Sasaran Senioritas

1907 Words
Dengan sedikit tekanan, akhirnya Rangga berhasil membawa Dhevi ke kantin bersama Anya. Tadi hanya gertakan Dhevi saja karena Rangga pakai mengancam membawa temannya itu, mana tega Dhevi membiarkan Anya jadi sandera, apalagi Rangga kan mengincar dia yang jadi korban, masa Anya yang harus menanggung? Sesampainya di kantin mereka langsung menuju tempat tongkrongan anak kelas dua belas. Memang di kantin itu ada beberapa area yang menjadi tempat tongkrongan masing - masing angkatan, tapi tempat yang paling luas tentu saja dikuasai oleh anak kelas dua belas, sementara anak kelas sebelas mendapat bagian lebih kecil tapi tetap lebih besar dari pada area anak kelas sepuluh. Anak baru hanya bisa jajan di area yang sangat kecil dan itu pun hanya yang berani - berani saja. Dhevi termasuk yang paling jarang ke kantin, dalam tiga bulan ini, paling banyak hanya dua sampai tiga kali saja dia ke kantin. Bukan karena dia tidak berani, tapi memang dia selalu dibawakan bekal oleh mbak Ninis, jadi dia bisa digolongkan dalam anti lapar - lapar klub, tidak jajan tidak masalah, malah sering kali bekalnya lebih enak daripada jajanan sekolah. Anya, Buana dan Vino yang sering dapat rezeki nomplok, karena Dhevi minta ke mbak Ninis, pengasuhnya dari kecil itu, untuk menyiapkan bekal ekstra buat ketiga temannya. Ketika berjalan berlima menuju kantin saja, mereka sudah jadi tontonan yang menarik. Geng Rangga memang geng good looking, mau cewek atau cowoknya pasti enak dilihat. Tapi bukan itu masalahnya, dua orang anak kelas sepuluh yang jalan di belakang Rangga itu yang jadi perhatian. Walaupun Dhevi dan Anya jadi perhatian, mana ada yang berani berkomentar, paling hanya membatin, kesian amat dua curut itu dibawa kak Rangga. "Siapa tuh Rang? Gebetan baru nih?" tanya Bima dengan sedikit berteriak, dia juga anggota gengnya Rangga selain Gusti dan Rava yang mendampingi Rangga tadi, ada juga Brian, Anov, Epri dan Zidan. Mereka sudah melihat kedatangan Rangga ke kantin lagi dari kejauhan, tapi kali ini bersama dua anak kelas sepuluh, yang membuat temannya penasaran, tumben - tumben Rangga berurusan sama cewek, adik kelas lagi. Kalau dia membawa cowok, tentu saja sudah biasa. Rangga tidak menanggapi pertanyaan Bima, tapi dia malah menyuruh Dhevi duduk di depannya," Lo duduk di sana," tunjuk Rangga. Dengan malas - malasan Dhevi duduk di depan Rangga dan Anya yang tidak dianggap pun ikut duduk di sebelahnya. "Hai ... Kenalan dong," ucap Bima sambil mengulurkan tangannya ke arah Dhevi, tapi Dhevi hanya melihat ke tangan kakak kelasnya itu tanpa berniat untuk menyambutnya. dan Rangga langsung menepis tangan Bima. "Yaelah sombong banget nih cewek, baru juga masuk sini, udah merasa cantik lo, hah?" Yang ngomong barusan bukan Bima, tapi Lika, salah satu wanita yang ada di grup Rangga. Selain Lika masih ada dua wanita lain, yaitu Chia dan Kelsie. Kalau dari wajah Lika terlihat cukup cantik, tapi judes, bibirnya tipis dan matanya tajam. Chia dan Kelsie juga cantik, tapi mereka sedang berakting sok -sok an, biar dibilang senior galak. Kakak matanya burem? ya cantik lah, masa nggak? tanya Dhevi dalam hati. Tapi di luarnya Dhevi hanya diam saja tidak menanggapi Lika, sementara Anya sudah ketar ketir, alarm bahaya sudah berbunyi dari sejak awal dia duduk di samping Dhevi tadi. Waktu dia melirik Dhevi, kenapa tampak tenang? "Lo anak baru dari Bandung ya?" tanya Rangga. Sepertinya Rangga sudah mencari tahu soal Dhevi, selain Bandung, entah apalagi info yang sudah di dapat Rangga, Dhevi tidak tahu. "Iya." "Silaing urang Sunda lain?" tanya Chia, teman Rangga yang baru mendengar kalau Dhevi ini anak pindahan dari Bandung. Mungkin dia orang Sunda, jadi antara pamer bisa bahasa Sunda atau memang ingin sok akrab, Dhevi kurang paham. Dhevi tidak menjawab, dia sebal setengah mati dengan pelajaran bahasa Sunda, mana dia ngerti si kakak ini ngomong apa, akhirnya dia hanya mengangkat bahunya ringan. "Nggak punya mulut ya buat jawab?" Dhevi menghela nafas, sebenarnya dia malas meladeni senioritas seperti ini, kampungan! Bisa saja dia pergi meninggalkan tempat ini, tapi lagi - lagi dia kasihan Anya. "Lain apa sih maksudnya?" tanya Dhevi sambil menoleh ke Anya. Anya tidak menjawab. "Kok lain?" Chia yang bertanya, sekarang dia jadi ikutan bingung dibuat Dhevi. "Lah tadi kakak nanya apa tadi, Sunda lain? Emangnya Sunda ada berapa sih, Adek nggak ngerti." " Ckk ... Gue tuh nanya, lo orang Sunda, bukan?" tanya Chia sambil melotot, maksudnya mau memberi efek takut ke Dhevi. "Oo ... ya bukan, memangnya kalo dari Bandung pasti orang Sunda?" "Lo kenal nggak sama kakak ini?" tanya Lika menunjuk Chia, dari tadi dia melihat Dhevi seperti tidak peduli diajak ngomong sama Chia, itu membuatnya gemas. Dhevi menggeleng. "Dia ini artis sinetron, namanya Chiana, apa nggak bangga kamu diajak ngomong sama dia? Kali aja mau minta foto bareng, mumpung nggak rame nih, bawa hape nggak?" "Terkenal nggak?" tanya Dhevi ke Chia dan seketika membuat Chia melotot lagi, dia merasa harga dirinya dihempaskan oleh bocah ingusan, apa lagi teman - temannya jadi tertawa, termasuk Rangga ketika mendengar pertanyaan Dhevi. Baru kali ini ada yang meragukan ketenarannya, mana tatapan Dhevi seperti tidak yakin kalau dia seorang artis, sungguh keterlaluan! "Gue mau ngomong sama lo, cuma disini aja ya, kalo di tempat umum gue ogah disapa anak daerah seperti lo yang kampungan gini!" Siapa juga yang mau ngomong sama situ. gerutu Dhevi dalam hati. Anak daerah yang dibilang kampungan itu oleh sang artis yang tidak dikenal Dhevi, memang tampak biasa saja. Baju seragam putih abu - abunya standar pembagian sekolah, bahannya saja masih kaku seperti terlalu banyak kanji, sama seperti murid baru lainnya, roknya juga masih jahitan standar, tidak dikecilkan sampai mengetat seperti para seniornya. Tapi memang sepatu hitam yang dipakai Dhevi yang harganya empat setengah juta itu, mungkin tidak diperhatikan oleh Chia, lagipula cuma sepatu hitam, siapa yang mau memperhatikan, semua standar kan? Ada juga jam tangan yang dipakai Dhevi yang berwarna baby pink dan putih, itu adalah hasil kolabs antara Omega dengan swatch yang dibandrol dengan harga enam setengah juta, ini oleh - oleh dari Popa, waktu kakeknya itu ke Singapore dua bulan yang lalu, mungkin jam tangan yang dipakai Dhevi itu dianggap Chia jam tangan hasil checkout saat flash sale jam 00.00 di tanggal cantik karena tidak percayanya bocil ini memakai barang mewah untuk ukuran anak sma. Jangan tanyakan merk ponsel Dhevi, ya ... bisa - bisa si Chia ini melotot lagi nanti. Kalau saja si Chia - Chia artis sinetron ini tahu kalau Popanya si Dhevi ini tidak akan mau melihat cucunya tidak memakai barang branded dengan model terkini, mungkin Chia akan menarik segala ucapannya tadi. Prinsip Popa, kalau perlu orang lain belum pakai, Dhevi sudah. Nah kan ... Memang hanya sepatu dan jam tangan barang yang terlihat mahal kalau sedang di sekolah, tas nya saja cuma harga dua jutaan, murah buat Dhevi, tapi semoga saja Chia tidak pingsan kalau bertemu Dhevi di luar sekolah. Raja artis film, sinetron sampai penyanyi, ya Popanya Dhevi, jangan - jangan hidup Chia dibayar oleh perusahaan Popa yang dipegang om Dio sekarang, dan berani - beraninya dia bilang cucu kesayangan Nandi Rahmadi sebagai anak daerah kampungan? Untung Dhevi jenis manusia selow. "Ya nggak usah nyapa kak, anggap aja nggak kenal." Tapi jawabannya yang selow itu tetap saja bikin orang darah tinggi. "Lo ... arggh... lo bocah tengil menyebalkan, tau nggak!" bentak Chia yang batas ambang sabarnya dibuat terkikis habis oleh Dhevi. Dhevi diam saja, bukan takut kalah debat sama orang famous, tapi dia yang takut jadi terkenal karena berseteru dengan kakak kelasnya yang sedang menahan emosinya ini. "Sabar Chi..." Bima mengingatkan. "Bisa - bisanya lo bawa bocah tengil gini sih, Rang," ucap Lika kesal, dari tadi dia memperhatikan gerak gerik Dhevi selama bicara dengan Chia, benar - benar bernyali dan minta di tampol rasanya. "Memangnya kenapa? Nih anak memang tengilnya asik. Gue bawa kesini biar lo semua ngerasain ketengilannya," jawab Rangga sambil terkekeh. Ternyata dia sengaja membawa Dhevi untuk jadi sasaran senioritas teman - temannya. Dhevi menatap Rangga. Apa dia bilang, biar semua ngerasain ketengilannya? Hmm suka nantangin. "Sudah belum nih kang Rangga? Adek mau masuk dulu." "Buru - buru amat, nggak kangen sama akang?" Dhevi memandang Rangga dengan tatapan datar," Pengen banget dikangenin? Ya nggak lah." "Kena juga lo, Rang," komentar Gusti dan disambut tawa cowok - cowok yang lain, sedangkan Lika, Chia dan Kelsie memandang sinis ke Dhevi. "Dia menyebut dirinya Adek, ya?" tanya Kelsie yang dari tadi diam. "Iya," jawab Rangga. "Sok imut banget sih lo!" Dhevi diam saja karena tuduhan kakak kelasnya ini memang benar adanya, dia memang imut, tapi kalau dia jawab begitu, bisa tambah satu lagi yang emosi. "Eh, lucu juga nih dijadiin kacung kita," usul Chia. Alis Dhevi bertaut tipis, dia tidak punya kapasitas untuk protes karena mau dijadikan kacung "Main serobot aja lo Chi, minta izin sama komandan dulu," ucap Gusti. "Boleh ya Beb ..." Chia memegang bahu Rangga dengan manja. Dhevi melihat itu dengan mata tajamnya, entah kenapa dia tidak suka melihat si Chia - Chia ini sok manja, atau sebenarnya dia tidak suka mau dijadikan kacung oleh wanita - wanita disekitar Rangga ini? "Nggak ada yang boleh urusan sama dia kalo nggak ada gue!" jawab Rangga tegas. Apa ini? Perlindungan? Dhevi tidak merasa perlu dilindungi, intinya dia memang tidak ada urusan dengan orang - orang ini kalau tidak karena Rangga. Anya yang berada di sebelah Dhevi hanya berharap ini segera berakhir, dia berharap Dhevi tidak menyahut lagi. Dari tadi dia sudah merasa akan mati duduk gara - gara Dhevi terus saja menyahut. Save by the bell ... saat bersamaan bel tanda jam istirahat sudah usai, berbunyi. Rangga cs tidak bisa apa - apa lagi, ini urusan belajar, sebentar lagi ada razia di kantin untuk memastikan tidak ada murid yang berkeliaran lagi kalau sedang jam pelajaran. Dhevi hanya pamit pada Rangga yang tadi membawanya kesini. "Ya udah sana lo masuk kelas," perintah Rangga. Dhevi berdiri, Anya mengikuti. "Nggak dianterin balik ke kelas Adek lagi, nih?" "Hah?" Bukan cuma Rangga yang kaget, teman - temannya apalagi. Mereka benar - benar belum pernah bertemu manusia antik seperti Dhevi, Rangga memang belum menceritakan kepada mereka dimana dia menemukan bocil yang baru netas itu. "Gitu aja kaget, payah! Yuk, Nya," ajak Dhevi ke Anya yang memanfaatkan kesempatan di saat kakak - kakak kelasnya itu bengong dan sulit berkata - kata. Dhevi berbalik lalu berjalan pergi didampingi Anya dan tak menyadari tatapan Rangga terus mengikuti punggungnya. "Stres kali tuh anak ya," ucap Kelsie, orang pertama yang berkomentar setelah Dhevi pergi. "Nggak usah dibahas, Rangga salah bawa orang kali. Udah yuk cabs, gue pengen ke toilet dulu," ajak Lika. "Kami duluan ya," pamit Kelsie. "Ya ... jalannya jangan ogel - ogel gitu dong ayang Kelsie, ntar nyasar ke sumur," teriak Gusti yang dihadiahi jari tengah Kelsie dan mengundang tawa yang lain. Para cowok juga ikut beranjak. "Baek - baek lo sakjiw bergaul sama anak itu, Rang. Urat takutnya udah putus pas lahir kayaknya," ucap Rava mengingatkan Rangga soal Dhevi ketika mulai meninggalkan kantin bersama Rangga dan teman - teman yang lain, kecuali para cewek yang sudah duluan. "Pilihannya satu, gue atau dia yang sakit jiwa." "Baru ini gue denger lo nantangin cewek, gas laaah." "Chia di depan mata lo abaikan, bocil aneh malah lo tantangin," sahut Bima. Bima berani ngomong gini karena Chia cs sudah masuk jalan duluan. Sudah jadi rahasia umum kalau Chia naksir Rangga tapi tidak mendapat tanggapan, hobby Rangga berkelahi, bukan main cewek. Jadi hatinya tidak pernah tersentuh oleh siapapun, bahkan sekelas Artis kayak Chia. Rangga hanya diam saja tidak menanggapi Bima dan itu semakin membuat teman - temannya penasaran. Rangga ini jatuh cinta atau kesambet bocil kelas sepuluh?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD