Bab. 1

1635 Words
"Tinggal berapa persen lagi Ham?" fokus Ilham terhenti saat telinganya mendengar tanya dari Akbar---rekan satu proyek di firma arsitek tempat lelaki itu bekerja. "Ngagetin aja lo. Udah 70% sebentar lagi juga kelar," sahut Ilham dengan mata tak teralih dari maket yang sedang ia rancang. "Ham, dapet salam dari Alexa." Imbuh Akbar. Sementara Ilham hanya berdecak, tak acuh sama sekali dengan titipan salam yang disampaikan untuknya. Bukan tak senang, hanya saja Ilham sengaja membatasi diri dari Alexa. Ilham tahu tipe gadis macam apa Alexa itu, merunut dari pengalaman gadis itu sering bergonta-ganti pacar lebih dari beberapa kali. Jika pekan lalu Ilham melihatnya bergandengan dengan seorang lelaki, sudah pasti sabtu di minggu ini akan berganti lagi yang menggandeng tangan Alexa. Ah! Peduli apa Ilham dengannya. Belum lagi gaya berpakaian Alexa yang terlalu minim bahan, mungkin bagi beberapa kaum lelaki itu sebuah pemandangan indah, tapi bagi Ilham pemandangan yang menyakitkan mata. "Katanya dia mau nyamperin lo ke sini Ham!" Seloroh Akbar kembali. Ilham menggelengkan kepalanya, seperti ingin berkata, bodo amat! tapi hanya tertahan dalam hati. Bukan tak ingin mencoba dekat dengan perempuan. Bukan juga terlalu pemilih. Ilham sempat skeptis dengan perasaannya sendiri, dua kali gagal menuju pelaminan bukan perkara mudah baginya. Lebih dari sekadar rasa patah hati. Saat komitmen yang baru akan dibangun luluh lantak serta hancur tak menyisakan apapun lagi, perasaan mana yang sanggup menerima dengan hati lapang? Dengungan orang-orang sekitar mulai dari yang mencibir sampai yang merasa kasihan silih berganti masuk ke dalam rungu Ilham. Tak peduli, meski sedikit terganggu. Otak lelaki itu menerawang ke waktu lampau, hampir sepuluh tahun yang lalu. Ingatan yang masih tertawan jelas dan belum sepenuhnya lekat itu terkelupas dalam jiwanya. Ilham kira hatinya akan terlabuh pada satu nama, Shila. Gadis cantik adik tingkatan saat Ilham masih menjajaki masa kuliah. Dekat selama hampir satu tahun, Shila tak pernah menolak saat Ilham membawanya ke rumah, dikenalkan pada ummi dan abi. Sampai Ilham lulus dan wisuda duluan, lalu berniat mengkhitbah Shila. Tapi kenyataan selalu tak sejalan dengan harapan, kan? Kedua orangtua Shila ragu, dan menolak dengan alasan Ilham baru saja lulus, belum mempunyai pekerjaan dan masa depan yang cerah, lalu bagaimana bisa menafkahi Shila. Ah! Hati Ilham kembali berdenyut jika harus mengingatnya. Kejutan belum berhenti sampai di situ. Beberapa bulan kemudian saat harapnya masih tersita pada hati Shila, sepucuk undangan pernikahan sampai pada tangannya, netra Ilham membeliak saat membaca ukiran nama dalam undangan tersebut, Shila dan Ferdi. Hatinya sakit. Bukan semata karena Shila ternyata memilih dinikahkan dengan Ferdi, dan Ilham tahu siapa lelaki yang meminang tambatan hatinya kala itu. Ferdi teman kuliah satu fakultas dengan Shila, yang lebih membuatnya tercengang bukankah Ferdi juga sama hal-nya dengan dirinya kala itu, belum mendapat pekerjaan, malah masih berstatus sebagai mahasiswa. Hanya bedanya Ferdi anak salah satu pejabat penting di kotanya. Lebih dari sekadar patah hati, tapi harga diri Ilham merasa ditoreh dengan timah panas. "Mas Ilham. Masih sibuk ya? Lexa mau ngajak Mas Ilham makan malam bareng pulang kerja nanti." Suara perempuan serta tepukan kecil di lengan Ilham membawa kembali kesadaran lelaki itu dari ingatannya tentang Shila. Alexa sudah berdiri persis di sebelah kubikel Ilham. Ternyata omongan Akbar bukan gurauan semata, buktinya sekarang Lexa benar-benar datang menghampirinya. "Lexa..." Mengucap nama Alexa sesaat dan fokus Ilham teralih pada getaran handphone-nya. Tertera di layar monitor smartphone lelaki itu panggilan masuk dari sang ummi. Ilham bersorak dalam hati mengucap terima kasih pada umminya yang secara tak langsung telah menyelamatkannya dari gangguan Alexa. "Maaf Lexa, aku angkat telpon dulu." "Assalamu'alaikum iya Mi," "Ilham masih lama di kantor? Bisa pulang cepet nggak?" "Bisa Mi, bisa banget malah. Emang ada apa sih Mi?" "Nggak ada apa-apa Ham. Ini Fazha kan besok mau berangkat ke Jakarta, makanya malam ini Ummi mau kita semua ngumpul, makan malam di rumah." "Siap Ummi, Ilham langsung meluncur pulang ini " Ilham sengaja mengeraskan suaranya saat menjawab telpon umminya. Biar saja Alexa mendengar dan tidak ada alasan untuk Ilham menerima ajakan gadis itu. "Sorry Lexa, tapi kamu dengar sendiri kan tadi, ummi minta aku cepet-cepet pulang. Ada acara keluarga di rumah." "Okey, tapi lain kali mau kan Mas Ilham, kita jalan bareng?" Kekeh Lexa. "Atau kalau boleh Lexa ikut ke acara Mas Ilham," sambung gadis itu menambahi. Ilham mengernyit. Sedikit bingung dengan sikap bebal Alexa. "Ikut aja Lex, bisa sekalian kenalan sama abi-umminya si Ilham." Akbar menyahut dari kubikel sebelah. Ilham mendengkus, temannya itu seperti sengaja sekali ingin mengumpankan dirinya pada Lexa. Dasar sendok kinderjoy!!! apa-apaan tuh. Yabuseet! Gue sleding juga pala lo Bar. Gumam batin Ilham Andai saja tidak menjaga imej di depan karyawan lainnya, pasti setumpuk berkas di depannya sudah melayang pada Akbar. "Maaf ya Lexa, lain kali saja gimana? Kata ummi ini acara khusus keluarga. Ga pa-pa kan?" Ilham berkata sambil meneliti ekspresi wajah Alexa, seketika mimik wajah gadis itu berubah cemberut. Peduli apa dengan raut kecewa Alexa, yang penting Ilham bisa menghindar darinya. Tidak bisa dibayangkan bagaimana nanti reaksi abi dan ummi saat Ilham pulang dan membawa serta Lexa ke hadapan mereka. Pasti rentetan kata-kata mutiara alias ceramah dadakan akan langsung mendengung dari kedua orangtuanya. "Subhanallah..Ilham, itu baju kenapa kurang bahan begitu. Ummi ambilkan gamis terus pinjemin sama teman kamu itu." Ilham masih teringat protesan umminya beberapa minggu lalu saat dirinya mengajak serta teman perempuannya mampir dan makan malam di rumah. "Ammi ini, nemu di mana sih tante-tante penampilan kayak gitu kok di bawah pulang. Cantikan juga Fazha, Ammi! Sudah tau Buya sama Ummah nggak suka sama perempuan yang ngumbar aurat, eh Ammi nekat aja." Omelan Fazha pun jadi terngiang kembali. Fazhura Althafunisa sejak usia empat belas tahun memang memilih tinggal dan menetap di rumah abi Fariz dan ummi Lilah. Awalnya Ghaly ingin mengirim Fazha tinggal di pesantren saja, tapi Illyana mencak-mencak, sama sekali tidak setuju dengan usulan Ghaly. Status Fazha yang anak angkat, atau anak persangkaan, dan bukan mahram bagi Ghaly maupun Ammar dan Azra, kedua saudara angkatnya, putera kandung Ghaly dan Illyana. Illyana sampai menangis semalaman, berpikir itu sangat tidak adil dan diskriminasi terhadap Fahza, tapi puteri angkatnya itu paham sekali maksud Abi-nya baik, gadis itu menurut saat ummi Lilah mengambil alih dan mengasuhnya. Akil baligh usia Fazha, dan menurut syari'at juga itu kurang bagus kalau tetap satu atap dengan Ghaly dan Illyana, sebab ada dua putera kandung mereka, dan terhitung bukan mahram Fazha. Lalu memilih rumah ummi Lila, alasannya agar Fazha tidak berada jauh. Lagipula abi Fariz dan Ilham juga jarang ada di rumah. Mereka pikir lebih aman Fazha berada di sana. "Iya ga pa-pa Mas. Hati-hati di jalan, salam buat abi dan ummi ya." Pesan dari Alexa sekali lagi menyeret pikiran Ilham dan fokus pada situasi saat ini. "Iya, makasih Lex," sahut Ilham. Lelaki itu melirik arloji yang melingkari tangannya, pukul enam petang lebih seperempat, segera Ilham membereskan meja kubikelnya dan bersiap pulang. "Gue duluan Bar. Kalau nggak keberatan lo barengin tuh si Lexa, kasihan tauk. Anak gadis pulang sendiri," cerocos Ilham balas menjaili Akbar. "Yuk Lex, duluan ya." Sambungnya berlalu dari kubikelnya serta Lexa yang masih memaku langkah dan Akbar yang masih tetap di kubikelnya. *** Menyetir mobil dengan kecepatan sedang menuju rumah, Ilham sedikit cemas, pasalnya Fazha sudah pasti akan berangkat ke Jakarta dan sementara waktu menetap di sana selama kuliah. Hah! Ilham merasa akan kehilangan sosok Fazha dan kembali merasa kesepian. Kehadiran Fazhura di rumahnya selama ini sudah lumayan menjadi hiburan bagi lelaki itu. Fazha bisa menjadi keponakan yang sangat manja, adik yang cerewet, bahkan menurut Ilham cerewetnya Fazha itu melebihi Illyana. Bisa menjadi sahabat yang baik saat mendengarkan keluh kesah Ilham. Masih tertaut dalam benak Ilham, bagaimana upaya Fazha menghiburnya kala rencana pernikahan Ilham yang kedua kalinya gagal total. Dekat dan bersama Sabrina---teman Ghaly, selama beberapa bulan, menjadikan Ilham siap dan berani mengkhitbah gadis itu. Acara pertunangan berjalan lancar, tanggal pernikahan pun sudah ditentukan, katering dan gedung resepsi sudah deal, undangan hampir lima puluh persen dan siap diedarkan, tapi lagi-lagi Allah masih menyimpan rencana lain bagi Ilham Al Insani. Satu minggu menjelang akad nikahnya, Sabrina tiba-tiba datang sambil bercucuran air mata, melepas cincin yang disematkan umminya di jari manis gadis itu, lalu memberikannya kembali pada Ilham. Sabrina mengungkapkan bahwa dia ragu dan tidak yakin akan perasaannya pada Ilham. Gadis itu ternyata masih menyimpan perasaan pada Sakha---mantan tunangannya. Ilham memaafkan, meskipun hatinya harus kembali cedera. Ummi Lilah dan Illyana sampai tak kuasa menahan tangis. Apa kiranya dosa masa lalu yang telah dilakukan, hingga dua kali kemalangan harus menimpa anak lelaki satu-satunya itu, ummi Lilah, menggugat. Ilham tetap berusaha tegar, diantara semuanya yang paling menguatkan adalah Fazha. Celotehan lucu, polos, tapi jujur dari Fazha sedikit demi sedikit mengikis rasa sakit, meski masih meninggalkan bekas, namun tertutup oleh keceriaan Fazha yang selalu perhatian padanya. Ilham mengusap wajahnya, mengambil napas dalam-dalam, lalu membuangnya. Kelebat tentang ingatan buruk bersama Sabrina masih sering mampir dalam otaknya, tapi Ilham segera menghapus. Sejak saat itu lelaki itu jadi sangat pemilih sekali jika ingin mendekati perempuan atau sebaliknya, jika ada perempuan mendekatinya. Tiga puluh enam tahun bukan lagi umur untuk main-main dalam sebuah hubungan. Ilham ingin mencari satu, tapi untuk selamanya. "Assalamualaikum...," ucap Ilham saat sampai di depan pintu rumah. "Wa'alaikumussalam, eh James Bond-nya Ummi sudah datang, tepat waktu rupanya kamu, Ham," sahut ummi Lila. Ilham mengambil tangan sang ummi kemudian menciumnya sambil bergumam dalam hati, "James bond?" Gemesh bond yang ada Mi . Semua juga lewat sama gue. Ampe cewe pun cuma lewat doang dalam hidup gue. Batinnya, kemudian tersenyum lirih. "Ammiii..., kok lama sih!" Baru akan menghempaskan tubuhnya ke sofa, tapi protesan Fazha menginterupsi lebih dulu. "Macet di jalan." "Boong! Pasti lagi ngobrol dulu sama cewe, kan." selidik Fazhura dengan raut memberengut. "Cerewet. Bikinin Ammi kopi panas dong." "Upahnya apa Ammi?" "Fazhura Althafunisa, matre sangat kau nak! Siapa pula yang ditiru." "Ammi lah panutanqu!" Fazha terkekeh melihat Ilham tak bisa membalas kata-katanya. Sejak kecil sudah sangat dekat, jadi sikap Fazha saat ini sudah pasti sebagian merupakan refleksi dari tingkah dan pola Ilham. **************************** Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD