Obrolan Bersama Ibu dan Bapak

1511 Words
"Bos, kamu udah pulang, Al? Nak, Aldo udah pulang juga?" tanya Ibu dari balik punggungku. Yang seketika aku terlonjak kaget di buatnya. Ku balikan tubuhku menghadap Ibu, aku sedikit kesal pada wanita yang telah melahirkan ku itu. Entah kenapa beliau selalu datang tiba-tiba dan membuat aku kaget. "Ibu—! Bikin kaget Alia aja. Aku berasa jantungan ini. Kenapa Ibu itu sukanya ngagetin aku terus, sih?" tanyaku sembari mengerucutkan bibirku ini. Bukannya menjawab pertanyaan Ibu, aku malah balik bertanya. Ibu tertawa melihat aku yang ngomel-ngomel, beliau lantas membawa tangannya untuk mencolek dagu ku. "Duh, anak Ibu kok sampai segitunya, sih? Ibu kan, cuma nanya. Kamu kenapa sampai kaget begitu? Sedang melamun? Melamunkan apa, hayo?" tanya Ibu kembali. Pipiku bersemu merah, merasa malu dengan pertanyaan Ibu. Tadi memang benar sepeninggal Pak Willy aku sempat melamun. Namun, bukan melamunkan hal yang aneh-aneh itu murni perasaan bingung aku atas sikap Aldo tadi. Dia yang tiba-tiba datang dan pergi dengan keadaan marah. Benar-benar membuat aku tidak habis pikir. Aku bingung atas sikapnya itu, padahal kami tidak begitu saling kenal. Berbeda dengan Pak Willy, kami udah lama saling mengenal dan dia itu bos sekaligus teman almarhum suamiku. Tentunya kami sangat dekat. "Al, ada apa dengan kamu itu? Ibu perhatikan kamu tuh kerjaannya bengong melulu. Apa ada sesuatu yang mengganjal di pikiranmu? Coba cerita, siapa tahu Ibu bisa ngasih solusi." Ibu lantas membawa aku untuk di dudukan di kursi teras. Beliau sepertinya benar-bebar mengkhawatirkan aku. Aku terkikik geli melihat raut wajah Ibu yang penuh kekhawatiran. Beliau tampak serius mengajak aku untuk ngobrol. "Kamu kenapa sekarang malah ketawa-tawa? Tadi bengong saja kerjaannya, sekarang malah cengar-cengir nggak jelas. Aneh memang kamu itu," protes Ibu. "Nggak, Bu. Lucu aja melihat Ibu yang terlalu mengkhawatirkan aku berlebihan. Sebenarnya aku tuh nggak kenapa-napa, kenapa Ibu jadi beranggapan aku punya masalah?" "Ibu tuh khawatir melihat kamu yang bengong terus. Ibu pikir kamu ada masalah. Makanya Ibu ajak kamu untuk ngobrol di sini." "Tidak ada, Bu. Hanya saja tadi aku bingung melihat Aldo yang langsung pulang dan seperti menahan marah gitu." "Oh, itu. Ibu kira kamu ada masalah serius. Mungkin saja Nak Aldo kesal sama kamu, Al. Dia kan udah lama menunggu kamu, lho. Di tambah kamu pulang malah bareng dengan bos kamu itu." "Ya, mana aku tahu Bu kalau dia datang kerumah. Lagi pula dia itu mau ngapain nunggu aku segala? Kami kan tidak begitu saling kenal." "Ibu juga tidak tahu, Al. Maksud dan tujuan dia itu apa? Yang Ibu tahu dia itu menunggu kamu terus. Itu aja," jawab jujur ibuku. Aku manggut-manggut, mengerti dengan yang Ibu omongkan. Ternyata Ibu juga sama tidak tahunya dengan aku. Helaan napas kasar aku hembuskan. Sungguh aku tidak mengerti dengan sikap Aldo itu. "Ya, sudah kita masuk aja, Bu. Udah sore juga. Kita tidak usah mikirin dia lagi. Kalau dia mau ngambek juga terserah dia. Lagian aku tidak begitu mengenal dia juga," ucap ku sembari menarik tangan Ibu untuk masuk ke rumah. Ibuku itu nurut aja. Dia mengekori aku dari belakang. Di dalam rumah kulihat Bapak tengah duduk sembari menemani Adik ku belajar. Katanya dia ada pekerjaan rumah yang harus dia kerjakan buat di kumpulkan besok di sekolah. Bukannya bersih-bersih badan aku malah ikut duduk bersama Bapak dan juga Adikku. Kuhempaskan bokongku di sofa samping Alisha. Leher ku julurkan untuk menengok adikku itu, dia tak terusik dengan apa yang ku lakukan. Matanya tetap fokus pada PR nya itu. Ingin aku mengusili dia, tapi urung karena melihat mata Bapak yang telah melotot. Akhirnya aku hanya garuk-garuk kepala untuk melampiaskan keisengan ku yang tidak jadi. "Al, tadi Aldo kesini ada perlu apa? Kasihan dia harus lama menunggu. Pas kamu pulang malah datang sama Willy. Sebenarnya kalian udah janjian belum? Sepertinya dia tadi kecewa, Al." Bapak mengawali percakapan dengan mata masih terfokus mengawasi adikku. Aku menoleh pada Bapak. Kenapa pertanyaannya sama seperti yang Ibu tanyakan? Pikiranku jadi travelling kompak sekali mereka. "Kenapa pertanyaannya Bapak sama seperti pertanyaannya Ibu? Padahal aku juga tidak tahu lho, kalau pria itu mau ke rumah. Dan kami juga tidak janjian. Untuk apa juga pake janjian? Aku sama Aldo tidak begitu saling kenal juga, Pak. Mengenai aku pulang bareng Pak Willy, itu karena dia mau izin sama Bapak kalau dia mau ngajak aku bareng satu mobil dengan dia." "Bener kamu tidak menjanjikan dia untuk datang kerumah? Jangan bohong, Al." Bapak masih mencehcar ku dengan pertanyaannya. Sepertinya Bapak tidak percaya akan ucapanku yang mengatakan tidak janjian sama Aldo. Terlihat dari air mukanya yang tampak mengernyit keheranan dan juga raut tak percaya. "Iya, Pak. Aku tidak bohong kok. Aku benar-benar tidak mengetahuinya. Sudah ah, gak usah bahas tentang dia lagi. Dari tadi seperti tak ada ujungnya. Yang di omongin dia terus," protesku karena kesal harus membahas terus pria itu. "Kamu tuh, Al. Bukannya begitu, tapi Bapak merasa tidak enak hati aja. Aldo itu datang jauh-jauh ke rumah kita, di tambah harus menunggu pula. Kan, jadi kasihan dianya, Al. Nanti-nanti kalau ada tamu, dahulukan tanya orang yang lebih dulu menunggu kita. Jangan seperti tadi, bahkan kamu itu tidak mengapa dia sama sekali." "Iya, Pak. Aku akan mengingat nasihat, Bapak. Bapak tenang aja, ya. Lagi pula tadi aku pikir dia ada perlu sama Bapak. Makanya aku diamkan dia. "Hmm, ya sudah terima kasih kalau kamu mau mengerti. Al, kamu bener mau pergi ke Bandung? Tidak, dia tidak ada perlu sama Bapak. " "Iya, Pak. Boleh 'kan?" tanya ku ragu. Aku takut Bapak tidak mengizinkannya. Bapak tampak berpikir. Cinta pertamanya aku itu masih diam sembari menatap aku lekat. Aku menjadi salah tingkah di buatnya, malu rasanya di lihatin Bapak dengan insten. "Pak, boleh, ya?" ulangku. Bapak menghembuskan napas kasar. Sepertinya beliau berat untuk memberi izin aku. Melihat gelagat Bapak yang seperti itu, membuat aku pasrah saja. Jika memang beliau tidak mengizinkannya, aku tidak akan memaksakan. Aku akan pasrah saja terserah dengan apa keputusan Bapak. Namun, tiba-tiba kembali Bapak angkat bicara. "Al, jika kamu memang ingin berangkat ke sana hati-hati. Kamu jangan terlalu dekat dengan bos kamu, ingat bukan muhrim apalagi dengan keadaan kamu yang seperti sekarang. Jaga marwah kamu sebagai seorang perempuan." Aku tersenyum sumringah setelah mengantongi izin dari Bapak. Laki-laki cinta pertamanya aku itu membolehkan aku untuk ikut ke Bandung. Aku bangkit dari posisi dudukku dan langsung menghampiri Bapak. "Makasih, Pak. Aku akan selalu ingat pesan Bapak. Dan aku akan selalu menjaga nama baik aku dan keluarga. Aku senang akhirnya Bapak mengizinkan aku berangkat," ucapku seraya bibir terus mengembangkan senyum senang. Aku mengecup pipi Bapak lama. Adikku yang tengah mengerjakan PR bibirnya mencebik. Menatap aneh kepad diriku. Ya, dia yang notabene anak bontot tapi tidak pernah menunjukan jika dia itu manja, berbeda dengan aku yang memang terbilang manja. Walaupun aku itu udah dewasa tetap saja aku selalu ingin di manja Bapak sama Ibu. "Iya, Al. Bapak ikut senang melihat kamu bahagia. Mudah-mudahan kebahagian itu selalu ada buat kamu dan juga adikmu, Alisha. Dan kalian kelak mendapatkan jodoh yang baik dan juga bertanggung jawab," doa Bapak terdengar begitu tulus. "Bapak, aku tidak mau dapet jodoh dulu. Aku kan masih kecil, kalau Kak Alia nggak pa-pa di doakan begitu. Namun, tidak untuk aku," protes Alisha dengan wajah di tekuk sedemikian rupa. Aku ingin tertawa mendenga protesan dari adikku itu. Ya, aku maklumi dia protes sebab memang dia masih kecil belum saatnya membahas soal jodoh. Bapak juga tampak terkekeh geli melihat putri bungsunya ngambek. "Ya, Bapak sih cuma mau mendoakan kamu saja, Lisha. Nggak apa-apa di doakan dari sekarang juga, siapa tahu nantinya dapat beneran jodoh yang baik. Walaupun sekarang masih kecil juga," ucap Bapak tak mau kalah. "Hais—Bapak! Udah ah, nggak usah bahas soal jodoh sama aku. Sekarang aku mau bereskan PR nya aku saja. Tolong jangan ada yang ganggu!" pintanya dengan wajah serius. Aku yang melihatnya menjadi gemas sendiri, ku usap wajah polosnya dengan kedua tanganku. Dia ingin memprotes tapi buru-buru ku kecup pipinya. Alhasil dia tidak jadi marah dan hanya menatap ku saja. "Dek, belajar yang rajin, ya. Biar kamu menjadi orang nanti. Jangan seperti Kakak yang hanya menjadi pegawai biasa. Kamu harus menjadi orang," ucapku tulus. Alisha mengerutkan dahi, dia terlihat kebingungan dengan apa yang aku katakan. "Lah, Adek memang udah menjadi orang, Kak. Terus kalau nanti akan menjadi orang sekarang Adek jadi apa, dong? Apa jadi monyet atau ikan?" tanyanya begitu polos. Adik manis ku ini ternyata masih belum paham akan kalimat yang aku lontarkan. Dia tidak paham menjadi orang itu apa. Yang dia tahu jika sekarang dirinya itu, sudah jadi orang atau manusia bukan hewan ataupun tumbuhan. Memang pemikirannya masih anak-anak banget. "Maksud Kakak itu jadi orang sukses, Dek. Bukan namanya orang atau manusia. Memang sekarang kita itu orang tapi belum menjadi orang yang sukses," jelasku panjang kali lebar. "Oh, Adek kira orang manusia. Kalau itu Kakak doakan saja, biar Adek kelak menjadi pengusaha sukses dan menjadi orang sukses seperti yang Kakak bilang. "Aamiin. Kakak selalu mendoakanmu, adikku." Alisha tersenyum mendengar aku mendoakan dia, baginya mungkin masih terasa aneh sebab dia belum cukup umur untuk memahami semuanya. Memang perbedaan usia diantara kami cukup jauh, jadi aku bersama adikku itu kadang pemikirannya tidak nyambung mengingat dia yang masih bocah. Namun, aku sebagai kakak harus memahami dia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD