Bab. 6

1729 Words
Pagi berarak-arak menggantikan pekat malam. Embus semilir angin subuh menyelinap, menembus permukaan pori. Suasana sekitar masih hening. Agak aneh, dan belum terbiasa, Fazhura masih terduduk dalam geming di atas tempat tidurnya saat Illyana membangunkan gadis itu untuk salat subuh. Subuh yang sama seperti hari kemarin, tapi dengan situasi berbeda. Rasanya sunyi dan sepi sekali.  Tidak ada keributan kecil saat bangun dari lelap. Pun teriakan menggema Ilham di depan pintu kamarnya saat Fazha telat bangun.  Tidak ada Ilham yang jail memercikkan air pada wajahnya saat Fazha malas bangun subuh. Netra Fazhura menatap lekat langit-langit kamar. Edaran pandangan sekitar yang masih terasa sangat asing bagi gadis itu. Semalam abi dan umminya mengajak singgah dan menginap di rumah om Satya dan tante Rissa, sahabat baik abi-umminya. Yang Fazha tahu sudah lebih dari lima tahun om Satya dan tante Rissa pindah dan tinggal di Jakarta, dan rencananya baru besok pagi Ghaly dan Illyana akan mengantar Fazha ke kost-an yang jaraknya tak terlalu jauh dari kampus tempat Fazha menuntut Ilmu. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah atau biasa lebih dikenal dengan sebutan UIN Syarif Hidayatullah, merupakan kampus negeri yang memberikan pelayanan pendidikan lanjut dengan basis keislaman yang menjadi ciri khas kampus ini. Fazha sendiri diterima di Fakultas Ekonomi dan Bisnis di kampus ini. Fazha melirik jam dinding yang mengarah ke pukul lima lebih beberapa menit, buru-buru gadis itu beringsut dan melesat ke kamar mandi, lalu bersiap melaksanakan salat subuh. Usai subuh Illyana menghampiri Fazha ke kamarnya. Umminya itu memperingati agar Fazha cepat bersiap dan ikut sarapan bersama yang lain dan setelahnya mereka akan menuju tempat kost Fazhura. "Mi, ammi Ilham kok belum dateng sih?" tanya Fazha saat akan bersiap menuju kost tempat tinggalnya yang baru. Satya dan Rissa juga kemarin yang mencarikan kost untuk Fazha. Padahal mereka sudah menawari agar Fazhura tinggal saja di rumah mereka, tapi Fazha menolak. Dia ingin merasakan hidup mandiri saat jauh dari keluarganya. Illyana menciptakan kernyitan di dahinya saat mendengar pertanyaan Fazha, "Ammi Ilham? Emangnya ammi kamu mau ke sini?" tanyanya balik. "Iya Ummi, kemarin ammi sendiri yang bilang kalau mau nyusul ke sini. Masa  ammi boongin Fazha sih?" "Bisa jadi Fazha, kayak nggak tau aja kelakuan ammi-mu itu, kan jailnya nggak ketulungan." "Iya sih Mi, tapi awas aja kalau sampai ammi beneran boong, Fazha bakalan ngambek yang lama sama dia." Fazhura mencebikan bibirnya. Kata-kata Illyana berhasil menciptakan cemas dalam benak gadis itu. Jika benar Ilham bohong padanya, Fazhura sudah merancang aksi ngambek dalam otaknya. Paling tidak, nggak akan menerima telpon atau membalas pesan dari ammi-nya itu selama sebulan penuh. "Sudah nggak usah dipikirin, kayak lagi mikirin jodoh aja kamu ini Fazha. Ayo siap-siap, Ummi tunggu di depan ya." "Iya Mi, sebentar lagi Fazha nyusul." Sepeninggal Illyana, Fazha buru-buru mengecek handphone-nya, memeriksa apakah ada pesan masuk atau panggilan tak terjawab dari Ilham. Dan ternyata Fazha harus menghembuskan napasnya dalam-dalam, saat matanya memonitor layar telepon pintarnya, tapi tidak mendapati satupun notif yang masuk. *** Suasana bandara Soekarno Hatta nampak sesak dengan calon penumpang. Ketipak langkah Ilham beradu dengan lantai mendominasi rungunya sendiri. Angin sepoi menerpa wajah lelaki itu, menguarkan hawa sejuk nan ringan.  Desiran angin serasa menjalar sampai ke ulu hatinya. Ada buncah aneh yang meletup-letup saat otaknya merekam bahwa sebentar lagi akan menemui Fazhura. Hah! Rasanya bertutur sapa dengan Fazha menjadi semacam dopamin bagi Ilham. Sehari saja tidak direcoki gadis itu, Ilham benar-benar merindukannya. Rindu? Rindu seperti apa kiranya yang menginvasi benak Ilham kini. Seperti lelaki yang merindukan kekasihnya saja!. Ilham menggelengkan kepalanya sendiri, tarikan napasnya dibuat seolah agak berat, mengenyahkan perasaan menggebu tak normal saat nama Fazhura melintas dalam otaknya. Apalagi saat Ilham terpikirkan perkataan ummi Lila semalam yang reflek menyeletuk agar Ilham menikahi Fazha saja, daripada lama nggak ketemu jodoh. Sebenarnya otak Ilham bukan sibuk membayangkan akan bagaimana jika tutur ummi Lila semalam benar-benar didengar malaikat dan diijabah Allah, tapi dasarnya lelaki tipe jail, Ilham malah sibuk membayangkan kira-kira akan diberi judul apa hubungan yang sekira sama persis seperti di ftv-ftv chanel nasional. Istriku Ternyata Anak Angkat Adikku. Atau... Mertuaku Tak Lain adalah Adik Kandungku. Atau mungkin... Menantuku Ternyata Cucu Angkat ku. Halah!! Memikirkannya saja Ilham merasa geli sendiri. Kalau seperti itu, sudah pasti Ilham akan mendatangi salah satu produser agar kisah cintanya diangkat saja semakin ke layar lebar. Syahduh sekali. Jodoh? Ilham juga sebenarnya tidak mau berlama-lama menunda untuk bertemu dengan jodohnya. Tapi apa daya, jika semua usaha sudah dikerahkan, tapi hasil belum maksimal. Pun Ilham menyadari betul jika umurnya tak lagi muda, perasaan menggebu ingin membina hubungan sakral setiap saat pasti datang melintas, dan apalah daya sebagai manusia jika segala ikhtiyar telah terlaksana namun Allah masih harus menguji sampai di mana puncak kesabaran umatnya. Padahal di setiap sujud lelaki itu tak lupa untuk selalu merapal agar dipertemukan dengan separuh tulang rusuknya. Siang dan malam dalam tafakurnya Ilham tak henti bermunajat, merendahkan hati memohon dengan sangat pada sang Maha Pemilik Cinta. "Ya Allah, ijinkan aku jatuh cinta pada dia yang tepat, di waktu yang tepat. Karena hatiku cuma satu dan ingin kulabuhkan hanya pada dia yang halal bagiku." dengungan doa Ilham kala termenung dalam dzikirnya. Ilham melangkah dengan berbagai pikiran dalam angan, lelaki itu memilih membelok sebentar ke kafetaria yang ada di lobby bandara, memesan secangkir kopi dan istirahat sejenak sebelum melanjutkan tujuannya. "Mas Ilham..." Rungu Ilham mendadak mendengar suara yang tak asing. Sapaannya lembut, mengingatkan Ilham pada satu sosok di masa lalu. Lelaki itu mengangkat wajah guna memandang seseorang yang menegurnya. Matanya membeliak ketika tahu siapa yang saat ini berdiri persis di sebelah kursi yang ia duduki. Perempuan itu masih sama seperti sepuluh tahun yang lalu, hanya saja wajahnya sedikit berbeda, tidak sepolos dulu, dan kini tampilannya lebih dewasa serta tertutupi  make up. Senyumnya menciptakan lubang kecil di antara kedua pipinya. Cacat yang indah kalau orang menyebut sebagai lesung pipit. Ukiran senyum juga ia tampilkan saat menyapa Ilham. Mengenakan gamis berwarna dusty pink yang kontras dengan kulit putihnya, serta khimar dengan warna senada. Sejenak Ilham terpaku dan memonitor makhluk Tuhan di depannya itu. "Shila..." "Mas Ilham apa kabar? Aku dari tadi mengamati, sepertinya kenal, dan ternyata benar itu Mas Ilham." perempuan bernama Shila itu bercerita tanpa Ilham minta. Ilham masih belum menjawab.  justeru pertanyaan membelit pikirannya, kenapa bisa ia bertemu dengan Shila di sini. Lalu di mana suami perempuan itu, kenapa dia sendirian, dan menghampirinya. Bukan apa-apa, Ilham hanya tidak mau nanti suami Shila salah paham dan menuduh yang tidak-tidak. Ilham kenal dan tau bagaimana watak Ferdi suami Shila, lelaki itu sangat posesif dan pencemburu sekali. "Kabar baik, oh iya. Suami kamu mana Shila? Bisa kebetulan begini ya kita bertemu di sini." Shila bergeming, agak lama merespon pertanyaan Ilham. Pertanyaan basa-basi lebih tepatnya. "Aku sendirian Mas," jawab Shila singkat. "Boleh Aku duduk di sini Mas?" sambung Shila. Ilham agak bingung harus menjawab iya atau jangan. Kesannya tidak sopan kalau langsung menolak, tapi juga tidak etis duduk berduaan dengan istri orang, ya meskipun tidak berbuat aneh-aneh dan di tempat umum yang ramai. "Silakan Shila, tapi aku sudah mau cabut habis ini," ucap Ilham memberi kode bahwa dia tak akan lama di sana. "Iya nggak pa-pa Mas. Shila juga lagi nunggu jemputan mobil dari hotel." "Oh iya, dalam rangka apa ke Jakarta, Shil?" "Urusan kerjaan Mas." "Kamu kerja?" reflek Ilham bertanya saat Shila menuturkan bahwa kedatangannya ke sini untuk urusan pekerjaan. Padahal Ilham tahu betul, kedua orangtua Shila sangat melarang jika anak gadis mereka ikut mencari nafkah, padahal sudah ada suaminya yang memberi segala kebutuhan. "Iya Mas, sudah hampir dua tahun ini." "Kenapa Shila, bukannya Ferdi sudah lebih dari cukup ya, malah bisa dibilang orangtuanya kaya raya. Masa iya kamu dibiarin kerja." "Aku sama Ferdi, kami bercerai dua tahun lalu, Mas." Kerongkongan Ilham tercekat saat mendengar Shila bercerita. Perempuan itu bercerai dari Ferdi. Ilham masih belum percaya. Padahal dulu, salah satu alasan orangtua Shila menolaknya adalah Ferdi lebih segalanya ketimbang dirinya yang masih pengangguran. Meskipun saat itu Ilham sudah bekerja paruh waktu dan belum mempunyai karir tetap, ayah Shila berkeras menolak lamarannya. "Aku tidak tahan dengan sikap Ferdi, Mas. Dia kasar, apalagi sejak anak kami lahir, dia kerap sekali mabuk-mabukan dan main perempuan. Aku menggugat cerai Ferdi dan kami resmi berpisah sejak saat itu." Miris sekali. Ilham menatap kasihan pada Shila saat mendengar kisah perempuan itu meluncur begitu saja. Rasa solidaritas sebagai teman dan tidak lebih, mengundang rasa geram Ilham saat ada perempuan baik-baik seperti Shila diperlakukan tidak adil. "Maaf Shila, aku tidak tahu." "Tidak apa-apa, Mas. Papa yang paling menyesal saat tahu sikap Ferdi tidak sebaik yang ia kira. Malah papa bilang sangat menyesal karena dulu menolak Mas Ilham saat melamarku." sambung Shila meneruskan kisahnya. Angan Ilham sempat berputar pada peristiwa lebih sepuluh tahun yang lalu itu saat Shila kembali mengingatkannya. Dulu mungkin Ilham sempat patah hati dan kecewa, tapi semua rasa itu tandas seiring berjalannya waktu, dan Ilham melupakan kisahnya bersama Shila. Apalagi dengan adanya Fazha, bisa membantu lelaki itu mengobati hatinya yang sempat cedera. Saat malam minggu Fazha pasti akan merengek meminta Ilham membawanya ke pusat perbelanjaan, lalu mengajak lelaki itu bermain game di arena permainan dengan sepuasnya. Atau saat sedang jenuh, Fazhura dengan segala kepolosannya menjadi bahan kejailan Ilham. Bicara tentang Fazha, Ilham merutuki dirinya sendiri, kenapa bisa ia lupa memberi kabar kalau saat ini sudah sampai di Jakarta. Lelaki itu beralih mengambil handphone yang ada di saku celananya, lalu mendial nomer Fazhura. Assalamu'alaikum Ammi di mana sih? Katanya mau ke sini, kok Fazha tunggu luamaaa sekali nggak jyampe-nyampe. Jangan-jangan Ammi boong ya? Pasti Ammi lagi jailin Fazha, kan? Gausah PHP deh Ammi kalau ga niat mau ketemu Fazha. Sama itu pesanan Fazha udah dibawain belum? Ammi ini dobel PHP!!! Ilham menutup telinganya yang berdengung akibat rentetan cerewat dari Fazha saat mengangkat telponnya.Gadis itu kalau sudah bicara, ceriwisnya bisa dobel kuadrat. Melebihi Illyana tingkat kebawelannya. Wa'alaikumussalam, ini kamu ngomong apa lagi lari sih Fazha. Ampe sakit telinga Ammi dengernya. Iya Fazha sayang, ini Ammi masih di bandara, bentar lagi nyampe situ. Kirimin alamat kost-an kamu ya. Ammi langsung ke sana habis ini. Usai menutup telponnya, Ilham baru sadar kalau di sana masih ada Shila. Perempuan itu terdiam mengamati polah Ilham yang sibuk dengan telponnya. "Maaf ya Shila, aku tinggal telponan bentar tadi," ucap Ilham agak merasa tak enak. "Oh iya Shila, aku pamit duluan ya. Sudah ditunggu sama Fazha." imbuh Ilham akan beranjak dari kursinya. "Mas, boleh nggak kalau aku minta nomer hp kamu?" Ilham mengernyit, tapi kemudian mengangguk dan menyebutkan nomernya pada Shila, kemudian berdiri dan melangkah pergi dari sana. **************************** Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD