Brigita masuk ke kamar Alif setelah salat Isya yang diimami Khaled. Pemuda itu duduk di depan meja gambar menarik garis-garis di atas kertas. Ia memanggil hingga tiga kali, Alif menyahut, tetapi tidak menoleh pada suara yang memanggilnya. Goresan mata pensil yang berwarna hitam lebih menarik perhatian pemuda itu. Brigita menarik kursi meja kerja satunya.
"Kemarin siang kau bilang surat itu yang ke empat kalinya. Lalu, dimana ketiga surat lainnya? Apa kau menyimpan atau membuangnya?"
Alif berhenti. Termenung sejenak memandang kertas yang sudah bertebaran angka-angka ukuran gedung yang sedang dirancang. Konsentrasi Alif buyar. Ia menoleh.
"Ada di laci. Kenapa?" Keningnya berkerut.
"Aku ingin melihatnya."
Tatapan Alif turun ke laci meja kerjanya. Brigita mengikuti tatapan tersebut.
"Di sini?" Brigita tidak mengalihkan pandangan.
"Iya, paling atas." Wajah Alif berpaling.
Perempuan itu menarik laci pertama meja kerja tersebut. Membongkar tumpukan kertas dan buku-buku kecil. Tiga amplop cokelat terselip di antaranya. Ia menduga isi amplop itu. Satu persatu ia buka.
"Alif, goresan tulisannya sama!" pekik Brigita menelaah.
"Aku sedang bekerja, Abla. Jangan menggangguku!" ketus Alif tanpa menoleh.
Kening Brigita berkerut. Hatinya sedikit tersinggung mendengar ucapan Alif. Ia melirik sekilas sebelum keluar membawa keempat surat aneh tersebut ke dalam kamarnya dan menaruhnya di atas kasur. Matanya memicing dan bergerak ke kiri dan kanan. Mencari kesamaan lainnya. Ia duduk semedi di sana.
Ia menemukan jenis kertas yang sama, ketebalan yang sama, tinta yang sama, dan amplop yang sama. Tangannya ikut bergerak –menunjuk kertas surat-surat itu.
'Bagaimana orang itu bisa mengirim surat ini? Tanpa nama pengirim, tanpa stempel. Tidak mungkin ini dikirim dari luar kota apalagi luar negeri. Pasti ada seseorang yang menjadi kurirnya.'
Brigita mendesah panjang, menegapkan badan, mengamati seluruh kamarnya. Otak perempuan itu buntu, sampai matanya melirik ke ponsel di atas kursi.
Brigita berlari keluar membuka pintu kamarnya dengan kasar – menimbulkan berisik, menuju kamar Alif yang hening. Brigita membuka pintu tidak terlalu pelan. Brigita berdiri di ambang pintu memanggil Alif.
"Beritahu aku pin ruangan cctv," katanya tanpa ditoleh Alif.
Gadis itu kembali memanggil Alif sambil berjalan pelan masuk ke dalam. Berdiri di pinggir meja kerja menatap Alif yang tidak kunjung menjawab. Hingga Alif menyadari kehadirannya ketika menarik napas panjang.
"Euh? Ada apa?" ucap dan tatapnya malas. Gurat wajahnya terlihat kusut. Ia tampak sangat lelah, bahkan bawah matanya sudah mulai menghitam.
Brigita menyampaikan ulang permintaannya dengan dengan pandangan memelas. Alif terdiam beberapa detik sebelum menjawab. Ia menggeser kursi duduknya yang beroda, mengambil sticky note kecil di sudut meja kerjanya, kemudian menulis pin dan menyerahkan kertas kuning tersebut.
Usai menerima dan mengucap terima kasih, Brigita membaca deretan angka yang ditulis Alif sambil jalan keluar kamar adiknya. Ia turun ke bawah menuju ruang cctv di bawah tangga. Sesaat ia berdiri di depan pintu sebelum menekan tombol password.
Tidak ada yang berubah dari ruangan itu, sejak keberangkatannya ke Birmingham untuk mengambil gelar master. Ia duduk di salah satu komputer –yang merekam bagian depan rumah dan gerbang pagar.
Matanya bergerak liar dan cepat. Tangan kanannya bergerak cepat melakukan 'pause' dan 'zoom' beberapa kali. Tidak terlihat seseorang di dalam rekaman tersebut. Tidak ada yang aneh. Tidak ada seseorang yang datang membawa surat, lalu meletakkannya di bawah pot Kaktus.
"Tidak ada siapa-siapa." Ia menghela napas membuang punggung ke belakang.
Brigita kembali ke kamar. Menyusun surat-surat itu kembali ke atas meja. Pintu kamar Brigita diketuk diiringi suara dan menyuruh orang itu masuk. Alif muncul mengenakan celana pendek dan singlet.
"Ada apa, Alif? Pekerjaanmu sudah selesai?" Brigita masih berdiri di pinggir meja.
"Menemukan sesuatu di rekaman cctv?" Alif berdiri di samping Brigita, melihat tumpukan surat tersebut.
"Tidak. Benar-benar aneh. Pasti seseorang menjadi kurir orang itu. Tapi, bagaimana bisa kurir itu tidak terlihat di kamera pengintai?"
Alif mengambil surat dan berbalik badan berjalan keluar kamar.
"Alif!"
Alif berdehem tanpa menghentikan langkah dan menoleh tanpa berbalik.
"Aku masih penasaran dengan surat itu. Biarkan di sini saja bersamaku." Brigita berjalan mendekat bermaksud mengambil surat-surat tersebut. Alif berhenti. Ia menunduk dan mengangkat surat yang dipegang.
"Tidak. Aku akan menyimpannya,” jawabnya pelan dan malas.
"Kau tidak terpikir mencari tahu? Ada beberapa kesamaan dari surat-surat itu. Itu bisa menjadi petunjuk."
"Kita bicara lagi besok. Aku pusing, pekerjaanku belum selesai." Alif mencium pipi Brigita.
"Mau kubuatkan kopi atau teh?"
"Tidak, Abla. Terima kasih." Alif menutup pintu.
Pemuda itu masuk ke kamar dan menguncinya. Surat itu ia letakkan di meja kerja. Selintas ia berpikir ada benarnya perkataan Brigita untuk mencari tahu mengenai pengirim rahasia itu.
Laki-laki itu menuang air minum ke dalam gelas. Duduk di kursinya menelan air yang membasahi tenggorokan. Sejenak menenangkan penat pikiran. Surat-surat itu disimpan kembali ke dalam laci. Alif meneruskan gambarnya.
***
Ayse menatap Khaled yang diam membisu sejak masuk ke kamar mereka. Lelaki itu menatap Ayse dan menggenggam tangan istrinya lembut. Lidahnya kelu sekadar bertanya apa gerangan yang terjadi pada suaminya itu.
"Aku bingung, Ayse. Beberapa kali kuperiksa rekamam cctv, tidak ada yang kutemukan di sana. Tidak ada orang luar yang masuk ke pekarangan rumah menaruh surat diam-diam. Kecuali Metin dan tukang pos lainnya."
Akhirnya Khaled bicara bersuara parau, menyiratkan kegundahan hatinya. Ia mengerti arti tatapan Ayse tanpa harus kekasihnya bertanya atau bicara, meski tidak selalu.
Usai salat Maghrib, Brigita menemui mereka menanyakan surat kosong dan si pengirim misterius. Memastikan apa yang sudah didengar dan menghindari rasa bersalahnya karena tidak punya jawaban atas pertanyaan keponakannya, Khaled masuk ke ruangan kamera pengintai untuk membuktikan.
"Apa itu alasanmu meninggalkanku dan Brigita tadi di sini?"
"Aku harus jawab apa padanya, Ayse?"
"Tapi, setidaknya kau berikan jawaban yang seharusnya dia dengar. Bicara jujur akan lebih baik, kan? Kita dan Alif memang tidak mengetahuinya sama sekali. Sikapmu tadi justru meninggalkan tanda tanya baginya. Dia mungkin berpikir kau menyembunyikan sesuatu ...."
Ayse mengambil napas dua detik. "Anak itu akan mencari tahu. Menggali informasi dari banyak tempat untuk menjawab rasa penasarannya," sambungnya.
Ayse menarik napas panjang. Khaled menggenggam tangan istrinya semakin erat.
"Apa kau tidak punya kenalan yang bisa membantu kita mencari tahu tentang orang misterius itu?" Tatap Ayse sendu, tetapi pertanyaan yang diajukan terdengar menuntut.
Khaled membalas tatapan Ayse dengan tatapan kebuntuan. "Aku tidak punya, tapi aku akan bertanya pada beberapa kolega, mungkin ada dari mereka yang bisa memberi rekomendasi."
Khaled menghela napas. Ia menangkap keresahan di wajah Ayse. Wanita itu diminta untuk tidak khawatir, sementara ia mengurus semuanya. Khaled mengusap pipi Ayse dan menariknya ke dalam pelukan. Kehangatan yang dirasakan masih terasa sama sejak menikah puluhan tahun silam. Ayse tidak ingin kehilangan dekapan hangat itu.
"Aku percaya padamu."
Ayse mengusap d**a Khaled. Matanya dipejam menikmati ketenangan yang didapat dari d**a itu. Hujan masih deras turun. Ayse membuka kelopak matanya dan bicara tanpa menatap suaminya.
"Tapi, sebagai seorang ibu, rasa khawatir itu tidak bisa hilang begitu saja. Ada yang tersambung melalui satu ikatan. Terikat oleh kasih sayang, yang tidak bisa lepas begitu saja –“
"Apa suamimu ini bukan seorang ayah?"