersenyum kecil. “Biarkan mereka merasa menang. Karena di ujung permainan ini... hanya satu yang boleh tahu akhir ceritanya.”