perpustakaan

1614 Words
Jika waktu bisa gue ulang, satu hal yang gue ingini. Nggak ketemu sama lo dan mengenal lebih dalam akan sosok lo. -Dimas Praditya ----- 18 maret 2018 16.15 Dimas baru tiba di kafe tempat janji temu dengan Nia, sosok yang selama ini terus saja berputar di kepalanya, dan mampu menjungkirbalikan kehidupannya. Duduk dengan rasa ragu yang entah kenapa malah kian menyiutkan nyalinya. kemana rasa percaya dirinya tadi, yang langsung menyambar kunci motor dan pergi begitu saja setelah membaca chat dari Nia. Duduk gelisah dengan jari teluntuk mengetuk helm yang ada di teng motornya dengan rasa khawatir, ragu dan juga takut. Khawatir jika kehadirannya malah membukua luka lama itu kembali, ragu jika saja kehadirannya tak di harapkan. Dan takut jika ia tak mendapatkan maaf dari sosok yang sudah ia sakiti. Lalu perkataan Raka kembali terniang di kepalanya. Benar katanya, jika ia hanya diam diri di sana, apa mungkin semua akan selesai? Sepertinya tidak. Yang ada ia akan semakin karut dengan rasa bersalah yang tak berujung itu. Kemudian sekleber bayangan Nia mitikan mata di hadapannya malah membuat ia kian tagu. Menunduk dengan kaki yang terus ia hentakan dan jari terus mengetuk helm, Dimas mengumpulkan keberanian, tarik nafas, hembuskan. Begitu seterusnya, berharap dengan itu ia akan tenang dan mampu melangkah masuk, bertemu dengan gadis yang dulu begitu ia cintai, berucap "hay" dan menganggap semuanya baik-baik saja, namun nyatanya wacana dan banyangan memang mudah untuk di buat, untuk melakukannya itu yang sulit, bahkan kakinya sekolah kaku saat akan ia ajak melangkah masuk. Hati tak karuan rasanya, jantung berdetak kencang dan segala rasa yang entah kenapa begitu cepat merambat, membuat perutnya terasa mual dan juga pikiran yang kacau. Kenapa? Kenapa untuk masuk dan mengucap kata maaf begitu susah di lakukan, bisakah buat ini semudah ia membalikan telapak tangan? Jika bisa tolong lakukan untuk dirinya sekarang ini, atau setidaknya buatlah tubuh dan segala organ mampu ia kendalikan, hilangkan rasa gugup dan juga resah yang ada. Tolong! "hah!" desahan keras itu keluar dari mulutnya, di susul tepukan keras di pipi yang membuat keberanian muncul walau hanya sedikit adanya. Perlahan ia turun dari motornya. Berdiri menatap lekat kafe, mengedar tiap sudut kafe dengan perasaan yang tak menentu. "Lo cowok, dan lo harus mampu. Buktiin kali lo emang pantaa dapet maaf dari dia" Angan dan Lara... Dua tahun yang lalu di sekolah. Dimas nelebarkan langkah menyusuri koridor SMA NEGRI SATU Gedong Tataan, tatapannya beberapa kali melirik jam tangan di pergelangan tangannya, mengintip waktu yang sekarang sudah menginjak pukul 07.16 beberapa menit lagi pelajaran akan dimulai, dengan rasa was-was, berdoa dalah hati, berharap Pak Budi guru Matematika belum masuk ke dalam kelasnya, guru botak yang terkenal dengan kesadisannya dalam memberi hukuman itu seolah tak pernah bosan memberi hukuman pada murid yang telat barang satu menit pun, Dan Dimas adalah murid langganan yang merasakan kenikmatan hukuman Pak Budi. Bukan inginnya ia telat pagi ini, hanya saja jika si jalu tak mogok di tengah jalan mungkin Dimas aman dari hukuman hari ini, namun keinginan jelas tak berbanding mulus dengan kenyataan. Si jalu, motor kesayangannya sama sekali tak bisa ia ajak kompromi hari ini. Mogok di saat yang tidak tepat, kurang servis jelas menjadi akar masalahnya. Dan kini Dimas hanya bisa melengguh malas saat samar-samar telinganya mendengar teriakan Pak Budi yang tengag mengabsen murid di kelasnya, kakinya perlahan melambatkan langkahnya, hingga ia berhenti tepat beberapa langkah dari pintu. Kabur dengan pilihan alpa di buku absen, atau masuk dan mendapat hadiah olahraga pagi cuci kamar mandi yang baunya melebihi tempat pembuangan akhir. Jelas pilihan pertama terdengar begitu mengiurkan, hanya saja alpa bukan hal yang ia inginkan. Tapi jika ia masuk, mungkin sarapannya pagi tadi akan keluar begitu ia mendapat hukuman Pak Budi. Berdiri dengan bimbang, Dimas menimbang, kabur atau masuk. Kabur masuk. Lalu pilihannya jatuh pada masuk kelas dengan resiko hukuman itu. Alasannya jelas, ia sekolah untuk belajar bukan untuk nakal, lebih baik ia di hukum karena memang kesalahannya dari pada harus berbohong pada mamak di rumah. Berangkat sekolah tapi malah alpa karena bolos Sedikit tagu, Dimas melangkah masuk, terserah Pak Budi akan memberi hukuman apa kali ini. "Baru datang,dim?" Dimas tersentak saat suara Pak Bugi begitu menggema di telinganya, mendongakan kepalanya lalu kerutak di kening terlihat saat ia baru menyadari jika dirinya sudah bersiri di depan pintu kelas dan pak budi sudah menatapnya tajam. Botak dan kumis tebal adalah hal yang menjadi perhatiannya pertamanya. "Eh... Itu anu pak, mot-" "Nggak ada alasan, Dim. Kamu tau kan konsekuensinya kalo telat di pelajaran bapak?" tanya Pak Budi dengan nada santai namun terkesan tegas dengan tatapan tak lepas menatap Dimas. Mengangguk patuh, Dimas hanya menundukan kepalanya menatap ujung sepatu butut yang sudah dua tahun ini menemani perjalannya sembari meratapi nasib yang sudah menantinya, inilah nasibnya pagi ini, olahraga dan berteman dengan bau nikmat toilet sekolah. "Bagus, sekarang kamu ke perpus. Bilang sama Bu Tuti kamu di suruh saya kesana!" Keningnya berkerut saat mendengar kata perpus?, benarkan Pak Budi tadi mengatakan perpustakaan? Bukan toilet? Mendongak menatap Pak Budi, Dimas seolah bertanya lewat tatapan matanya. Ini beneran? "Hari ini kamu nggak ke toilet. bilang terimakasih sama Dudi, karena dia udah bersihin toilet kemaren jadi hukuman kamu cuma ke perpus" Serius? Nggak ada toilet bau pembuangan akhir? Ah... Beruntungnya kamu protein dalam perut yang hanya berupa nasi putih dan sayur tempe masakan mamak pagi ini. Kamu aman di sana. "Siap, Pak!" jawab Dimas semangat, setelahnya ia langsung beranjak dari tempatnya sebelum si botak tukang siksa itu berubah pikiran dan menyuruhnya untuk menyapu halamat sekolah yang luasnya bukan main. Langkah lebarnya kembali menyusuri koridor yang mengarah ke perpustakaan sekolah yang terletak tepat di belakang kantor guru, langkah ringan tanpa beban menjadi pengiring pagi, entah memang rejeki anak sholeh atau karena Pak Budi memang sedang baik hati hingga membiarkannya lolos dan lebih menyuruhnya ke perpustakaan. Mungkin juga Pak Budi merasa kasihan karena tiap pelajarannya Dimas selalu saja berada di toilet, makanya dengan itu Pak Budi menberinya kesempatan untuk bejalar di perpustakaan. Ah senangnya dia hari ini, mungkin nanti dia akan banyak mengucap terimakasi pada Pak Budi dan sering-sering saja memberi hukuman model begini. Lalu perlahan langkah kakinya melambat saat ia sampai tepat di depan pintu perpustakaan, sepertu kata Pak Budi tadi, Dimas langsung masuk, mencari dimana Bu Tuti di berada, karena seperti kata guru botaknya itu, Bu Tutilah yang akan memberi hukuman padanya. Berdoa saja agar hukuman ini seperti aoa yang ia bayangkan. Dimas menyusuri lorong yang terbatasi rak tinggi yang berisi tumpukan buku-buku usang dan terbaru sekali pun, tatapannya mengedari tiap sudut tumpukan buku di sana. Terlalu terpukau dengan segala isi yang ada di sana, bahkan bukan hanya buku pelajaran. Buku dongen, novel, sajak dan puisi pun ada di sana. Atau mungkin kebanyakan perputakaan emang berisi buku seperti itu? Entahlah, karena nyatanya Dimas baru kali ini masuk perpustakaan. Karena memang jika ia membutuhkan buku pelajaran yang harus di pinjamnya di perpus, Dimas selalu menyuruh Dika, anak cupu di sekolahnya untuk ia mintai tolong. Terlalu larut dalam lamunan dan juga rasa tak percaya dengan sekeliling yang hanya berisikan buku, Dimas tak menyadari jika di depannya yang hanya berjarak 3 langlah kaki dari tempatnya kini, ada sosok yang tengah sibuk membopong tumpukan buku cetak yang tingginya bahkan mampu menutupi wajahnya hingga tak mampu melihat jalan, dan akhirnya sebuah tubrukan keras terjadi membuat tubuh si cewek yang membopong buku tadi limbung kebelakang dan jatuh, hingga Buku yang ada di tangannya berterbangan, di susul buku-buku di rak yang ikut berjatuhan karena refleks dari cewek yang langsung memegang rak untuk menahan dirinya. Namun na'as rak buku itu sama sekali tak mampu menopang tubuhnya, hingga mau tak mau pantatnya harus rela berciuman dengan lantai keramik berwarna putih. Dimas yang juga tak siap ikut limbung kebelakang, namun tak sampai jatuh, lalu saat menyadari keadaan sekitar ia hanya bisa meringis melihat puluhan buku yang berserakan dan juga cewek berhijab abu-abu yang saat ini terduduk di atas lantai dengan rauy yang jelas menahan sakit. Melewati beberapa buku yang ada di atas lantai, Dimas langsung mendekati cewek tadi. Berjongkok di hadapannya dengan ringisan saat membayangkan betapa sakitnya pantatnya saat jatuh terduduk seperti itu. "Lo nggak papa?" Tak ada jawaban dari cewek itu, lalu saat melihat si cewek yang berusaha untuk berdiri, Dimas berinisiatif membatu dengan cara memegang lengan cewek itu, namun bukan merasa terbantu, cewek tadi malah menepis pelan tangan Dimas dan memilih bangun sendiri. Kening Dimas mengerut saat melihat kelakuan cewek tadi. Ini cewek kenapa deh, niat gue kan cuma bantu. Segitunya amat. Memilih tak banyak komen, Dimas hanya melihat cewek di hadapannya itu yang saat ini tengah membersihkan seragamnya. Lalu, dasar Dimas yang terkenal bawel itu yang tak mampu mengerem mulutnya untuk bertanya, kembali melontarkan pertanyaanya. "Lo seriusan nggak papa kan?" "Nggak papa kok" suara imut itu melambai di telinga Dimas, suara kecil lembut dan terkesan menggemaskan entah kenapa membuat Dimas diam terpaku dengan sepasang netra menyorot cewek tadi. Lalu setelahnya entah keberanian itu datang, Dimas mengulurkan tangannya di hadapan Cewek tadi. "Gue Dimas, panggil aja Dim, dan jangan Mas karena nggak enak di dingernya, berasa tua" ucap Dimas berusaha mengenalkan dirinya dengan senyum cerah yang ia miliki. "Dan lo?" Terlihat keraguan di mata cewek di hadapannya, bahkan tangan yang menggantung itu sama sekali belum di sentuhnya yang hanya di intip seperti malu-malu, merasa gemas Dimas menyambar tangan cewek itu yang langsung ia salami. "Nama lo siapa?" sekali lagi Dimas bawel tak sabaran kembalu menuntut jawaban dari sang cewek. "Nia..." ucapnya pelan yang malah lebih menyerupai bisikan. Sekali lagi Dimas tak mampu menahan senyum lebarnya, karena kembali mampu mendengar suara kecil, menggemaskan. Dan entah kenapa ia merasa getaran kecil di dalam tubuhnya, getaran asing yang tak pernah ia rasa sebelumnya. Oh ayolah, dia tak sedang jatuh cinta pada pandangan pertama kan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD