Dua Pria

1519 Words
Pagi menyapa setiap insan di muka bumi ini, aku yang tengah mematut diri di depan cermin menangkap sekelebat bayangan ibuku. Dia seperti tengah memperhatikanku dari luar kamar yang memang pintunya sengaja tidak aku tutup. Aku yang tengah menunggu Pak Willy menjemput, sengaja menunggunya di dalam kamar. Tok, tok, tok. Pintu kamarku di ketuk dari luar. Meski pintunya sudah terbuka, tapi sudah menjadi kebiasaan di keluargaku untuk izin dulu jika ingin masuk ke dalam salah satu kamarnya. "Ya, Bu, masuk saja. Lagi pula pintunya tidak ditutup ini," ujarku setengah berteriak menyuruh Ibu masuk. Kepala Ibu menyembul dari balik pintu, dia tersenyum menatap ke arah ku yang sedang duduk di depan meja rias. Aku membalas senyuman bidadari yang telah melahirkanku itu. Tampak jelas aku bisa melihat ibuku itu melalui pantulan cermin meja rias. Aku berbalik menghadap ke arah ibu agar bisa bertatapan langsung dengannya. "Ada apa, Bu?" tanyaku penasaran melihat raut wajahnya yang tampak seperti kebingungan. "Mmh, anu.. itu... " Ibu tampak seperti bingung untuk menjelaskan apa yang ingin dia katakan. Aku pun menjadi heran di buatnya. "Ada apa, Bu? Kenapa Ibu kebingungan seperti itu? Katakan apa yang terjadi? Jangan membuat aku jadi takut dan menerka-nerka seperti ini. Pelan-pelan saja Ibu katakannya," kucoba untuk membujuk Ibu agar mau berbicara dengan jelas. Karena terus terang aku mulai khawatir dengan ekspresi yang dia tunjukan. "Ngggg–! Al, itu di luar Nak Aldo sama Nak Willy sudah menunggu. Kamu janjian sama keduanya, ya?" tanya Ibu terlihat ragu. Sontak mataku melebar mendengar ucapan Ibu barusan. Aku tidak menyangka Aldo si pria arogan itu akan datang kembali sepagi ini. Kalau dengan Pak Willy, aku memang sudah janjian. "A-Aldo!" ucapku terbata. "Iya, Nak Aldo dia juga ada di depan. Kamu itu gimana sih, Al. Janjian kok, sama dua orang gitu. Dua-duanya datang. Kamu akan ikut sama siapa?" tanya Ibu, dari nada bicaranya aku dapat menangkap jika beliau sangat khawatir. "Maaf, Bu. Aku kemarin janjian hanya sama Pak Willy saja, lagi pula ini acara dari tempat kami kerja. Kalau sama Aldo, aku tidak pernah janjian dan aku tidak tahu dia datang lagi ke sini. Karena dia juga tidak pernah ngasih kabar apapun ke aku," jawab jujurku. Ya memang aku tidak tahu menahu tentang kedatangan Aldo ke rumah pagi ini. "Oh, Ibu kira kamu janjian sama kedua-duanya. Ya, sudah kamu temui saja mereka berdua. Kamu harus berkata dengan baik-baik, tanyakan juga maksud kedatangan Aldo ke sini. Siapa tahu ada maksud penting, Al." Meski enggan aku nurut saja sama Ibu. Kuanggukkan kepala menyetujui usulan beliau untuk bertanya langsung pada Aldo. "Iya, Bu. Aku akan bicara sama Aldo dulu, karena aku juga penasaran ingin tahu apa tujuan dia datang ke sini. Ayo, kita keluar sekarang biar tuntas semuanya." Ibu mengangguk, beliau tak menjawab aku lagi. Kami berjalan beriringan menuruni anak tangga, menuju ke ruang tamu dimana kata Ibu ada dua tamu yang sedang menungguku. Dan benar saja, sampai di ruang tamu aku berdiri mematung melihat kedua orang itu yang tengah duduk dan saling diam. Aku bingung melihat keduanya yang seperti tidak bersahabat terutama Pak Willy, dia terlihat sinis melihat ke arah Aldo. Namun Aldo sendiri tampaknya santai-santai saja, dia malah asik memainkan ponselnya. "Ehem," sengaja aku berdehem kerasa agar dua orang yang tengah duduk itu paham jika aku sudah berada di sana. Berhasil. Keduanya langsung menatap ke arahku. Pak Willy tampak tersenyum sumringah menyambut kedatanganku, berbeda dengan Aldo yang hanya menatap sekilas. Bahkan dia kembali menunduk mamainkan ponselnya lagi. Mungkin bagi dia benda pipih tersebut jauh lebih menarik ketimang aku dan Pak Willy. "Pak Willy, Anda sudah di sini? Bu Raninya, mana? Kok, dia tidak ikut ke sini?" tanyaku sengaja agar Aldo dengar. Aku tidak mau Aldo beranggapan aku w************n, karena mau ikut satu mobil bersama Pak Willy dan berduaan lagi. Namun tampaknya Aldo tak terusik dengan ucapanku. Matanya masih fokus menatap layar ponselnya. "Iya, Al. Sengaja saya jemput kamu pagi-pagi sekali agar tidak terlalu panas di jalannya. Oh, iya saya lupa. Rani tidak jadi ikut bersama kita, dia ikut temannya berangkat duluan. Katanya nunggu di tempat lokasi saja. Kamu sudah siap, Al? Kita berangkat sekarang saja," ajak Pak Willy semangat sekali. Bahkan dia menyunggingkan senyum kemenangan karena bisa mengajak aku pergi berdua. "Yah, Bu Rani kok, gitu sih, Pak. Katanya mau barengan, kok dia malah berangkat duluan." Aku cemberut ada nada kecewa juga dalam ucapanku kali ini. "Saya juga tidak tahu, Al. Mungkin dia ingin berangkat duluan karena ada keperluan yang lain. Kita positive thinking aja," ucap Pak Willy tanpa beban. "Hmm, tapi kan kita perginya jadi berdua gini, Pak. Aku kok, rasanya gimana gitu," ucapku sembari memilin jari sendiri. Aku merasa tak enak juga harus berduaan dalam satu mobil dengan pak bos. "Ya, tidak apa-apa juga, Al. Kan bukan salah kita, tadinya kita berangkat mau barengan bertiga ternyata Raninya ada acara sendiri. Kenapa kamu keberatan?" tanya Pak Willy dengan raut kecewa. "Bu-bukannya begitu, Pak. Aku hanya tidak enak hati saja sama yang lainnya. Aku takut mereka beranggapan yang tidak-tidak tentang kita. Padahal kita kan hanya barengan saja," cicitku takut-takut. "Sudahlah tidak usah mikirin apa kata mereka. Biarpun kita ada apa-apa menurut saya tidaklah buruk. Toh, kita sama-sama single. Betul tidak?" Pak Willy dengan percaya dirinya mengajukan tanya yang seketika membuat aku gelapan untuk menjawabnya. Kutundukan kepala agar pipi yang bersemu merah tidak terlihat. Dari ekor mataku dapat kulihat Aldo menatapku sekilas. Dari air mukanya pria itu seperti tengah menahan kesal. Namun aku tidak mau GR duluan, aku takut salah mengartikannya. Uhuk, uhuk. Aldo terdengar batuk-batuk. Dia sepertinya tersedak air liurnya sendiri karena dari tadi pria itu tidak minum apapun. Aku sampai kaget di buatnya, reflek kusodorkan gelas yang ada di hadapannya untuk dia minum. "Minum, Mas. Maaf, kenapa Masnya sampai batuk seperti itu?" tanyaku setengah panik melihat dia yang terus batuk sampai matanya mengeluarkan air. Awalnya Aldo hanya diam sembari menatap gelas yang aku sodorkan. Namun melihat aku menganggukan kepala dan juga terus menyodorkan gelas tersebut, dia pun mau menerima dan meminumnya. Aku tersenyum kecil melihat pria itu yang menghabiskan minumnya hingga tandas. Rupanya dia sangat kehausan melihat dari caranya minum. "Ahhh, terima kasih kamu sudah ngasih saya minum. Tadi saya tiba-tiba tersedak begitu saja. Maaf jadi merepotkan," ucapnya mengagetkanku. Pria yang selama ini selalu bersikap arogan dan bicara seperlunya saja, bisa juga mengucapkan terima kasih. "Tidak masalah, Mas. Lagi pula itu bukan pekerjaan yang berat. Saya hanya mengambilkan dari meja ini saja. Oh, iya. Ngomong-ngomong Masnya ada perlu ke saya atau ke siapa? Maaf banget saya lancang bertanya," ujarku memberanikan diri. Aldo tampak terdiam, pria itu melirik sekilas Pak Willy. Tampak dia risih ingin menjawab pertanyaan dariku karena adanya atasanku itu bersama kami. Namun tak urung juga dia mau bersuara kembali. "Mmh, sebenarnya saya ada perlu dengan kamu, tapi sepertinya kamu akan pergi. Lain kali saja saya datang lagi ke sini, untuk menyampaikan pesannya. Kalau kamu mau pergi silakan saja," ucapnya datar. Aku bingung harus berbuat apa, karena memang Aldo sebelumnya tidak memberitahukan dulu mau datang. Sedangkan aku udah mau berangkat bersama Pak Willy. Untuk mengambil jalan tengah aku beranikan ngasih usulan semoga saja keduanya mau menerima. "Maaf banget, Mas. Kalau Masnya mau bicara sama saya, kita bisa bicara dulu. Biar saya izin sama bos saya dulu. Dan kebetulan dia juga ada di sini," ungkap ku pada akhirnya seraya melirik ke arah Pak Willy. Aldo tersenyum kecil. Sedangkan Pak Willy dia memberikan senyuman kecut pada diriku. Aku pura-pura saja tidak melihat pada bosku itu. "Tidak usah. Biar nanti saja, lagi pula saya juga mau pulang ada keperluan yang lain lagi. Maaf saya datang tidak tepat waktu dan tidak mengabari kamu terlebih dulu." Setelah berkata demikian Aldo bangkit dari duduknya, dia melangkahkan kaki ingin keluar rumah. Namun aku cepat menahannya agar dia tidak keburu pergi. "Mas, tunggu!" aku gegas menyusul Aldo. Ada rasa bersalah pada dia dalam hatiku. Melihat pria itu yang pergi berlalu begitu saja membuat hatiku tersentil, sebagai perempuan aku merasa tidak enak hati. Dan rasanya aku juga penasaran dengan maksud dan tujuan dia datang menemui aku. Langkah kaki Aldo terhenti, dia kembali membalikan tubuhnya. Pria itu mengernyitkan dahi menatap heran tepat di manik mataku. "Ada apa? Kenapa kamu menghentikan langkah saya? Atau ada sesuatu yang ingin kamu tanyakan?" cecarnya dengan raut bingung. "Umm, Mas maaf. Apa tidak sebaiknya Mas katakan saja apa tujuan Mas menemui saya," ucapku ragu-ragu. Aku tak sanggup menatap sorot mata elangnya yang seakan menembus hingga ke jantung. Kutundukan kepalaku agar kami tidak saling bertemu tatap. Kulihat Aldo menghembuskan napas gusar. Sepertinya pria itu menahan kesal kepadaku yang sudah menghentikan langkah kakinya. "Sorry, Alia. Saya tidak bisa mengatakannya sekarang, bukannya kamu juga mau pergi. Lain kali saya akan datang ke sini menemui kamu lagi!" ucapnya terdengar tegas. Setelah berkata demikian kembali dia berbalik badan dan pergi berlalu tanpa pamit lagi. Aku hanya bisa pasrah dengan keputusannya, meski dalam otakku bercokol berbagai pertanyaan. Namun aku tak bisa memaksa pria tersebut untuk membuka mulutnya. Terdengar suara mobil Aldo menyala, rupanya pria itu benar-benar pergi meninggalkan rumahku tanpa mengutarakan dulu maksudnya. Kuhembuskan napas kasar untuk mengurangi rasa kecewa di hati. "Kamu kecewa, Al?" tanya Pak Willy sembari menepuk pundakku pelan. Kutolehkan kepala, tak aku jawab pertanyaan bosku itu. Aku hanya membalasnya dengan tersenyum kecut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD