kayaknya gue jatuh cinta.

1762 Words
Jika tau jatuh cinta seindah ini, mungkin gue lebih milih jatuh cinta dari awal hidup, walau nyatanya nggak mungkin. -Dimas pradipta. --- "Ini kenapa buku pada berantakan semua!" suara tegas serat akan kemarahan itu mampu membuat dua orang murid meboleh menatap guru yang memiliki t**i lalat di pangkal hidung, Bu Tuti, guru tegas dan terkesan garang itu berdiri tegap menatap tak percaya pada Dimas dan juga cewek yang baru saja ia ajak berkenalan Nia. "Kalian yang buat ini semua?!" lagi satu teriakan terlontar, Dimas dan Nia hanya memasang cengiran bodoh sebelum mengangguk bersamaan. "Astaga kalian! Dan kamu Dimas kan? Murid yang di hukum sama Pak budi?!" ucap Bu Tuti tegas mengangkat telunjuknya guna menunjuk Dimas dengan tengah menunduk ketar ketir. nyatanya marahnya Pak Budi belom ada apa-apanya ketimbang marahnya Bu Tuti. Dimas mengangguk pelan, tak berani untuk menatap guru galak itu. Sedangkan Bu Tuti hanya menghela nafas pelan sembari memijat pelipisnya melihat kelakuan kedua murid beda generasi itu "Hebat ya kamu, belum juga di kasih hukuman malah udah ngacak-ngacak perpus." ucapnya pelan namun masih terdengar intonasi kemarahannya. "Sekarang hukuman kamu, Dimas bereskan semuanya, dan kamu Nia bersihkan gudang dan tumpuk buku seperti hukuman kamu tadi. Dimas bantu Nia setelah membereskan ini semua!" setelah memberikan hukuman pada dua murid itu, Bu Tuti beranjak pergi dari sana. Kepalanya seolah mau pecah melihat kelakuan kedua muridnya yang berhasil meluluhlantakan perpustakaan kesayangannya. "Gila, gue baru tau kalo marahmya, Bu Tuti lebih serem ketimbang, Pak Budi, nggak lagi-lagi deh ketemu mak lampur versi moderennya." Dimas bergidik, lalu mulai membereskan kekacauan yang mereka buat, menyusun buku dan mengembalikannya pada tempat semula. Namun satu hal yang tak di ke tahui Dimas, bocah itu malah meletakan asal buku yang ada, sesuatu yang malah membuat Nia terkekeh pelan sebelum berlutut dan mulai membantu Dimas. "Kalo kamu nyususunya kayak gitu, yang ada Bu Tuti bakal tambah marah." ucap Nia mencoba memberi tahu dan membantu Dimas agar tak salah memasukan buku. "Di urutin sesuai jenis, jangan asal. Bu Tuti bakal lebih cerewet kalo liat bukunya nggak rapih dan asal-asalan" lanjutnya lagi. Perkataan yang sukses membuat Dimas diam melongo mendengar penuturan gadis di sebelahnya, bukan karena Nia yang bisa berbicara panjang karena yang Dimas kira Nia itu orang yang terkesan pendiam. Yang nyatanya bawel. Tapi karena suara merdu mendayu yang lebih indah dari vokalis jazz sekalipun. Dimas terdiam termagu menatapi Nia dan segala ucapan panjangnya, bahkan dia tak tau Nia berucap apa sejak tadi. Yang ia perhatikan hanyalah suaranya dan gerak gerik rahang yang terkesan indah di mata Dimas. "-jadi kamu harus urutin dari yang kecil ke besar dan jenis bu- kamu dengerin aku ngomong nggak?" tanya Nia saat melihat dimas malah memasang cengir t***l dengan tatapan yang tak lepas menatapnya. "Haloo? Dim, yang nggak mau Di panggil Mas karena terkesan tua. Kamu denger nggak aku ngomong apa?" "Hah? Oh iya, itu ... anu ... Gue denger kok dari kecil ke besar kan?" jawab Dimas ala kadarnya yang di teruskan "Dari indah yang nggak lepas dari mata gue." tentu dengan intonasi yang lebih rendah. "Iya, ini harus di susun rapih sesuai abjad, bisa kan?" tanya Nia lagi yang hanya di anggukki lunglai oleh Dimas yang saat ini entah kenapa merasa dadanya tengah berpacu, seperti tengah berlari ribuan kilo meter, dan masih memasang senyum cengonya. "Kalo udah paham aku tinggal dulu, mau beresin gudang soalnya" lanjutnya lagi sembari beranjak meninggalkan Dimas yang bergumang tak jelas dan masih menatap lekat punggung Nia yang mulai menghilang di balik pintu yang mungkin gudang perpustakaan. "Eh, emm, ok" gumang pelan walau nyatanya Nia sudah menghilang, meluruhkan seluruh tubuhnya di tengah-tengah buku yang berserakan. Dimas bersandar pada rak, menatap langit-langit perpustakaan yang sedikit kotor karena sarang laba-laba, sebuah hal dimana menandakan jika perpustakaan ini jarang sekali di bersihkan. "s**l, kenapa sama ini jantung?! Dari tadi nggak mau diem bener. sibuk ngedugem sedangkan gue kalang kabut ngendaliin mata buat nggak keliatan banget berharap menatap lebih keindahan tuhan yang entah kenapa bisa sesempurna itu! Njay!" Kembali menatap pintu pembatas antara lorong tempatnya bersandar dengan ruangan yang katanya adalah gudang, Dimas berharap lebih bisa melihat corak mata coklat dan telinganya mendengar suara kecil namun terkesan menggemaskan itu lagi. Dan entah kenapa hanya membayangkan saja jantungnya kembali tak bisa ia kontrol, s****n udah gila kayaknya gue! Mendengus keras, Dimas kembali merapihkan buku-buku secara acak, bahkan pesan dari Nia yang di ucapkan secara mendayu dan terkesan bawel seolah tak bisa ia cerna dengan baik. hanya pose saat cewek itu berbicara dan tutur gerak rahangnya saat berbicara yang mampu ia rekam dengan baik. •••Friendship goals... Dimas melebarkan langkahnya menyusuri koridor penghubung antara perpustakaan dan kantin sekolah. Perut yang sudah keroncongan membuat Dimas sama sekali tak menyahuti sapaan ramah dari para adik kelasnya, jangan salahkan Dimas karena berlaku sok sombong. Tapi salahkan perut dan Bu Tuti yang berhasil menjebaknya dalam perpustakaan selama kurang lebih 4 jam. 4 jam ia berkutat hanya untuk membereskan kekacauan di perpustakaan, sebenarnya hanya membutuhkan waktu kurang lebih satu jam untuk membereskan kekacauan mereka, hanya saja karena Dimas yang mengurutkan buku dengan acak dan tak mendengarkan ucapan dari Nia lah yang membuatnya kembali terjebak dengan buku-buku itu. Dan semua karena pesona si adik kelas yang menjadikan ia dilanda kelaparan tingkat jagat. Dan sialnya lagi cewek yang berhasil memikat dirinya malah dengan santainya menertawai dirinya saat ia kembali di tegur oleh Bu Tuti, karena hasil kerjanya. s**l kan? Dan entah kenapa, sekedar memaki ataupun mengumpat Dimas seolah tak mampu. Jangankan mengumpat, baru saja di beri senyum malu-malu oleh Nia saja dia termenung di tempat, merasa beruntung karena bisa menjadi alasan bagi cewek cantik itu tersenyum. Dan sekali lagi, dimas kalah hanya karena senyum yang mampu membuat perutnya tergelitik. "Wey, dari mana aje lo, bro!" Tak menghiraukan teguran dari Raka, Dimas memilih menghempaskan pantatnya pada kursi kantin yang sudah menjadi langganannya selama dua setengah tahun belajar di sekolah ini. "Kenape lo, kusut amat itu muka kayak pakaean si Arif do'ank, yang nggak ada nama panjangnya, kalo di panjangain cuma Ariiii-" ucapan Raka terhenti saat sebungkus roti melayang mengenai kepalanya. "njay, sakit kutu!" Teriak Raka yang di tujukan pada Arif yang tengah sibuk dengan game di tangannya. "Nggak usah ngelunjak, Rakatok'an!" "s**l!" Mengumpat kasar pada Arif, Raka memilih mengalihkan pandangnya menatap Dimas yang masih lesu di tempatnya. "Lo laper? Ngomong aja elah, hari ini Arif lagi baik hati noh, mau traktir kita " Ucapnya menunjuk Arif dengan bibirnya, yang hanya di sahuti kedikan bahu dari Arif. "Yodah, pesenin gue soto mang Diman, laper gue di kerjain sama bu Tuti." Ujar Dimas dengan wajah lesu yang kian kentara. Tak banyak kata setelahnya Raka sudah beranjak menuruti kemauan Dimas. Sembari menunggu dan membunuh kebosanan, Dimas mengeluarkan ponselnya, melihat beberapa notifikasi yang masuk. Lalu saat sebuah pesan dari Listiani muncul di layar utama ponselnya, Dimas mendengus malas, terlebih saat isi pesan dari cewek itu sudah ia baca. Lis : yang, balik jemput aku ya? Males jalan soalnya, si Linda balik sama Cowoknya. Jemput ya pliss. Jarinya bergerak malas, dan hanya menjawab dengan kata "Ya" dan kembali memasukan ponselnya kedalam saku saat dilihatnya Raka sudah berjalan mendekat. "Nih, makan gih, kenyangin itu perut karet lo, kasian amat liatnya." "Nggak usah di suruh geh bakal gue embat, Ka." Menyambar soto di atas nampan, Dimas meracik bumbu sebelum menikmati soto dalam diam. Raka hanya menggeleng pelan, melihat sahabatnya yang entah kenapa bisa kalap hanya dengan hukuman dari Bu Tuti, yang ia tau hanya dari rumor yang beredar. "Jadi gimana ganas nya Bu Tuti yang kata orang kalem-kalem nyelekit?" "Nggak usah di tanyak deh, Ka. Bahkan galaknya Pak Budi nggak ada apa-apanya sama Bu Tut. Nggak lagi deh gue suruh ke perpus. Mending juga bersihin toilet" ucap Dimas bergidik ngerih, apalagi saat membayangkan betapa mengerihkan tugas yang di berikan bu Tuti, bukan hanya menata, tapi membersihkan debu mengepel dan juga membersihkan sawang rumah laba-laba, pekerjaan yang dua kali lebih berat ketimbang membersihkan toilet yang hanya perlu siram gosok. "Lo coba aja kalo masih penasaran, gue mau ceritanya males. Mual perut gue ngebayangin buku di kepala." "Hidih, suruh baca buku aja ogah, apa lagi bersihin buku. Nggak-nggak deh" "Halah sok, biasanya aja lo bocah yang paling pertama pinjem buku tiap ada tugas kan?" Arif yang sedari tadi hanya Diam kini angkat Suara. "Pas ada tugas dong tapi, haha" tawa Arif pecah saat itu juga tawa yang nyatanya tak di tanggapi oleh kedua sahabatnya. terlebih Dimas yang malah menatap malas kearah Arif yang kini mulai menyurutkan tawanya memilih kembali pada permainannya. Dimas kembali melahap makanannya dalam diam tak peduli ocehan Raka dan juga Arif yang bersahutan entah memperdebatkan apa. lalu entah keinginan dari mana Dimas memilih melarikan tatapannya. melalui sudut matanya ia menatap sosok yang sejak tadi membuat hatinya berdegup tak karuan. di sana sosok itu tengah tertawa lepas bersama kedua sahabatnya, berjalan sembari menenteng nampan berisikan makanan yang bisa ia lihat sebuah somai dan juga jus berwarna orange yang entah itu rasa jeruk atau mangga. obrolan di sela perjalanannya menuju bangku yang hanya berjarak 3 lorong meja panjang tepat di hadapannya. dan anehnya Dimas begitu penasaran dengan obrolan ketiga cewek itu, terlebih topik apa yang tengah mereka obrolkan hingga membuat cewek mungil bersuara kecil nan lembut itu mampu menciptakan banyak ekspresi, dari terkejut, cemberut, tertawa, tersenyum dan terakhir ekspresi yang begitu menggemaskan bagi Dimas dimana saat Nia cewek yang tadi bertemu di perpus tengah mengerucutkan bibirnya kedepan. dan entah kenapa hanya dengan melihat itu senyum lebar tercipta di bibir Dimas yang bahkan sudah melupakan makanannya saat itu. perlakuan yang tak lepas dari pandangan Raka yang terheran dengan tingkah Dimas, mengikuti pandangan sahabatnya itu dan menemukan apa yang membuat Dimas tersenyum bagai orang gila itu. "inget, om, Listiani galak loh." ucap Raka polos tanpa melepaskan tatapannya bahkan kepala yang hanya berjarak 15cm dari Dimas tak ia jauhkan. Dimas yang tengah asik dengan pandangannya sama sekali tak mendengar ucapan Raka barusan. yang ia pikirkan hanyalah kenapa hatinya bisa berdetak berlebihan hanya karena melihat cewek mungil itu tertawa sembari menutup mulut dengan tangannya. bahkan hingga saat tatapan cewek itu bertemu dengan tatapannya, Dimas masih tak menyadarinya. pikirannya tengah malang buana memikirkan hal yang tak pernah masuk dalam kepalanya sekalipun. lalu saat senyum Nia terukir begitu menyadari Dimas tengah menatapnya. cowok itu baru tersadar, merapihkan duduknya dengan salah tingkah dan meletakan sendoknya, kemudian membalas senyuman Nia sembari mengendalikan hati dan jantung yang berdetak semakin kencang, bahkan sampai ia merasakan mulas di bagian perutnya. "kayaknya gue jatuh cinta, deh." "HAH!" jawab kedua sahabatnya yang terkejut mendengar Dimas bergumang barusan. terlebih Dimas yang sudah memiliki pacar bisa berkata seperti itu. ini serius? pikir mereka bersamaan yang masih terheran dengan ucapan Dimas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD