SIMBOL LUKA LAMA

1569 Words
Lorong sempit menuju Toko Antik Surya Dharma seperti lorong waktu—gelap, sunyi, dan membawa aroma masa lalu. Hujan masih turun, membuat genangan kecil di antara lantai berbatu tua. Plang kayu di atas pintu toko nyaris tak terbaca, tertutup lumut dan cat yang mengelupas: “S. Dharma – Barang Antik & Rahasia Lama.” Elias mengetuk pintu dua kali—ketukan pendek, jeda, lalu satu ketukan panjang. Suara rantai logam terdengar dari dalam. Lalu kunci diputar. Pintu terbuka pelan, dan cahaya kuning temaram menyembur dari balik celah. Pak Surya muncul di ambang pintu, mengenakan batik cokelat tua dan celana kain lusuh. Rambut putihnya diikat rapi ke belakang, dan mata tuanya yang tajam menatap Elias seperti menembus pikirannya. “Kau datang lebih cepat dari yang kupikirkan,” katanya pelan. “Masuklah, sebelum hujan itu membawa ekornya.” Elias melangkah masuk. Toko itu sempit, dipenuhi rak tinggi berisi tumpukan buku tua, keris, patung kayu, peta butut, dan benda-benda yang tampak tak punya tempat di dunia modern. Tapi bagi Elias, tempat ini seperti perpustakaan rahasia. Pak Surya menutup pintu dan langsung mengunci tiga lapis. Ia mematikan lampu luar, lalu berjalan menuju meja kayu panjang di tengah ruangan. “Benda itu... kau membawanya?” Elias mengangguk. Ia mengeluarkan token dari saku jaket, meletakkannya di atas meja. Cahaya lampu redup memantulkan kilau logam tua itu. Simbol ular dan belati tampak hidup. Pak Surya mendekat, menghela napas panjang. Tangannya yang keriput menyentuh token dengan hati-hati, seolah menyentuh sesuatu yang bisa meledak kapan saja. “Sudah lama aku tak melihat ini...” gumamnya. “Lebih dari tiga dekade.” “Kau tahu apa ini?” tanya Elias. Pak Surya mengangguk pelan. “Simbol Gigi Ular. Organisasi tua, lebih tua dari pemerintah ini. Mereka menyusup ke mana-mana, menyamar sebagai bayangan dalam bayangan. Token ini... hanya diberikan kepada mereka yang diizinkan mengakses inti dari Orion’s Veil.” Elias menegang. “Jadi ini bukan sekadar lambang.” “Ini kunci,” kata Pak Surya pelan. “Tapi bukan kunci biasa. Token ini membawa koordinat, kode, dan identitas tersembunyi. Ada sandi di sini yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang pernah dilatih oleh Orion.” Elias memejamkan mata sejenak. Sekian tahun ia mencoba mengubur identitasnya, namun sekarang, setiap lapisan itu terkuak kembali. “Aku pikir organisasi itu sudah mati,” gumamnya. Pak Surya menatapnya. “Yang mati hanya yang muncul di permukaan. Tapi akar-akar hitamnya masih hidup. Dan kini... mereka mencari cabang yang membelot.” Elias menunduk, menatap token itu. “Risa juga mencarinya.” Ekspresi Pak Surya berubah. “Risa Purnama?” “Dia yang kirim pesan padaku. Enkripsi tingkat-4. Tak mungkin orang lain bisa.” Pak Surya berjalan ke rak buku, menarik satu jilid besar berjudul "Bayang-Bayang Tanah Api". Di balik rak, tersembunyi brankas tua. Ia memutar kombinasi dan mengeluarkan sebuah buku hitam kecil, lalu kembali ke meja. Ia membuka halaman-halaman rapuh hingga menemukan sketsa simbol yang sama: ular, belati, dan tulisan di bawahnya dalam bahasa Latin. "Ex Umbra Veritas – Dari Bayangan, Kebenaran." “Kau tahu ini?” tanya Pak Surya. Elias mengangguk. “Itu moto internal Orion. Hanya kami yang punya akses ke operasi level-6 yang diajari.” Pak Surya menunjuk catatan kecil di bawah sketsa. “Token ini bisa dipecahkan hanya dengan pola urutan cahaya merah-hijau-merah. Dan jika aku tak salah, kau masih menyimpan lensamu.” Elias terdiam. Ia mengeluarkan benda kecil dari kalung dalam bajunya—sebuah lensa optik mata tunggal, yang dulu digunakan untuk membaca peta rahasia dan kode tersembunyi. Ia menempatkannya di atas token. Sekilas, tak terjadi apa-apa. Tapi saat Elias mengarahkan cahaya laser merah dari korek modifikasinya, pola halus muncul: garis-garis kecil yang membentuk koordinat, dan di bawahnya, simbol †37-Veil. “Lokasi ini ada di bawah Jakarta,” kata Pak Surya perlahan. “Lama kuduga bahwa markas asli Orion tak pernah benar-benar hancur.” Elias menatapnya tajam. “Kau tahu letaknya?” Pak Surya menutup buku. “Aku tahu lokasinya. Tapi hanya orang dalam yang bisa masuk dan keluar tanpa diburu.” Elias berdiri. “Kalau mereka mengaktifkan kembali Orion, aku harus tahu siapa di baliknya.” Pak Surya menarik napas dalam. “Dan kau harus siap menghadapi kebenaran yang lebih busuk dari pengkhianatan masa lalu.” Tiba-tiba, lampu redup berkedip. Sekilas, terdengar suara di luar. Elias menoleh. Insting lamanya menjerit. “Ada yang mengikuti kita,” bisiknya. Pak Surya segera mematikan semua lampu. Toko tenggelam dalam kegelapan, hanya tersisa suara hujan dan napas mereka berdua. Elias menarik pistol kecil dari sarung pinggangnya. Ia tak membawa banyak, tapi cukup untuk bertahan. Kemudian terdengar suara: krak! kaca pecah di belakang toko. “Pintu belakang,” desis Elias. Mereka bergerak cepat. Pak Surya menarik lantai papan di belakang meja. Sebuah lorong kecil terbuka—jalan rahasia yang hanya diketahui sedikit orang. “Masuk!” Elias melompat duluan. Pak Surya mengikuti dan menutup lantai di atas mereka. Tak lama kemudian, suara langkah berat terdengar dari atas. Tiga, mungkin empat orang. Mereka menyusuri lorong sempit yang hanya cukup untuk satu orang. Udara di dalam pengap, dan aroma kayu lapuk bercampur tanah lembap. Setelah sekitar lima puluh meter, mereka keluar di belakang pasar, di antara tumpukan karung dan gerobak bekas. Elias menatap ke langit. Hujan mulai reda, tapi ancaman belum berlalu. “Kalau mereka sudah menyerang malam ini,” katanya, “berarti kita lebih dekat ke pusat dari yang kita kira.” Pak Surya mengangguk. “Dan itu artinya... Gigi Ular sudah mengendus jejak kita.” Elias menatap jauh ke arah pusat kota, di mana gedung pencakar langit berdiri seperti tombak perak menusuk langit mendung. Ia tahu, langkah selanjutnya bukan hanya kembali ke markas lama. Tapi menggali kuburan yang selama ini dia gali sendiri. Mereka berjalan cepat melewati gang sempit di belakang pasar, menyusuri jalur yang hanya diketahui oleh para pedagang lama dan penyelundup kota ini. Elias tidak bicara banyak. Otaknya bekerja cepat, memetakan rute pelarian, menghitung kemungkinan jebakan, dan siapa saja yang mungkin sudah mengetahui kedatangannya di toko Pak Surya. Pak Surya tertinggal sedikit di belakang, napasnya mulai memburu. Usianya jelas tak muda lagi, tapi semangat di matanya tetap menyala—seperti api kecil yang menolak padam meski diterpa badai. “Ke mana kita sekarang?” tanya Elias, tanpa menoleh. “Ada satu tempat. Gudang tua di Glodok. Pernah dipakai sebagai penyimpanan barang sitaan zaman Jepang. Di bawahnya... ada ruang arsip.” Pak Surya berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Beberapa berkas operasi Orion juga ditinggalkan di sana. Tak semua sempat dimusnahkan.” Elias mengangguk. “Kalau kita bisa temukan catatan itu, mungkin kita bisa tahu siapa yang memulai ini semua dari awal.” Langkah mereka semakin cepat. Suara sirene samar terdengar dari kejauhan, entah polisi sungguhan atau unit bayangan. Di dunia Elias, garis antara hukum dan kejahatan sudah terlalu kabur untuk dibedakan. Mereka naik ke ojek online yang sudah Elias panggil dengan ponsel burner. Supirnya tak banyak tanya—wajah lelah dan mata kosong khas orang Jakarta yang hanya ingin pulang cepat. Elias duduk di belakang, pandangannya tak lepas dari spion, mencari bayangan yang mengintai. Dalam perjalanan ke Glodok, Elias mengingat sesuatu. Di tengah ketegangan itu, wajah Naya kembali muncul dalam benaknya. Tapi kali ini, bukan kenangan. Suara. Kata-kata terakhir sebelum semuanya runtuh. "Kalau aku tak kembali... cari di bawah tanah. Mereka semua ada di sana." “Pak Surya,” kata Elias tiba-tiba. “Apakah ruang arsip di Glodok... pernah digunakan oleh Naya?” Pak Surya menoleh cepat. “Naya? Kau mengenalnya?” Elias mengangguk. “Dia rekan terakhirku. Dia mati dalam operasi terakhir.” Pak Surya terdiam sejenak, lalu berbisik, “Atau setidaknya... itulah yang ingin mereka kau percayai.” Kalimat itu menghantam Elias seperti peluru. “Apa maksudmu?” Pak Surya tak menjawab langsung. Matanya menatap ke depan, dan suara hujan mengguyur kaca helm pengemudi jadi satu-satunya yang terdengar selama beberapa detik. “Sampai di gudang nanti... kau akan tahu. Tapi hati-hati. Kalau benar kau membawa kunci terakhir Orion, maka bukan cuma Risa yang akan memburumu.” Mereka tiba di Glodok hampir tengah malam. Jalanan sudah mulai sepi, lampu toko mati, hanya beberapa penjual kopi sisa dan penjaga malam yang masih berkeliaran. Mereka menyelinap masuk ke lorong sempit di antara dua bangunan tua, lalu masuk lewat pintu besi berkarat yang tersembunyi di balik tumpukan barang rongsokan. Di dalam, udara pengap menyambut. Bau kertas tua, besi, dan jamur memenuhi ruang. Gudang itu besar, penuh rak kayu dan dokumen berdebu. Di salah satu sisi, tersembunyi pintu logam berat dengan sidik jari yang sudah tak aktif. Elias membongkar sistemnya secara manual—kebiasaannya belum hilang. Saat pintu terbuka, lampu neon kuning menyala perlahan, memperlihatkan ruangan bawah tanah yang lebih seperti bunker daripada gudang. Dan di sana, di atas meja besi berkarat, tergeletak sesuatu yang membuat napas Elias tercekat. Sebuah foto. Naya. Masih muda. Senyum setengah, tatapan tajam. Tapi... tanggal di balik foto itu menunjukkan sesuatu yang tak mungkin: Tahun 2022. Dua tahun setelah dia dikira mati. “Dia hidup?” Elias berbisik. Pak Surya menatapnya dengan mata muram. “Atau... dia dipaksa untuk tetap hidup. Kita akan cari tahu. Tapi satu hal pasti, Elias. Kau belum menyelesaikan cerita lamamu. Kau hanya baru membukanya lagi.” Dan di luar sana, di atap salah satu gedung seberang, mata Risa Purnama mengawasi dari balik teropong. Tangannya menggenggam radio. “Target masuk zona dua. Proses penggalian dimulai.” Suaranya tenang, tapi di baliknya tersimpan ketegangan. Ia menatap foto yang dikirim padanya—bukan Elias. Tapi Naya. Kini mengenakan seragam hitam Gigi Ular. Dan berdiri di samping pria bertopeng obsidian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD