3. Cinta dan kasih sayang

1020 Words
"Tidak. Bukan begitu maksudku, Sayang. Jangan tersinggung. Tentu saja kau seorang ayah, dan kau punya perasaan yang sama denganku sebagai orang tua. Maksudku, firasatmu sebagai ayah dan firasatku sebagai ibu adalah berbeda. Kau dan aku sama. Bedanya aku terikat dengan mereka sejak mereka dalam kandungan. Kedekatan mereka denganku lebih dulu terjadi. Jadi, ikatan antara aku dan mereka lebih kuat. Dan, firasat seorang ibu jarang sekali meleset," jelasnya melepas pelukan. "Kita sama-sama mempunyai ikatan batin dengan mereka, atau dengan siapa pun yang tanpa kita sadari kita terikat dengan mereka," tambahnya lagi. Khaled menghela napas mendengar penjabaran Ayse yang lembut. Ia menatap malas istrinya itu. Ayse hanya melempar senyum melihat Khaled yang tampak merajuk. Baginya itu terlihat lucu. "Aku tidak sedang memberimu ceramah, Suamiku." Ayse tertawa geli. Tangannya mengelus d**a Khaled. Matanya menatap lelaki tua itu penuh cinta. Jambang yang tidak terlalu lebat atau tipis –yang sebagian sudah memutih, menghiasi sepanjang rahangnya. Pun dengan janggutnya yang tidak panjang, namun cukup terbilang lebat. Ayse sangat menyukai bentuk wajah suaminya.  Wajah yang menawan, terlihat tenang, dan berwibawa. Guratan keriput lumayan dalam terlihat di seluruh wajah. Wanita tua itu tidak menyesal menerima pinangan lelaki yang membuatnya melahirkan tiga orang anak tersebut. Ayse membelai pipi Khaled dengan mesra. "Aku mencintaimu."  Khaled tersenyum lebar dengan bibir yang tertutup rapat, saat Ayse memberinya ciuman lembut di pipi. Bukan kali pertama Ayse melakukannya sepanjang mereka mengarungi bahtera rumah tangga, tapi bagi Khaled tetap akan terasa sama seperti Ayse pertama kali melakukannya. Bibir Khaled masih mengurai senyum, saat tangannya membelai pipi Ayse. Ia kembali memeluk wanita itu dengan lembut dan mesra. "Aku tahu, kau akan tetap mencintaiku dan akan selalu sama. Tapi, jangan berlebihan mencemaskan hal yang bisa membuatmu tidak sehat. Aku tidak mau itu terjadi. Kau mengerti, Sayang, hmm?"  Khaled menjatuhkan kepalanya di kepala Ayse. Memeluk erat istrinya sambil mengusap punggung Ayse. Wanita itu pun tidak mau kalah. Ia melakukan hal serupa tapi tak sama–memeluk pinggang Khaled dengan kedua tangan yang melingkar di pinggang lelaki tua itu.  "Lalu, istrimu ini hanya boleh mencemaskanmu saja, begitu?" Suara Ayse pelan dan terdengar serak.  "Tidak, tapi aku yang utama." Khaled terkekeh –melepas dekapan dan menggeser badan untuk direbahkan. "Ayo, tidur." Khaled membaringkan tubuh.  Ayse mengambil selimut yang dilipat di ujung kasur bagian kaki, membentangnya hingga menutupi mereka berdua hingga ke pinggang. "Dia bertanya atau berkata sesuatu setelah aku keluar dari kamar?"  Sesaat ingatan Ayse kembali ke percakapan yang terjadi beberapa jam lalu antara dirinya dan anak dari adik iparnya tersebut. Ayse berkata bahwa tidak ada yang penting dan serius yang mereka bicarakan. *** Pukul 00.10 AM, Brigita masih duduk bersama laptop di pangkuan mencari informasi penting untuk ia ketahui. Laptop ia matikan ketika kepalanya terasa mulai berdenyut. Menyingkirkannya ke sebelah dari tempat dirinya duduk di ranjang. Perempuan itu membuang punggung sekejap ke kepala kasur. Melihat bebas ke segala arah. Air bening di gelas sudah habis ia teguk.  Brigita turun dari ranjang mencari obat sakit kepala di laci. Tidak tahan dengan rasa sakit di kepalanya yang semakin berdenyut, ia beranjak ke kamar Alif setelah tidak menemukan sebutir pun aspirin di kamarnya tersebut.  Brigita mengetuk kamar Alif. Pemuda yang tengah termenung itu, terkejut mendengar suara parau Brigita, hingga membuka pintu dengan cepat, dan melihat perempuan itu meringis memegang kepala. "Apa kau punya aspirin? Kepalaku sangat sakit." Alif panik dan membawanya ke sisi pembaringan. Ia menuju meja kerja membuka laci no dua. Mengambil sebutir dan segelas air yang baru dituang dari teko. Tanpa tunggu, Brigita langsung menelan tablet yang disodorkan Alif.  Pemuda itu menyulang air yang dipegang. "Kenapa kau bisa sakit kepala, Abla?"  Alif memegang gelas sambil menatap bingung pada Brigita. Wanita itu mengusap air yang tumpah di dagu. Alif membelai rambut Brigita. Mata Brigita terpejam menahan sakit. Kedua tangannya memegang kepala dan memijat untuk mengurangi rasa sakit. Mimik  mukanya memperlihatkan rasa sakit tak tertahankan. "Sakit sekali, Alif." "Sekarang kau istirahat, Abla. Aku akan mengantarmu ke kamar. Kau bisa berdiri?" Alif memijat kepala Brigita.  Brigita mengangguk. Dibantu Alif yang memapahnya, perempuan itu berdiri dari ranjang. Suara ringisan berdelan di telinga adiknya. Melihat Brigita yang sedikit-sedikit limbung ke belakang ketika berjalan, Alif serta-merta memggendong Brigita ke kamar. Alif membuka selimut yang terlipat di atas bantal –sebelah kepala Brigita, setelah tubuh kakaknya dibaringkan. Tampak laptop tidak bergeser dari tempatnya. Sekilas ia memutar badan dan menemukan gelas kosong. "Kau sakit kepala karena bekerja setelah keluar dari kamarku, Abla." Laki-laki itu memeriksa teko. Kosong –tidak ada airnya. Lampu utama kamar sudah ia matikan, lampu meja sudah menyala. Pendingin ruangan sudah ia sesuaikan. Alif membawa teko tersebut turun ke bawah untuk diisi.  Brigita masih berusaha memejam mata,  dengan kondisi kepala yang masih berdenyut. Semakin dipejam, denyut itu semakin kencang. Perempuan itu semakin tidak bisa tidur. Alif masuk membawa satu teko air dan satu toples madu New Zealand yang baru dibelinya beberapa hari lalu. Ia meletakkannya di meja sebelah kasur. "Abla, apa mulutmu terasa pahit? Aku membawa madu. Mau kusulang?" Alif duduk di pinggir kasur. Kelopak mata Brigita pelan-pelan terbuka. Lampu meja menampakkan jelas mimik wajahnya yang berkerut menahan sakit. Ia hanya menjawab dengan gelengan lemah. Alif menghela napas dan mengangguk. Mencium sesaat kening Brigita sebelum keluar dari kamar. "Jangan banyak pikiran, Abla. Selamat tidur."  Brigita hanya menyahut dengan senyum getir, memandang lemah Alif sebelum laki-laki itu menghilang dari balik pintu. Sepuluh menit berlalu rasa sakit itu belum juga berkurang. Brigita mulai merasa dirinya tidak baik-baik saja malam ini. Semakin reaksi tubuh memejam mata, semakin kuat pula rasa denyut itu. Pikiran perempuan itu 'dipaksa' hanya fokus pada rasa sakit yang membuat denyut itu terasa semakin sakit. Brigita ingin pikirannya dibawa mengembara demi mengurangi rasa sakit, namun otak perempuan itu sedang tidak bisa diajak bekerja sama.  Detik demi detik berlalu, hingga di ujung kesadarannya yang melemah, di benak Brigita terlintas sosok yang mungkin mengetahui –walau sedikit –bisa dijadikan petunjuk. Satu nama yang disebut-disebut dalam percakapan. Namun, dengan pasti walau perlahan, sekelebat ingatan itu memudar bersama semakin lemahnya tubuh dan otak, yang digerogoti rasa kantuk akibat obat tidur yang terkandung di dalam aspirin tersebut. Di kamar sebelah, Alif tidak bisa mengosongkan pikiran yang penuh dengan hal-hal yang tidak ingin ia pikirkan. Sungguh Alif dalam dilema.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD