Langit Jakarta mulai berubah warna saat fajar mendekat. Lampu-lampu kota perlahan padam, berganti sinar alami yang menyapu jalan-jalan sepi. Namun, di dalam markas kecil di belakang toko antik Kirana, badai tengah berkumpul.
Elias berdiri di depan papan putih besar, penuh dengan catatan, foto, dan garis benang merah yang menghubungkan nama-nama dan peristiwa. Di tengahnya: logo Gigi Ular dan foto buram seorang pria berpakaian formal—yang belum mereka kenali, tapi muncul berulang dalam berkas yang Risa berikan.
“Nama sandinya Rex Umbra,” jelas Kirana. “Tapi ini cuma nama lapangan. Tak ada catatan sipil, tak ada catatan kelahiran. Semua file yang berkaitan dengannya... dihapus atau dikunci oleh sistem dengan keamanan tingkat dewa.”
“Lo yakin ini Tangan Obsidian?” tanya Pak Surya.
“Risa bilang dia cuma pernah dengar suaranya lewat komunikasi terenkripsi. Tapi pria ini... muncul dalam semua rapat rahasia yang berkaitan dengan protokol Naga Tidur. Dia dalangnya.”
Elias memandangi wajah pria itu. Ada sesuatu yang tak asing—seperti siluet dari masa lalu.
“Gue pernah lihat dia,” bisik Elias. “Tapi gue gak yakin di mana... atau kapan.”
Kirana mencondongkan tubuh. “Kalau ingatan lo benar, dia bisa jadi pejabat tinggi yang bersembunyi di balik layar. Intelijen, militer, bahkan mungkin politisi.”
“Dan itu berarti,” Surya menimpali, “kita gak cuma melawan organisasi kriminal. Kita melawan sistem.”
Di tempat lain, jauh dari hiruk-pikuk kota, sebuah ruangan bawah tanah penuh layar monitor menyala terang. Seorang pria tua berambut putih dengan setelan abu-abu gelap duduk di kursi besar seperti raja di singgasananya.
Dialah Rex Umbra. Tangan Obsidian.
Di belakangnya, beberapa agen berpakaian seragam gelap memantau komunikasi global. Salah satu agen mendekat dan berbisik.
“Rekaman dari Risa sudah bocor. Elias memiliki data. Termasuk struktur Gigi Ular dan protokol Naga Tidur.”
Rex Umbra tersenyum tenang. “Bagus. Waktunya memang sudah dekat. Rencana kita harus dipercepat.”
“Bagaimana dengan Risa, Pak?”
“Biarkan dia hidup… untuk saat ini. Pengkhianat akan mendapatkan ganjarannya di akhir.”
Dia menekan tombol merah di samping kursinya. Di layar besar, peta Jakarta menyala, dengan beberapa titik merah berkedip. Titik-titik itu mewakili titik aktif dari sel-sel tidur Gigi Ular.
“Bangunkan semua. Kirim pesan ke seluruh unit. Operasi Serpent Eclipse dimulai malam ini.”
Kembali di markas Kirana, Elias menatap grafik rencana Naga Tidur. “Kalau semua titik ini diaktifkan bersamaan, itu bisa memicu kekacauan nasional.”
“Bukan cuma kekacauan,” sahut Kirana. “Ini sabotase. Ekonomi, jaringan listrik, sistem komunikasi. Mereka akan lumpuhkan Jakarta dulu... lalu seluruh Indonesia.”
Pak Surya menunjuk salah satu titik. “Ini... dekat reaktor listrik di Serpong. Kalau itu disabotase...”
“Setengah Jawa bisa lumpuh,” lanjut Elias.
Dia berdiri cepat. “Kita harus gerak duluan.”
Malam itu, mereka menuju Serpong dengan mobil tua Elias yang sudah dimodifikasi penuh. Kirana di kursi depan, Surya di belakang dengan senjata hasil rakitan yang entah dari mana ia dapat. Jalanan sepi, tapi rasa waspada terasa tebal di udara.
Di dekat reaktor, mereka melihat dua van hitam terparkir diam. Beberapa pria bersenjata patroli di sekitar pagar pembatas.
“Sel Gigi Ular,” kata Elias. “Dan mereka gak di sini buat main kembang api.”
Ia memberi isyarat ke Kirana. “Lo tetap di mobil. Kalau keadaan memburuk, lo kabur bawa bukti ke kontak gue di BIN.”
Kirana menatapnya dengan mata keras. “Gue gak ninggalin lo.”
“Lo harus. Kalau kita mati di sini, satu-satunya hal yang bisa nyelametin negeri ini adalah data di tangan lo.”
Surya menyentuh bahu Elias. “Ayo. Waktunya bertarung.”
Mereka mendekat dengan hati-hati, menyelinap melalui semak-semak hingga cukup dekat. Tiga penjaga tampak berjaga di depan pintu masuk fasilitas.
Elias bergerak cepat. Satu pukulan ke tenggorokan, satu peluru ke bahu, satu lagi dijatuhkan oleh Surya dengan tongkat besi. Diam, cepat, bersih.
Mereka masuk ke dalam, menyusuri koridor gelap menuju ruang kontrol. Di sana, seorang pria bertubuh besar sedang mengatur alat peledak waktu di panel utama.
“Berhenti!” teriak Elias.
Terlambat. Pria itu menekan tombol. Layar menyala: 90 detik hingga ledakan.
Pria itu tersenyum lebar. “Terlambat, Elias Vance.”
“Lo kenal gue?” tanya Elias sambil mengarahkan pistol.
“Semua orang di lingkar dalam Gigi Ular tahu nama lo. Dan tahu... lo adalah kegagalan terbesar Orion.”
Elias menembak. Tepat di kepala.
Dia dan Surya langsung berlari ke panel. Kirana masuk tak lama kemudian, laptop di tangan.
“Kasih gue akses ke sistem!” teriaknya.
Dalam waktu singkat, dia menjebol sistem pengaman dan menonaktifkan penghitung waktu. BOM DINONAKTIFKAN.
Napas mereka tersengal. Tapi mereka selamat.
Untuk malam ini.
Di tempatnya, Rex Umbra menonton rekaman itu. Senyumnya memudar sedikit.
“Elias Vance… selalu jadi duri,” gumamnya.
Ia berdiri, lalu membuka laci dan mengeluarkan map merah bertuliskan kode: HYDRA ASCENDANT.
“Waktunya mengaktifkan fase kedua.”
Malam belum benar-benar usai saat Elias dan tim kembali ke markas. Toko antik Kirana kini tidak lagi sekadar tempat menyimpan barang-barang tua—tapi jadi pusat komando bagi sekelompok kecil orang yang berniat menentang bayangan besar di balik kekuasaan.
Elias melempar jaketnya ke meja, wajahnya masih basah keringat. “Mereka tahu kita bergerak.”
Kirana membuka laptopnya. “Gak cuma tahu. Mereka sekarang aktif. Dalam dua jam terakhir, ada tiga ledakan kecil di titik komunikasi: Purwakarta, Bogor, dan Bekasi.”
“Tes medan,” gumam Surya. “Mereka ukur seberapa cepat kita bisa bereaksi.”
Elias mengangguk. “Dan kalau kita gagal... mereka lanjut ke tahap besar.”
Kirana memutar tampilan peta digital yang kini menyala merah di beberapa titik. “Ini bukan lagi rencana. Ini eksekusi. Mereka sudah mulai... dan kita terlambat satu langkah.”
“Belum,” Elias berdiri. “Masih ada waktu. Tapi kita butuh sekutu.”
Surya menatapnya tajam. “Sekutu? Dari mana? Semua jalur resmi sudah dibungkam.”
“Masih ada satu orang,” jawab Elias. “Dia mantan analis Orion. Sekarang tinggal di luar Jakarta, di kawasan pegunungan. Namanya Dinda Althena. Kalau ada orang yang bisa bantu kita pecahkan strategi perang Gigi Ular... dia orangnya.”
Perjalanan menuju rumah Dinda di kawasan Puncak memakan waktu dua jam. Matahari sudah muncul sepenuhnya saat mereka sampai di sebuah vila tua yang tersembunyi di antara pepohonan pinus.
Elias turun lebih dulu, menatap gerbang besi yang setengah terbuka. “Dia gak pernah percaya siapapun... bahkan gue.”
Mereka masuk perlahan. Halaman sepi. Tapi begitu mendekati pintu utama, terdengar suara pelan.
“Aku bisa bunuh kalian dari balik jendela ini.”
Elias mengangkat tangan. “Kalau lo masih pakai peluru jenis Black Vapor, jaraknya gak lebih dari 30 meter. Gue berdiri di 32.”
Hening.
Lalu, suara tawa pelan.
Pintu terbuka. Seorang wanita muncul, rambut sebahu, tubuh ramping tapi dengan aura tajam seperti belati. Wajahnya penuh luka lama yang tersembunyi di balik sorot mata dingin.
“Masuk, Vance. Kita punya banyak dosa buat dibongkar.”
Di dalam vila, Dinda menatap peta dan data yang Elias bawa. Setelah beberapa menit hening, ia berdiri dan berkata, “Kalian salah satu dari sedikit yang masih waras.”
“Gue gak datang buat pujian,” kata Elias.
“Dan gue gak ngasih. Gue kasih lo ini.” Dinda mengeluarkan peta analog, digambar tangan, dengan beberapa simbol Gigi Ular yang sama seperti di chip data Risa.
“Ini... sumber mereka. Satu tempat yang jadi pusat semua pelatihan, komunikasi, bahkan perekrutan agen Gigi Ular. Lokasinya di bawah tanah, tersembunyi di balik proyek properti fiktif di perbatasan Bandung.”
Elias menatapnya. “Lo yakin?”
“Gue taruh hidup gue di atas informasi ini.”
Kirana menoleh. “Kalau kita bisa masuk ke sana... kita bisa tembus ke otak jaringan.”
Dinda menyipitkan mata. “Kita gak ‘masuk’. Kita nyusup dan nyalain alarm dari dalam.”
Malam berikutnya, mereka bersiap menyusup ke fasilitas bawah tanah. Misi kali ini adalah yang paling berisiko sejak semua ini dimulai—karena jika mereka tertangkap, tidak ada penjara. Hanya liang kubur.
Dinda memandu mereka melalui sistem terowongan lama yang terhubung ke lorong utilitas fasilitas. Saat mereka sampai di pintu baja terakhir, Elias menghela napas panjang.
“Begitu kita buka ini... gak ada jalan mundur.”
Dinda membuka kunci digital. Pintu bergeser perlahan, memperlihatkan ruang kontrol bawah tanah yang penuh dengan terminal komputer dan layar pemantauan. Para teknisi sibuk, tak menyadari kehadiran mereka.
Tiga... dua... satu.
Gas tidur dilempar. Beberapa detik kemudian, semua orang di dalam ruangan tergeletak tak sadarkan diri.
Kirana langsung bergerak ke panel utama. “Gue bisa tarik semua file dan lokasi sel aktif!”
Surya berjaga di pintu.
Elias memantau waktu. “Lima menit. Kita harus keluar sebelum cadangan datang.”
Namun suara pelan muncul dari speaker ruangan.
“Aku sudah menunggumu, Elias.”
Mereka semua membeku.
Itu suara... Rex Umbra.
“Selamat datang di jantung naga. Sekarang, kau masuk ke permainan kami. Kau pikir bisa menyerang kami tanpa balasan?”
Pintu belakang menutup otomatis. Lampu berubah merah. Suara alarm mulai meraung.
Elias menarik pistol. “Ambil datanya! Kita cari jalan keluar!”
Mereka lari menyusuri lorong darurat, diburu pasukan otomatis dan pengintai drone. Dinda melukai kakinya, tapi Elias membopongnya. Kirana berhasil menyalin sebagian besar data sebelum jaringan diputus.
Dengan ledakan kecil, mereka keluar lewat lubang darurat, tepat saat bangunan mulai runtuh. Di kejauhan, suara helikopter mulai terdengar.
Mereka berhasil kabur... untuk saat ini.
Tapi jelas, Rex Umbra kini menganggap mereka sebagai ancaman utama.
Dan perang baru saja dimulai.