putus

1855 Words
Berjalan sebagaimana mestinya Jalanan sore itu terlihat ramai, penuh sesak dengan beberapa pengendara yang sepertinya sudah tidak sabar lagi ingin cepat sampai rumah untuk beristirahat dari lelahnya rutinitas harian, bahkan banyak dari sebagian orang yang tak sabar untuk segera sampai sampai mereka mulai menerobos dan melakukan tindakan konyol seperti menerobos trotoar hanya untuk sampai di rumah, terlihat dari banyakanya pengendara yang mengendarai kendaraan mereka dengan ugal-ugalan hingga beberapa bunyi kelakson mewarnai padatnya jalanan. Hal seperti ini memang sudah menjadi sebuah keindahan serta kebisingan di kota, yang terkadang membuat Dimas malas untuk berpergian. Jika saja bukan karena dia sudah berjanji akan menjemput Listy di salah satu cafe, mungkin kali ini Dimas masih asik bermain game bersama teman-temannya dan malas untuk keluar rumah, apalagi dengan padatnya jalan sore hari, lebih baik rebahan jika harus berdesakan seperti ini. Bahkan melihat polusi bertebaran yang terlibat seolah menertawakan nasibnya, membuat dirinya mendengkus untuk kesekian kalinya. Inah masih yang dia alami ketika dia mendapat seorang pacar yang selalu saja ingin diperhatikan dan ingin diprioritaskan. Tidak ada kata untuk tida, dan yang bisa Dimas lakukan hanyalah berusaha untuk menurutinya. Itulah yang bisa dia lakukan sekarang ini. Berusaha dengan sabar melewati semua ricuhnya jalanan, berusaha untuk tetap sabar ketika banyak pengendara yang berusaha menerobos dari jalur kiri. Dan berusaha untuk tetap sabar, bahkan ketika stang motonya sampai disenggol oleh mobil yang datang dari belakang. TIIINNNNNNN!!!! "SABAR ELAH! LO NGGAK LIAT APA NGGAK PUNYA MATA! LIAT DI DEPAN! MACET UDAH NGELEBIHIN ORANG ANTRI SEMBAKO!" seketika suara teriakan itu membuat pe.gendara mobil di belakang motornya berhenti membunyikan klakson. Dimas mengambil napasnya, berusaha untuk sabar bahkan ketika dia baru saja berteriak kesal. "Duluan!" Ujar Dimas yang kini sudah menepikan motornya dan membiarkan mobil Yaris berwarna merah itu mendahuluinya. Dia menatap sejenak plat kendaraan tersebut s belum akhirnya dia meninggalnya. Dimas berhenti di lampu lalu lintas saat salah satu lampu di sana menunjukan lampu berwarna merah. Dia mengedarkan pandangannya sejenak, selain dipenuhi oleh kendaraan beroda dua ataupun empat, tempat ini pun menjadi salah satu tempat yang di gunakan sebagian orang-orang untuk bertahan hidup. Terlihat ada cukup banyak orang yang mengais rejeki mereka di jalanan, ibu ibu yang menjajakan jualannya seperti tisu dan air mineral, anak-anak yang berusaha menjual suara dengan bantuan alat kecrek yang terbuat dari tutup botol yang di pipihkan lalu di satukan, dan banyak juga para remaja yang sepertinya enggan bekerja dan memilih jalur ini untuk mendapatkan uang lebih, atau mungkin mereka yang tak bernasib baik seperti dirinya? Bisa saja. Dimas tak mau berfikiran negatif tentang mereka, hidup adalah pilihan, bertahan hidup adalah tujuannya. Maka tidak heran ada begitu banyak anak-anak seusianya yang tidak mendapat pendidikan yang layak dan malah berakhir menjadi para pengais pundi yang di jalanan. Matanya mengitari tempat sekitarnya, lalu tatapannya berhenti di sebuah sudut jalan, di mana terlihat seorang nenek yang terlihat tengah bersusah payah untuk berdiri, di tangan kirinya terlihat beberapa bungkusan plastik yang sepertinya makanan yang sedang dia usahakan untuk dijajakan demi mendapati pundi rupiah. Tanpa sadar Dimas mengamati cukup lama apa yang di lakukan nenek itu di sana. Perlahan pikirannya melalang buana, bayangan demi bayangan perlahan masuk kedalam benaknya, bayangan yang entah kenapa sedikit menohok hatinya, ia membayangkan bagaimana jika suatu saat nanti orang tuanya akan bernasib seperti nenek di sana. Lalu satu hal yang terlintas di kepalanya, dimana anak-anak nenek itu berada? Mungkinkah nenek itu di lantarkan atau malah memang nenek itu bernasib buruk hingga tak memiliki sanak saudara untuk bernaung hidup? Dimas meringis kecil di tempatnya, tak ingin prasangka buruk terus menyerang dirinya, akhirnya ia pun menjalankan motornya saat lampu sudah berganti menjadi hijau. Tak langsung beranjak, Dimas berhenti di tepi jalan, tepatnya di sebuah warung, ia memarkirkan motornya sebelum turun dan berjalan kedalam warung untuk membeli dua botol air mineral. Lalu ia kembali beranjak. Tujuannya adalah untuk menghampiri sang nenek yang terlihat masih berusaha berjalan mendekati jalanan yang memang cukup padat sore itu. Ada rasa ibu yang menyusup masuk kedalam hatinya, tapi Dimas tidak ingin menunjukan itu, ia tak ingin menjatuhkan harga diri dari seorang nenek yang terlihat sudah begitu berjuang demi apapun yang ingin di raihnya. "Nek?" Panggil Dimas saat dirinya sudah sangat dekat dengan sang nenek berdiri. Dilihatnya tubuh kurus dengan kulit yang sudah mengeriput itu, tangan kanan yang sekuat tenaga mencengkram sebuah tongkat yang menyanggah tubuh rentannya. Dimas meraih pundak sang nenek saat terlihat keseimbangan nenek goyah. "Nenek mau kemana?" Tanya Dimas lembut, membantu sang nenek untuk mendapatkan keseimbangannya kembali. "Ini cu, nenek mau jualan, jual kacang godok" jawab nenek dengan suara pelan dan bergetar khas suara lansia yang sering ia temui di komplek perumahannya, sekali lagi Dimas tak habis pikir, nenek seuisa beliau harusnya sudah menikmati ketenangannya dengan beristirahat di rumah atau setidaknya tak membahayakan diri di jalanan padat kendaraan untuk mencari secercah rejeki. "Loh nenek jualan?" Sekali lagi Dimas yang iba mencoba bertanya dengan lembut, walau jelas Dimas sudah tau tujuan sang nenek, tapi sepertinya Dimas ingin mengukur waktu agar sang nenek agak menjauh dari pinggiran jalan, perlahan Dimas mencoba menuntun nenek ketepi, "nenek kenapa jualan?" Lagi Dimas mencoba bertanya dengan tatapan redup tergambar dimatanya. "Buat beli behras, behras nenek abhis di rumah" jawab nenek yang kini sudah berada jauh dari pinggiran jalanan, kini mereka berdua berdiri di bawah naungan pohon rindang yang agak jauh dari jalan. Dimas berusaha berfikir positif saat sang nenek jelas mengucapkan tujuan berjualan untuk membeli beras, lagi pertanyaan negatif terbesit di kepalanya, kenapa harus berjualan dimana anak-anaknya? "Emang anak nenek kemana nek?" Si nenek menoleh menatap wajah Dimas, diamatinya pemuda itu dengan seksama sebelum ia menjawab. "Nggak tau, nak." jawab nenek sendu. Mendengar itu Dimas terdiam, rasanya hatinya tertohok hanya mendengar jawaban pelan dari mulut sang nenek. "Nenek harus jualhan, buat makhan nenek samha kakhek di rumha." lagi Dimas diam mendengatkan celoteh sang nenek. Dimas hanya diam meresapi apa yang di katakan nenek dengan suara redup dan tertatih. "Nenek malhu kalo makhan harus di kashi tetangga. Nenek mashi bisa jualhan, makanya nenek milih jualhan di sini" "Tapi di sini kan bahaya nek, banyak kendaraan lalu lalang disini" "Mau gimana lagi cu, Cumha ini yang bisa nenek lakuin, nenek udah nggak bisa ngapha-ngapha laghi" Dimas tertagun untuk kesekian kalinya, nenek itu berusaha bertahan hidup, terlebih ia masih memiliki seorang suami yang harus ia rawat di rumah, lalu kemaba anak anak nenek hingga mampu Setega itu meninggalkan wanita renta seperti ini berkeliaran di jalanan. Tangan Dimas yang merangkul bahu nenek mulai mengelus pelan, ada rasabiba di hati Dimas, namun ia tak ingin menunjukan nya. "Nenek jualan kacang, sebungkusnya berepa nek?" "nenek jual, 5 ribhu aja cu" Lima ribu untuk sebungkus besar kacang rebus, itu terlalu murah nek, Dimas menatap beberapa bungkus kacang di tangan nenek, dengan sangat berat ia berusaha menyunggingkan senyum untuk ketegaran yang nenek alami. Ia sedikit membandingkan dirinya dengan nenek, ia masih kuat masih muda tapi untuk menjalani hidup selalu banyak keluhan yang mengiringinya, banyak protes dan tak pernah bersrykur dengan apa yang ia miliki, rasanya untuk berhadapan dengan nenek yang memiliki ketegaran hati yang luar biasa ini Dimas merasa malu, benar benar malu. "Masih banyak ya nek jualannya?" Tanya Dimas hati-hati. "Mashih 10 bungkhus di Bakhul nenek" "Yaudah gini nek, gimana kalo kacang nenek aku borong?" Tanya Dimas yang dengan tulus membantu sang nenek yang mendengar ucapan Dimas langsung menoleh tak percaya, di tatap Lamat wajah Dimas dengan tatapan redup yang terlihat begitu lelah. "Benerhan cu?" "Iya, nek. Kacangnya aku boring aja gimana. Kebetulan aku butuh kacang buat cemilan di rumah." ucap Dimas walau sedikit berbohong namun tujuannya hanyalah untuk membantu, dan untuk kacang yang banyak itu Dimas bisa membagikan kepada teman-temannya, yang Dimas pikirkan sekarang hanyalah bagaimana nenek bisa cepat pulang dan menjauh dari keramaian jalanan itu. "Boleh cu kali emhang mau di borhong." jawab nenek dengan senyum redup yang masih terlihat menawan di mata Dimas, kulit renta yang masih memiliki semangat untuk tetap bertahan hidup, Dimas merasa kagum dengan nenek yang ada di hadapannya kini. Lalu perlahan nenek mulai berusaha berdiri, dengan cekatan Dimas membantu nenek berdiri, ia masih menuntun nenek untuk berjalan mendekati bakul, tempat untuk ia menyimpan kacang rebusnya, sebuah wadah berukuran cukup besar yang terbuat dari rajutan bambu, yang nenek sebut dengan bakul. Setelahnya nenek mulai memasukan kacang rebus kedalam pelastik sebelum memberikan kepada Dimas. Dimas menerima bungkusan itu. Di hitung total bungkus yang ada di dalam kantong plastik berukuran besar dan di sana ada 11 bungkus termasuk yang di pegang nenek tadi. Dimas mengeluarkan uang dari dalam dompetnya dan memberikan kepada nenek. "Nggak adha uang pas aja Cu, nenek ngak ada kembhaliannya" ucap sang nenek saat menerima selembar uang seratus rulibu dari Dimas. Dimas tersenyum lembut, ia menggenggam tangan sang nenek, "kembaliannya buat nenek aja," "Taphi cu" "Udah nggak papa nek, buat nenek aja," "Benerhan cu?" Tanya nenek dengan wajah tak percaya. "Beneran nek, buat nenek aja." mungkin bagi Dimas uang seratus ribu terbilang uang kecil. Uang saku dari sang ayah lebih dari cukup untuk jajan. Namun bagi sang nenek uang seratus ribu itu terbilang besar, terlihat dari wajah gembira dari sang nenek yang berhasil menularkan kebahagiaannya pada Dimas. "Makasih cu, makasih banyhak, nenek doakan Lanjar rejekinya, sehat selalu dan selalu berkah unthuk kedepannya" "Amin amin ya Allah." Dimas mengaminkan ucapan bahagia sang nenek. Di hatinya ia sedikit merasa lega, bantuan darinya mungkin hanya beberapa ribu saja dan tak seberapa, tapi setidaknya itu bisa membuat nenek bahagia dan bisa membuat nenek istriahat hari ini. "Makasih cu, nenek mau langsung phulang aja khasian suami nenek di rumhah" ujar sang nenek berusaha mengambil bakul miliknya yang dengan cekatan Dimas langsung menyambar dan mangangkanya untuk sang nenek. "Rumah nenek dimana nek?" Tanya Dimas penasaran dengan "Nggak jauh kok. Di belakhang g**g ithu" ucap sang nenek menunjuk g**g yang tak jauh darinya. "Yaudah nenek tunggu sebentar, aku anter nenek." ucap Dimas tak menunggu jawaban sang nenek dan langsung berlari kearah motornya. Ia masuk kedalam warung dan mencoba menitipkan motor dan bungkusan kacang yang repot jika di tenteng. "Yukk nek!" ucap Dimas setelah menitipkan motor dan juga bungkusan kacang rebus tadi pada pemilik warung. Lalu dengan cekatan ia menyambar bakul yang sudah di gendong nenek untuk ia tenteng. "Bakulnya biar aku yang bawa nek." ucap Dimas mulai mengantar nenek pulang sembari menuntun dengan sabar karena pergerakan nenek yang mulai melambat. Kaki renta itu terlihat masih kokoh, walau dilihat dari cara berjalannya yang sudah tidak bisa berdiri tegak, dia memaksa diri agar terlihat tegar walau usianya sudah tidak muda lagi. Inilah yang membuat Dimas terenyuh, banyak orang-orang diluar sana yang memiliki semangat juang tinggi, bahkan rela melakukan segala hal agar bisa membahagiakan orang-orang yang mereka cintai. Dan Dimas terlalu salut dengan orang-orang seperti itu. Rasanya Dimas begitu malu saat selama ini dia hanya bisa mengeluh tanpa bisa berusaha. Dan sekarang, dia seolah tertampar dengan keadaan yang ada. Dia berjalan menyusuri g**g ketika menuntun sang nenek, hingga akhirnya sang nenek menunjukkan rumahnya yang ada di sudut bagian belakang dari rumah-rumah megah yang ada di sebelahnya. Rumah tetangga yang lebih besar dari pada rumahnya. Dan rumah itu hanyalah sebatas rumah yang terbuat dari anyaman bambu dan terlihat begitu sederhana di sana. Dimas terdiam sejenak, harinya terenyuh ketika melihat keadaan itu. Dan ini adalah bukti baginya, seberapa berat para orang-orang untuk berusaha membahagiakan orang-orang tercinta mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD