Menjalani Hukuman

3160 Words
Langkah Anya agak terburu - buru, bukan karena takut terlambat masuk kelas, tapi ingin segera menjauh dari kantin, tempat yang dia hindari mulai saat ini. Sementara itu Dhevi sampai ketinggalan karena melangkah terlalu santai. "Ayo dong Dek." "Buru - buru amat." "Ntar dipanggil lagi baru kapok lo, mana pake sok minta diantar lagi," omel Anya. Ya, Anya baru berani ngomel sekarang. Dia lebih berani ngomel ke Dhevi daripada ke Rangga cs. Dhevi terkekeh,"Anya takut?" "Pake nanya lagi," lirik Anya. Kalau sudah naik ke lantai dua, Anya baru merasa aman karena kelas dua belas sudah terlewati. "Dek ... Kak Rangga itu kenapa, deh? Dia naksir lo, ya?" tanya Anya yang merasa sangat lega telah berhasil menjauh dari kantin, Tadi Dhevi benar - benar uji nyali dan dia jadi saksi! Dhevi sampai menoleh ke arah Anya dengan alis yang bertaut, dia menatap tidak suka dengan pertanyaan Anya barusan. "Maaf ... maaf ... soalnya aneh, ngapain dia nyariin lo sampai lo didudukin di kantin? Dia kan terkenal galak, hobi-nya saja berantem, masa sama lo baik?" "Baik? Adek tuh kayak ikan yang disodorkan ke kucing tadi, nggak ngerasa apa? Itu teman-temannya pada ngebully, Nya." "Iya sih, tapi dia nggak ngebully lo... cuma teman-temannya aja." "Ckkk ... pintar dikit dong, Nya. Dia lebih sadis daripada teman-temannya, Adek sampai dibawa ke teman-temannya buat jadi santapan!" Anya diam, mereka masih menaiki tangga ke lantai tiga menuju kelas mereka. "Iya juga ya, Dek. Kalau gue jadi lo tadi, udah histeris kali. Tadi aja gue udah pengen nangis rasanya, tapi gue tahan ... ntar lo malu lagi." "Bagus kalo nyadar, Adek nggak suka punya temen yang cengeng - cengeng gitu." "Kalo mereka pake kekerasan gimana Dek?" "Maksudnya?" "Ya kan kak Rangga itu terkenal dengan geng tukang berantemnya, bisa aja tuh cewek - cewek tadi ikut - ikutan bikin kekerasan sama kita. Tadi aja lo mau dijadiin kacung sama kak Chia itu." "Nggak akan ada kekerasan, kalo mereka melakukan itu, Adek pastikan mereka nyesel udah kenal Adek," jawab Dhevi santai, tidak ada emosi karena Anya juga hanya berandai -andai. Jaminan dari Dhevi memang membuat Anya lega, dia benar benar panik, kepalanya penuh dengan spekulasi dari tadi ... dia khawatir mereka di bully oleh geng cewek itu. Anya sudah sering dengar soal perundungan yang dilakukan senior - senior cewek, selain main fisik, mereka sangat sadis kalau sudah membully secara verbal, bisa bikin mental anjlok. "Tapi epic banget waktu lo nanya Kak Chia tadi, terkenal nggak? Sumpah gue pengen ketawa, ini temen gue iseng apa emang nggak ngerti. Kalo iseng mah keterlaluan ya, nyawa gue udah di tenggorokan rasanya, kok ya masih sempat - sempatnya iseng. Tapi kalo nggak ngerti kok kayaknya aneh banget, se Indonesia raya udah nonton sinetronnya kali, masa lo nggak tahu sih, Dek?" .Anya tidak habis pikir, kok bisa - bisanya Dhevi bertanya seperti itu, kalau tidak dalam rangka sedang digojlok sama senior, Anya ingin rasanya mewakili Dhevi minta foto dengan kak Chiana, artis lho dia, tapi kok seperti dilepeh oleh Dhevi. Anya merasa perlu mengenal Dhevi lebih jauh, kepribadian apa yang dia miliki, minimal tahu khodamnya lah buat mengerti bagaimana cara menghadapi Dhevi. "Kok Epic sih? Adek beneran nanya dia terkenal apa nggak. Kalo memang terkenal ya udah, bagus ... kalo nggak terkenal nanti Adek bantu biar jadi terkenal. Tapi dia bukannya jawab malah marah, aneh." "Lo yang aneh, Dek. Dia beneran artis sinetron lho, Dek," uiucap Anya berusaha meyakinkan Dhevi. "Adek nggak pernah nonton sinetron, mana Adek tahu," jawab Dhevi acuh tak acuh. "Ckk ... searching dong di Google. IG-nya juga banyak follower, loh, berapa K gitu." "Bagus deh, berarti dia nggak bohong sama kita." Anya sampai bengong mendengar komentar datar Dhevi. Cuma segitu aja? Fix khodamnya bebek nih. "Kita? Gue mah paham dia nggak bohong Dek." "Yaudah ... Adek doang kalo gitu, repot banget sih, Anya." "Coba bikin akun IG deh, Dek, biar tahu pergosipan dunia selebriti." "Terus abis itu apa?" "Ya nggak bakal nanya kayak tadi lagi kalo ketemu orang terkenal." "Anya, Adek itu sering banget ketemu orang terkenal, sebut aja siapa, penyanyi, pemain sinetron, pemain film, model? Tapi Adek nggak pernah nanya kayak tadi karena orangnya nggak pernah ngomong kayak kak Lika sama kak Chia gitu, pada santai aja. Baru ini Adek dengar ada yang mengaku - aku artis, makanya adek nanya, dia terkenal apa nggak? Soalnya Adek juga nggak kenal dia siapa." Anya saja tidak tahu sepak terjang Dhevi. Dia hanya tahu Dhevi agak ansos, pemilih dalam berteman, dan garing kalau diajak ngobrol. Anya antara percaya dan tidak kalau Dhevi bilang dia sering ketemu orang terkenal. Ketemu selisih jalan atau gimana? Bolehkan kalau Anya ragu? Atau pasien papanya Dhevi? Mereka sudah tiba di kelas dan langsung masuk. Pintu kelas masih terbuka, belum ada guru yang datang, jangan - jangan jam kosong. "Aman, Dek?" tanya Buana yang penasaran melihat temannya dibawa Kak Rangga ke kantin tadi, kini sudah pulang lagi dengan selamat dan sehat - sehat saja. "Emang kenapa? Aman kok." "Diapain, Dek?" "Ya di-bully dong." "Apa? Mana ada orang dibully sesantai ini," ucap Buana tidak percaya," Jangan - jangan beneran ditraktir ya?" Vino dan Buana melihat ke arah Anya, mereka butuh penjelasan. Dhevi yang sudah duduk di bangkunya, bersandar ke tembok. Dia menoleh ke belakang, ke arah tempat duduk Buana dan Vino. "Emangnya kalau di bully harusnya gimana, ya? Bisa tolong jelasin ke Adek, nggak?" tanya Dhevi serius. Dia benar - benar tidak tahu bagaimana korban bullying harus bersikap. "Ya gimana kek ... sedih atau putus asa gitu, bahkan ada yang bundir lho, Dek." "Alasannya bundir?" "Ya karena nggak kuat di bully sama senior." "Gitu aja?" "Ya pokoknya depresi gitu, Dek." "Kayaknya yang ngebully malah putus asa sama Adek," sahut Anya yang tadi jadi saksi mata bagaimana Dhevi menghadapi senior dengan santainya. "Serius, Nya?” "Serius banget, malah. Teman - temannya Kak Rangga sampai kesel banget sama Adek, abisnya dijawab melulu ... gue yang mau mampus rasanya karena deg-degan, gue takut diamuk! Kebayang nggak kalo tadi gue sama Adek kena tampol? Pasti puedeeess." Dhevi tertawa mendengar ocehan Anya yang menurutnya berlebihan. "Gila juga lo, Dek," ucap Vino. "Kok gila, sih? Mereka yang gila. Lagian orang lagi enak - enak main malah dipaksa disuruh ikut ke kantin, kirain mau ditraktir beneran, eh malah dijadiin objek mereka." "Gue juga kesel disuruh stop main tadi, kalo nggak inget berhadapan sama jagoan, gue cuekin aja tuh tadi," gerutu Vino kesal karena disuruh berhenti main oleh Rangga. "Lagian pada nurut." "Ya kali nggak nurut, Dek ... bisa nggak aman pulang sekolah nanti. Tahu sendiri anggota geng kak Rangga banyak gitu," jawab Vino. "Ternyata kak Chia juga anggotanya kak Rangga, lho, kirain cowok semua." "Paling ikut - ikutan doang kan, Nya?" "Eh masa Adek nggak tahu kak Chia, guys," ucap Anya ke Buana dan Vino. "Serius lo nggak kenal kak Chiana, Dek? Artis sinetron tuh. Nyokap gue aja sering tuh nonton sinetronnya," sahut Buana. "Adek udah tahu, tadi Anya sudah bilang. Tadi kakak artis itu bilang, katanya kalau Adek mau minta tanda tangan atau foto, boleh sekarang, mumpung lagi di kantin. Kalau di tempat umum, nggak mau ngeladenin. Gitu banget ya, Adek aja nggak tahu dia, masa mau minta foto?" Dhevi jadi geli dan terkekeh kecil mengingat peristiwa tadi. "Ya kali Adek mau minta tanda tangan dia, Adek aja nggak kenal dia. Jangan - jangan dia yang nanti minta tanda tangan sama foto bareng Adek. Sembarangan!" omel Dhevi. "Untung gue udah pernah foto bareng lo, Dek." "Simpan tuh, Vin ... sepuluh tahun lagi kalau mau foto sama Adek, harus bikin janji dulu sama asisten Adek." "Aamiin..." teriak Buana, Anya, dan Vino serentak, membuat Dhevi terkekeh. Dhevi memang seyakin itu, padahal dia belum tahu besar nanti jadi apa. Cita - cita saja belum punya, tapi sudah yakin akan terkenal. *** Bel tanda pulang sekolah berbunyi, semua murid langsung beberes buku. Ada yang mau langsung pulang, ada yang mau lanjut ekskul dan ada juga yang melaksanakan hukumannya, namanya Dhevi. "Mau ditemani nggak, Dek?" tanya bestie-nya. "Mana boleh ditemenin. Kalian langsung pulang aja, aman kok." "Tapi tetap dijemput kan?" tanya Anya. "Iya, tapi nggak sekarang, Adek udah bilang kalau ada tugas di sekolah. Nanti sopir Adek mungkin baru datang jam setengah empat." "Emang berapa lama sih dek?" "Dua jam." "Seett ... lama beut," sahut Vino. "Tenang aja, Adek survive kok kalau cuma dua jam di perpus, asal jangan di GBK aja," jawabnya sambil tertawa. Mereka pun keluar dari kelas, seharusnya ketiga sahabatnya itu belok ke kiri menuju tangga turun dan Devi belok kanan menuju perpustakaan yang memang berada di lantai tiga juga. Tapi teman - temannya malah belok ke kanan mengikuti Devi. "Pada mau ngapain?" "Mau nganterin," jawab Anya.. "Adek ini mau ke perpustakaan bukan mau naik haji, udah sana pulang," usir Dhevi. Ketika bestie-nya itu akhirnya berbalik badan menuju ke arah yang seharusnya, kini justru Dhevi yang menunggu mereka pergi. Setelah itu baru dia berjalan menuju perpustakaan yang letaknya di ujung koridor. Dhevi membuka pintu perpustakaan pelan-pelan, lalu dia melongokkan kepalanya mencari seseorang yang ada di dalam sana. Ada bu Wening, seorang ibu - ibu yang Dhevi tebak berumur sekitar lima puluh lebih, jauh lebih tua dari mamanya, mungkin tidak berapa lama lagi akan pensiun, ada juga seorang pria yang jauh lebih muda, tapi Dhevi belum tahu siapa namanya. "Siapa?" tanya bu Wening sambil menurunkan sedikit kacamata bacanya. "Adek, Bu." "Ya, ada apa Adek?" tanya Bu Wening yang sebenarnya tidak pernah mengenal Dhevi, karena Dhevi baru kali ini menginjakkan kakinya di perpustakaan. Dhevi masuk ke dalam ruang perpustakaan lalu menutup pintunya, dia suka hawa dingin dari ruang perpustakaan ini, sepertinya nanti dia benar - benar lebih memilih dihukum disini dari pada olahraga sama pak Sarjan. "Adek dapat tugas dari bu Dewi disuruh membantu Bu Wening beres - beres buku selama lima hari ini," jawab Dhevi. Dari jawabannya Bu Wening tahu bahwa ini adalah murid yang mendapat hukuman, dia sudah sering menerima murid lulusan ruang BK, walaupun Bu Dewi tidak pernah menginformasikan nama-namanya. "Oh kamu dari ruang BK ya?" "Iya Bu." "Kenapa, terlambat?" "Salah satunya." "Oh ada lagi, apa?" "Nggak pernah ikut olahraga sama Pak Sarjan, bu." Bu Wening terkekeh,"Baru ini Ibu dengar ada yang dihukum gara - gara nggak mau ikutan olahraga." Dhevi ikut tersenyum. "Ya udah sekarang kamu bantu ibu mengembalikan buku - buku itu ke tempatnya," ucap Bu Wening sambil menunjuk tumpukan buku yang ada di atas meja. Dhevi meletakkan tasnya, sebelum memulai dia mengambil ponselnya lalu mengetikkan sesuatu dan mengirimkannya kepada mbak Ninis. "Iman, tolong Adek di kasih tahu cara mengembalikan buku ke tempatnya," perintah bu Wening. "Ya bu." Pria yang bernama Iman itu berdiri dari tempat duduknya, dia tadi sedang mengerjakan sesuatu di depan laptop sambil melihat buku-buku yang ada di sampingnya, mungkin sedang menginput data buku baru. "Adek ini namanya siapa sih?" tanya Bu Wening. "Dhevi, Bu." "Tapi panggilannya Adek gitu?" "Iya." Dhevi di briefing oleh pak Iman, di depan mereka ada sekitar lima puluh buku yang belum disusun di tempatnya. Pak Iman mengajarkan Dhevi mengembalikan buku ke tempatnya sesuai dengan kategorinya, sampai di rak yang dimaksud, buku itu harus disesuaikan lagi dengan abjad. "Jadi ini dua kali sensor ya, pertama lihat dulu kategorinya lalu sampai di raknya Kamu lihat lagi abjadnya, supaya mudah dicari." "Iya Pak," jawab Devi. "Kalau nggak ngerti nanya ya, Dek, supaya jangan salah taruh. Soalnya ini ada sekitar lima puluh buku, kalau kamu sudah salah taruh di depan, berarti ada lima puluh kekacauan juga yang harus dibereskan." "Iya pak." "Coba kamu susun dulu satu," ucap pak Iman setelah mencontohkan meletakkan satu buku yang terdekat dari tempat mereka berdiri. Hanya satu kali diberi contoh Dhevi sudah bisa melakukannya dengan baik, terlalu mudah untuknya. Ruang perpustakaan hening, makanya bu wening tugas disini, soalnya namanya mirip sama suasananya, begitu pikir Dhevi. Dhevi mengambil kesimpulan bahwa orang yang bekerja di perpustakaan ini adalah introvert. Sudah sepuluh menit dia mengerjakan tugasnya belum pernah dia mendengar obrolan dari bu Wening ataupun Pak Iman. "Bu Wening udah lama kerja di sini?" tanya Dhevi nekat membuka pembicaraan, dia sudah tidak tahan. Bu Wening yang sedang membaca buku, kini mengangkat wajahnya dan menurunkan kacamatanya lagi memandang ke arah Dhevi. "Sudah tiga puluh tahun, ibu tahun depan sudah pensiun, kenapa? Adek sekarang umur berapa?" "Mau lima belas tahun." "Belum lima belas tahun? Kok sudah kelas sepuluh?" "Waktu kecil pernah lompat kelas." "Karena pintar?" "Kata mama adek, kelewat pintar malah," jawab Dhevi sambil terkekeh. Dari ucapannya Bu Wening mengambil kesimpulan kalau Dhevi sedang bercanda. "Kalau memang kelewat pintar kenapa pelajaran olahraga aja nggak mau?" "Adek nggak suka keringetan Bu." "Kan keringetan karena olahraga bagus." "Iya adek udah tahu, tapi Adek nggak suka." "Gimana dapat nilai olahraganya Dek?" tanya Pak Iman yang rupanya tidak tahan juga untuk tidak ikut berkomentar, setidaknya ruang perpustakaan ini tidak terasa seperti gua sekarang. "Kan bisa ikut ujian tertulis Pak." "Tapi kan olahraga itu harus ada ujian prakteknya juga." "Nanti Adek tanya sama Pak Sarjan deh, Adek mau ikut praktek Catur aja kalo gitu ... Kan itu juga olahraga." Bu Wening dan Pak Iman tidak tahan untuk tidak tertawa mendengar jawaban Dhevi. 'Tok .. 'Tok Terdengar ketukan pintu dari luar. Semua menoleh kearah pintu yang masih tertutup itu. "Ya masuk," jawab bu Wening sebagai respon atas ketukan tersebut. Pintu terbuka. Ternyata Pak Maman, salah satu security yang menjaga gerbang depan, dia datang membawa kantong berisi enam kotak, sepertinya kotak makanan. Ada apa Pak Maman?" "Ini Bu, ada titipan diantar dari ojek online, pesanan untuk Mbak Dhevi, katanya di ruang perpustakaan. "Oh iya pak, itu buat Adek," sahut Dhevi. Dhevi beranjak menerima kantong makanan tersebut. Dia mengeluarkan tiga kotak dan diletakkan diatas meja, sisa tiga kotak lagi di kantongnya dia berikan ke pak Maman," Ini buat di pos satpam pak. " "Lho buat satpam, mbak?" "Iya." "Wah terimakasih ya mbak," ucap pak Maman lalu tersenyum. "Terima kasih juga sudah nganterin, Pak." Pak Maman pun keluar lagi. Sebelum pak Maman terlalu jauh, Dhevi keluar memanggilnya lagi. "Pak." "Ya?" Pak Maman menghentikan langkahnya. "Nanti kalau Adek dijemput mobil putih, bilangin Adek lagi ada kegiatan di perpustakaan, ya, yang jemput suruh nunggu di luar aja ya Pak." "O iya." "Makasih, Pak." Dhevi kembali lagi ke perpustakaan. "Apa itu dek?" tanya bu Wening. "Makan siang bu, Adek minta dianterin buat kita bertiga." "Lho buat apa?" "Ya buat makan." "Harusnya kamu nggak usah repot - repot begini." "Adek nggak repot Bu, lihat aja dari tadi Adek nggak ngapa - ngapain." Dhevi tidak salah, dari tadi memang dia tidak melakukan sesuatu yang repot kecuali menyusun buku yang sudah hampir selesai. Bu Wening dan Pak Iman saja tidak tahu kapan dia memesan makanan karena dia tidak menelpon sama sekali. "Kapan kamu mesennya Dek?" "Bukan Adek yang pesan Bu." "Terus siapa?" "Mbaknya Adek." jawab Dhevi sambil memberikan kotak makanan itu ke bu Wening dan pak Iman. Ternyata mbak Ninis memesankan ayam goreng kremes tulang lunak yang dipesan dari salah satu restoran. "Adek nggak tahu ibu suka makan apa, ini yang milih, mbak Ninis, mbaknya Adek. Mulai besok Ibu sama pak Iman bilang aja mau makan apa. Kita makan sama - sama disini." "Nggak ah, ibu jadi nggak enak." jawab bu Wening. Baru kali ini ada yang begini, jadi bu Wening agak kaget juga. "Nggak apa - apa bu, sama adek nggak usah pakai nggak enak, soalnya Adek kan harus makan juga, dan Adek nggak mau makan sendirian. Kita makan dulu yuk Bu, Pak ... adek udah laper nih," ajak Dhevi yang kini duduk di depan pak Iman dan membuka kotak makanannya. Kebetulan memang Pak Iman dan bu Wening belum makan siang, mereka pun sama-sama menyantap makanan yang dipesan oleh Dhevi. Sambil makan mereka ngobrol, tadinya hanya obrolan ringan masalah sekolah sampai akhirnya, "Astaghfirullah, jadi Adek ini anaknya Azkiasa Mahendra?" tanya bu Wening, untung dia tidak tersedak makanannya sendiri sanking kagetnya. "Selow bu. Memangnya papa Adek segitu mengesankan ya sampe ibu kaget gitu?" "Ibu tahu banget sama Azki, waktu dia nikah aja ibu datang kok. Om Adek, Awika Narendra yang nikah sama Jenny kan? .. anaknya Shaka, kan baru lulus tahun ini." "Iya, abang Shaka baru lulus, ternyata ibu kenal ya?" "Kenal banget. Di mana sekarang Azki?" "Di Bandung." "Udah nggak di Royal sini lagi?" "Royal sini Yangti Ana sama Om Abang, yang di Bandung Papa." "Om Abang siapa?" "Itu yang ibu bilang Awika Narendra." "Oh manggilnya Om Abang?" "Iya, biar gampang ingatnya." "Jadi mereka sekarang sudah jadi direktur rumah sakit itu?" "Belum sih, mulai tahun depan Om abang jadi direktur di sini, Papa memang direktur di bandung. Ibu kenal sama om Mas nggak?" "Om Mas itu siapa lagi Dek?" "Adik papa, Arkana Mahendra." "Oh ya tahu, Kana kan?" "Iya, sekarang Om Mas yang pegang Medan." "Oh ada lagi cabangnya di Medan?" "Iya ada, baru diresmikan beberapa bulan yang lalu." "Pada hebat-hebat semua, yang disebut Adek barusan, itu murid sini semua Pak Iman, yang namanya Awika itu omnya, Azkiasa itu papanya, yang Arkana itu omnya juga, adik Papanya. Keluarga mereka yang punya Rumah Sakit Royal Bapak tahu kan?" "Iya tahu." "Nah mereka semua dokter." Bu Wening melihat ke arah Dhevi, terus adek juga mau jadi dokter?" "Ya nggak dong bu, udah over supply, di rumah dokter semua." "Terus adek mau jadi apa?" "Nggak tahu." "Tunggu, Azki itu kan nikah sama Dea, mertuanya Itu yang manajemen artis kan kalau nggak salah?" "Iya, tapi udah pensiun. Sekarang Om Dio yang melanjutkan." "Kembarannya Dea?" "Iya, ibu tahu semua ya?" "Ya tahu dong. Astaga ternyata Adek itu anaknya Azki. Ibu masih kaget lho. Terus kalau dihukum gini Papa udah tahu?" "Udah bosen, bu, jadi nggak usah dikasih tahu. Dulu di Bandung Adek sering Bu dihukum kayak gini." "Kenapa memangnya?" "Ya sama, kalau Adek nggak suka, adek nggak mau belajarnya." "Kenapa nggak homeschooling aja, dek?" "Homeschooling itu bikin Adek bosen, Adek pengennya sekolah di luar negeri Bu, tapi nggak boleh sama papa." "Jadi ini gimana sih, papanya masih di Bandung, kok Adek di sini, nggak kesepian tuh Papanya di rumah?" "Kan ada kakak - kakak, Adek." "Berapa bersaudara memangnya?" "Tiga, kami kembar tiga." "Serius?" "Iya adek paling kecil. Sekarang Adek sekolah di sini tinggalnya sama Popa, papanya mama Adek." "Nggak tinggal sama dokter Mahendra?" "Nggak, tapi kalau adek mau pulang ke situ, ya suka - suka Adek aja." "Salam ya buat Azki, Wika sama Kana... sudah lama banget Ibu nggak ketemu mereka. Terakhir waktu itu sempat reuni, tapi Ibu lagi sakit jadi nggak datang. Waktu Shaka sekolah disini, Wika juga jarang ke sekolah, paling Jenny." "Iya nanti Adek sampein Bu." Mereka ngobrol sampai selesai makan dan Dhevi menyelesaikan tugasnya. Ruangan perpustakaan itu tidak sepi lagi gara - gara Dhevi. "Adek pulang ya bu, pak," pamit Dhevi. "Ya, makasih ya Dek, sampai ketemu besok." "Ya bu." Dhevi keluar dari ruang perpustakaan dan turun melewati tangga terdekat. Sekolah sudah sepi, sepertinya anak - anak ekskul juga sudah pulang. Dari kejauhan Dhevi melihat ada sekelompok anak laki - laki sedang duduk dipinggir lapangan basket. Dari jarak yang lumayan jauh ini, dia sudah tahu rombongan siapa yang duduk disana. Dhevi langsung memakai airpodsnya dan pandangan diluruskan ke depan, dia tidak mau menoleh sedikitpun dan pura - pura budeg tersumbat airpods ketika ada yang memanggilnya "Dek."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD