masa lalu yang sulit di lupakan

1432 Words
Masa lalu yang sulit dilupakan Bertemu kembali dengan seseorang yang pernah mengisi kekosongan hati dan saling melengkapi itu ibaratkan membuka luka lama yang sudah terkubur, kenangan manis yang begitu melekat di kepala selalu terngiang, di susul dengan ingatan dan rasa bersalah yang tertimbun di dalamnya. Dimas menatap sosok yang tengah menunggu di sebuah kursi yang ia pilih tadi dengan raut tak percaya, tangannya ia gerakan menyentuh d**a yang sejak tadi terasa begitu sesak. Ingatan demi ingatan perlahan masuk kedalam pikirannya menghantui dan berusaha memberontak untuk kembali. Jika saja Dimas di berikan pilihan, mungkin ia lebih memilih lari dari tempatnya sekarang juga, namun bukannya itu malah menunjukan betapa pengecutnya ia sekarang? Hubungan yang terkesan biasa tanpa masalah setelah mereka berpisah beberapa bulan lalu nyatanya hanya lancar di sosial media, berbeda kondisi dengan sekarang yang jelas Dimas harus berhadapan langsung dengan cewek yang pernah ia sakiti dulu. Tak pernah sekalipun Dimas berpikir akan bertemu dengan Rani sejak saat itu. Takdir memang sulit di tebak, dan sekarang takdir seolah tengah meminta pertanggung jawaban atas perbuatannya waktu itu. Rasa sakit dan rasa kecewa yang pernah ia torehkan harus ia selesaikan sekarang juga, mungkin dengan kata maaf saja belum cukup untuk menebus semua kesalahannya tapi tidak ada salahnya untuk mencoba kan? Dimas menertawakan kebodohannya sekarang. Betapa bodohnya ia pernah menyia-nyiakan dan menyakiti sosok yang begitu tulus mencintainya dan lebih memilih meninggalkan cewek itu demi perempuan yang hanya berparas cantik tapi tak mengerti sepenuhnya akan dirinya. Tak ingin terlalu lama dan meninggalkan kesan menghindari, Dimas mendekat. "Lama amat, bang?" Memilih duduk tepat di sebelah Rani Dimas mengangguk, "Hm. Lumayan rame." "Rame?" tanya Rani menoleh stand penjual kopi yang terlihat lengang dan menatap Dimas kembali. "Sepi gitu, rame dimana nya?" "Sepi standnya, tapi yang pesen online rame." "Lah lu kan cuma pesen emang apa hubungannya sama yang pesen online?" "Ya adalah lah, mereka sama-sama pesen kayak gue." "Ya ya ya, terserah Lo deh, bang." Hening Kemabli datang, tak ada satupun dari mereka yang bersuara hingga beberapa saat Rani mencoba memecahkan keheningan. "Gimana sekolah Lo, bang? Udah mau UN kayaknya?" Dimas mengangguk "ya gitu lah, masa-masanya di tuntut untuk belajar lebih giat lagi, sampek mau pecah rasanya ini kepala." "Makanya kalo sekolah itu nggak usah banyakan bolos. Lo sih bolos Mulu." "Mana ada, bolos dua kali doang juga." "Seminggu dua kali sama aja boong, bang!" Gelak tawa Dimas pecah saat itu juga. Dimas lupa jika Rani adalah sosok yang ceplas ceplos dan tak peduli akan suasana, bagaimana pun kondisinya Rani selalu cuek dan selalu enjoy walau pikiran nya penuh masalah. "Ya gimana males gue liat muka bu angel. Ngajar pilih kasih, pinter doang yang di perhatiin yang dudul kayak gue mana pernah di liat." Bu Angel guru matematika yang terkenal killer dan juga disiplin dalam mengajar, hanya saja terlihat pilih kasih, hanya beberapa murid yang tergolong mampu yang di perhatikan sedangkan Dimas dan kawan-kawan yang notabennya Badung dan suka ribut di dalam kelas selalu di abaikan dan tak pernah di tegur atau di perhatikan. Pernah suatu waktu Dimas yang ingin mengejar nilai harian bertanya karena tidak mengerti dan tanggapan dari Bu Angel malah diam dan lebih memperhatikan murid perempuan yang tergolong pintar di kelasnya. Efeknya Dimas membuat ulah sejak saat itu. Mengkordinir semua murid cowok untuk bolos tiap kali pelajaran matematika. "Bukannya kata Arif guru MTK Lo udah di ganti. Nggak ada alesan lagi dong buat bolos." Ujar Rani yang membuat dahi Dimas mengerut bingung. "Arif?" Ulang Dimas menatap Rani tak percaya. Jadi selama ini yang menjadi mata mata Rani adalah sahabatnya sendiri. Sekurang ajar itu kah sahabatnya membuka semua aib pada Rani. Lalu kenapa juga Rani masih peduli padanya. "Iya, Arif bilang semua kelakuan Lo di sekolah." Ucap Rani melipat tangan di atas meja untuk menatap Dimas tajam. "Se-frustasi itu Lo pisah sama gue sampek jadi begajulan gini?" "Mana ada, nggak lah gue emang gini sebelum kenal Lo lah." Kilah Dimas melarikan tatapannya untuk menutupi kebohongannya. Mungkin hanya Rani yang bisa mengendalikan Dimas, setidaknya untuk beberapa waktu lalu hanya sosok di hadapannya itu yang bisa membuatnya takluk. "Aelah pake ngeles, gue tau lu bang. Lu kan nggak pernah bisa move dari gue makanya lu lari ke sana buat ngelupain gue kan?" Ini yang Dimas suka dari sosok Rani. Dia tak pernah malu atau sungkan menunjukan perasaanya. Selalu masa bodo dengan apa yang ia ucapkan, baginya apapun akan lebih baik di ucapkan secara langsung ketimbang harus di pendam. "Dih pede. Nggak lah gue masih enjoy aja lagi nggak ada ya bel bisa move. Lagian gue udah ada cewek. Sama kayak Lo yang udah ada cowo" "Dih masih aja ngeles, gue tau bang lu pacaran juga cuma buat pelampiasan kan? Gue tau elu elah." Dimas mengakui itu, ia bisa saja terlihat move di luar, tapi jauh di dalam hatinya semua kenangan itu belum bisa ia lupakan. Mungkin benar melupakan itu akan terasa sulit bahkan tak akan pernah bisa, apalagi sebuah kenangan yang pernah di torehkan dengan begitu indahnya. Sesuatu yang jelas sudah mendarah daging dan terekam indah di kepalanya. "Udahlah bang, gue tau gimana perasaan lu, tapi juga harus tau kita udah berakhir." Rani menatap Dimas lekat, tangannya meraih tangan Dimas menggenggam erat seolah memberi arti lewat genggamannya. "Berakhir dalam hubungan bukan berarti kita berakhir dalam ikatan persaudaraan. Kan lu sendiri yang bilang kita putus baik-baik dan lu anggep gue sebagai adek." Dimas menatap genggaman tangan Rani dengan tatapan sendu, ingatannya di paksa untuk kembali mengingat saat dimana hubungan mereka berakhir, dan Dimas lah yang mengakhiri hubungan itu. "Lo udah janji sama gue, bang. Lo bilang walau lu bubar sama gue lu akan tetep jadi diri lu yang baru dan nggak akan balik ke masa itu." Rani menjeda, menatap Dimas yang masih menunduk dalam diam."terus kemana janji lu sekarang. Jangan anggep gue nggak tau sama semua kelakuan Lo, bang. Kita bubar tapi gue masih pantau elu. Dan makin kesini lu malah makin brutal ya." Dimas akui itu, semua yang ia lakukan selama ini mungkin sudah terbilang kelewat batas, dia bukan sosok yang di kenal Rani dulu. Dimas susah menjadi b******n yang melakukan semua hal tanpa memikirkan terlebih dahulu, semua yang dia lakukan semata mata untuk menenangkan hatinya, menghilangkan sesak yang selalu menggangu pikirannya. "Gue cuma jadi apa yang gue mau, dek. Lo tau gue emang dasarnya kayak gini." "Gue tau Lo udah berubah, bang. Cuma rasa bersalah lu aja yang buat lu makin gila kayak gini." Dimas tak berani menjawab, semua alasan dan perkataan kasar yang selama ini ia ucap pada setiap cewek yang dekat dengannya mungkin bisa di lontarkan dengan mudah, tapi di depan Rani dia seperti orang t***l yang tak berkutik hanya dengan menatap matanya. "Ayolah bang, udahin. Gue tau Lu bisa, gue tau Lu bakal jadi orang yang bisa di andelin. Bukan nyusahin kayak gini." Dimas mengangkat wajahnya, menatap Lamat wajah Rani yang juga tengah menatap dengan penuh harap. Jani janji yang dulu ia ucap kembali teringat. Melihat tatapan Rani membuat rasa sakit di dadanya kian terasa. Tatapan kecewa dan tatapan penuh harap di malam itu sama persis seperti sekarang ini. "Gue udah lakuin, gue udah coba. Tapi semua itu nggak guna tanpa Lo di sisi gue." Dimas menunduk mencoba membuka ingatan yang membuatnya sesat tiap kali mencoba mengangkat kenangan itu kembali. "Bahkan kadang gue ngetawain diri gue sendiri. Betapa bodohnya gue ngelepas Lo demi seseorang yang sama sekali nggak ada apa apanya di banding elo." "Lo tau, sejak malam itu rasa bersalah di hati gue malah bikin gue sesak. Gue nggak tau harus apa, gue butuh pelarian yang gue harap bisa bantu lupain Lo dari kepala gue, tapi nggak ada. Nggak ada yang mampu gantiin posisi Lo di hati gue." Rani tersenyum, mencoba menenangkan Dimas dengan memberi usapan lembut di tangan Dimas."Gue yakin pasti ada, tapi lu belom nemuin sosok itu, bang." Dimas tertawa pelan, "sosok baru? Siapa? Nggak akan ada, dek. Nggak akan ada yang bisa kayak lo." "Jangan cari yang mirip kayak gue juga lah. bang. Lo nggak akan dapet duplikat gue dimanapun. Tapi gue yakin Lo bakal dapet sosok yang lebih baik dari gue. Sosok yang bisa buat lu ngelupain gue." "Gue nggak yakin." "Lu nggak perlu yakin. Yang perlu lu lakuin cukup ikhlasin gue. Kalo Lu nggak bisa lupain gue, nggak usah berusaha move karena itu jelas nggak guna buat Lu. Jadi jangan berusaha buat lupain kenangan kita, cukup lu ikhlasin kepergian gue dan gue yakin lu nggak akan pernah ngerasa sesakit itu." "Karena gue tau sebuah kenangan itu nggak akan bisa di lupakan mau seberapa keras Lu berusaha, kenangan itu akan selalu tertanam di tempatnya. yang bisa Lo lakuin hanyalah mengikhlaskan. Ikhlaskan gue pergi dan Lo akan tau arti hidup Lo setelahnya"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD