XXX

1941 Words
“Bu, maaf saya telat.” “Kamu kenapa telat? “ pertanyaannya yang membuat Haikal hanya mampu menunduk dalam. Dia, tidak bisa ceritakan alasan dia bisa terlambat. “Maaf, Bu.” Satu menit tidak ada jawaban, hipotesis buruk sudah bertebaran di benak Haikal, mungkin dia kan di hukum, di usir dari sana dan namanya kembali di masukan daftar hitam buku BK. Haikal menghela nafas panjang, bersiap mendengar kalimat itu secara resmi dari bu Sri. Bu Sri berdeham pelan, Haikal spontan mengangkat kepalanya, bingung. Bu Sri berdeham sembari menggerakkan kecil kepalanya, kalo tidak salah Haikal ingat, gerakan itu berarti boleh masuk. Urat-uratnya yang tegang seketika menggendur lega, dengan enteng ia melangkah kaki, meski tidak tahu mau duduk di mana. Semua sudah penuh dan sesek sekalipun ia memutuskan untuk berdiri di belakang bersama murid lain yang tidak kebagian bangku, tetap saja sumpek. “Ha.” Tidak ada pilihan bukan? Haikal harus berdiri desak-desak dengan mereka. Ah, belum juga menemukan posisi nyaman berdiri, Haikal harus mendapatkan kabar bahwa ekstrakurikuler ini hanyalah les yang berkedok ekstrakurikuler. Ya, hanya kedok. Ini murni les tambahan. Mana ada ekstrakurikuler yang melibatkan semua pelajaran yang sangat menguras otak. Tidak akan ada hahahi atau lari-lari layaknya ekskul pada umumnya. Mereka hanya akan duduk di kelas, dua jam nonstop. Haikal menghela nafas panjang, lumayan, setidaknya ‘ekskul' ini bisa mengisi banyak waktu kosongnya dan menghindarkannya dari rasa sedih yang berlarut-larut. “Haikal kan, kamu dapat ekskul bahasa Indonesia.” Kepala Haikal langsung terangkat, melihat ke arah bu Sri yang menyebut namanya. Bu Sri memberi isyarat pada Haikal untuk pindah posisi ke sebelah kanan, bergabung dengan murid yang mendapat bagian ekskul bahasa Indonesia. “Kira-kira nanti ekskul bahasa Indonesia ngapain aja ya? Kita gak ngelahap kamus KBBI, kan? Atau baca buku tebel gitu? “ “Gak lah, paling kita di suruh buat karya sastra gitu.” “Ha? Karya sastra apa dah? Kok aku merinding ya denger itu, di otak aku keknya itu bakal susah banget.” Gadis yang berada di depan Haikal tertawa menanggapi celoteh temannya itu. “Doa aja semoga hak sulit, semoga cuman buat cerpen atau paling panjang buat cerbung gitu. Aamiin.” TIDAK! Haikal bergumam dalam hati. Haikal tidak akan mengaamiin hal itu. Haikal malah beroda sebaliknya, dia tidak mau berurusan lagi dengan cerpen. “Gak Aamiin. Kamu mah emang suka buat cerpen, buat aku tetap aja susah. Ribet ngerangkai kata mah, kepala aku suka berembun.” Haikal tersenyum, di setuju untuk mengaamiin yang ini. Suara bu Sri mengintrupsi percakapan kedua gadis itu. Keduanya tetap kembali melanjutkan percakapan mereka namun dengan suara yang lebih rendah khas anak perempuan, seperti berbisik. Perhatian Haikal teralihkan pada segerombolan kakak tingkat kelas tiga yang masuk menggunakan alamater berwarna cream, bak anak kuliahan, hanya baju yang mereka kenakan tetap seragam sekolah. “Dan mereka yang akan menjadi mentor belajar kalian. Kalian harus mendengarkan apa arahan dan bimbingan mereka. Paham?” Semua serempak menjawab paham. “Baiklah, khusus hari ini, kalian sesi perkenalkan dengan mentor-mentor kalian. Ibu dan guru lain, pamit keluar. Assalamualaikum.” Lagi, semua menjawab waalaikumsalam secara serempak, mengiringi kepergian guru sains dari dalam kelas. “Ibu titip mereka ya,” kata bu Sri sebelum benar-benar pergi dari dalam kelas pada salah satu mentor ber-nametag Bagus. Sepertinya orang bernama Bagus yang secara mengangguk ramah pada bu Sri merupakan ketua dari para mentor, terlihat dari pin yang tersemat di alamaternya yang berbeda dari pin mentor yang lain. “Baiklah ekskul ini saya ambil alih. Sebelumnya saya mau memperkenalkan diri terlebih dahulu. Saya Bagus, kelas 12 IPA 1. Saya di sini menjabat sebagai ketua umum ekskul ini,” kata Bagus. Harus Haikal akui, kemampuan publik speaking-nya sangat bagus, meski masih duduk di bangku SMA. Cara berbicara, gestur dan mimiknya sangat mengambarkan bahwa Bagus sepertinya biasa berbicara di depan umum, tidak ada sama sekali getaran pada suaranya, atau keringat di sekitar dahinya karena gugup. Semuanya tertata rapi, jelas dan lugas. Bahkan Bagus mampu menarik audiens untuk fokus pada perkataannya, bahkan kedua gadis yang sejak tadi berbisik, kini tenang mendengarkan dengan seksama. “Seperti yang bu Sri jelaskan tadi bahwasanya di ekskul ini ada empat cabang, bahasa Indo, biologi, kimia dan fisika. Semua orang sudah ditentukan kelompok itu dan setiap kelompok memiliki tiga mentor.” “Di harapkan kerja samanya untuk para mentor dan teman-teman sekalian, agar bisa bersinergi dan bersama-sama mewujudkan hal yang terbaik. Kita semua pasti bisa. Kalian setuju, kan? “ Terbuai perkataan Bagus, semua serempak menjawab setuju. Bahkan Haikal yang awalnya tidak berniat untuk ikut andil dalam jawaban serempak itu, entah kenapa juga tergugah untuk mengatakan setuju. “Baiklah sekarang sesi perkenalkan dengan para mentor. Saya persilahkan pada kakak-kakak mentor untuk maju dan memperkenalkan diri.” Bagus undur diri dari depan lab, menepi ke pinggir lab, berdiri di sebelah Haikal. Haikal mencoba melempar senyum ramah begitu mata mereka tanpa sengaja bertemu, sekilas. Bagus sedang membenarkan posisi gagang kacamatanya, namun sampai pandangan Bagus beralih dari arah Haikal, Bagus tidak juga menarik senyumnya sekedar membalas senyum tipis Haikal. Haikal tidak ingin ambil pusing, toh di sana terlalu banyak orang, wajar jika tatapan seseorang tidak fokus pada satu objek. Sesi perkenalan terus berlanjut, Haikal mulai merasa bosan, matanya tidak lagi fokus memperhatikan para kakak senior yang kelak ia sebut mentornya. Mata Haikal malah sibuk menilik lab kimia, mulai dari atapnya, dinding lab, rak-rak berisi alat-alat kimia. Haikal memutar bola mata, ah....rasanya ingin segera pulang untuk mengisi perutnya yang mulai gaduh. Kapan sesi ini berakhir? pikir Haikal suntuk. Matanya tanpa sengaja melihat ke arah siswi yang berada di depannya. Matanya bukan tertuju pada gadis yang kini dengan khidmat mencatat apa yang para kakak seniornya bicarakan di depan, melainkan pada kecoa yang menempel entah dari mana, si punggung gadis berikan putih itu. Kecoa....Haikal refleks bergerak gelisah, mengikuti arah pandang hewan kecil itu, yang kini mulai merambat pelan, naik ke menyusuri jilbab gadis itu. Ia harus apa? Diam saja atau bertindak? Jika bertindak bagaimana jika gadis itu marah karena lancang menyentuhnya? Haikal jadi geram sendiri. “Tolong fokus.” Suara itu membuat Haikal menoleh kecil. Itu peringatan dari Bagus yang nampaknya risih dengan gerak-gerik Haikal yang mulai terendus di permukaan.. Hufff....Haikal menarik nafas panjang. Mencoba untuk kembali fokus. Satu, dua, menit berhasil. Di tiga menit berikutnya, kecoa itu kembali menyita perhatian Haikal. Haikal kembali tenggelam dalam dilemanya, yang tanpa sadar lagi membuat Bagus kembali terusik. “Bisa diam, gak? “ Kali ini Bagus benar-benar memutar badannya, menghadap pada Haikal. Bagus salah paham. Ia hanya menangkap basah Haikal yang seolah tengah curi pandang ke arah siswi di depannya. Hewan tidak pandai terbang itu luput dari mata tajam Bagus. Haikal refleks langsung menunduk. “Hem, iya, Kak, maaf, ” sahut Haikal spontan. Bagus berdeham pelan seraya memperbaiki posisi gagang kacamatanya, mendengar permintaan maaf Haikal membuatnya tak sampai hati untuk melanjutkan kekesalannya. Haikal, lagian ngapain sih, udah biarin aja, toh itu cuman kecoak bukan zombie yang bisa buat orang meninggal—batin Haikal bersuara keras, mengingatkan Haikal untuk tidak lagi terganggu akan keberadaan hewan itu. Yah, itu cuman kecoak..... “Kecoak... “ Pikiran Haikal melayang. Dia teringat akan sebuah momen. “Aaarrrgghhh.... Fauzan, Haikal, tolongin Ibu...” teriak Ita melengking membuat Haikal dan Fauzan langsung pontang-panting berlarian ke arah dapur di mana sang ibu tengah berteriak histeris. Fauzan bahkan menjeda kegiatan mandinya, ia berlari secepat kilat dengan hanya menggunakan bokser, Fauzan sulit berlari karena matanya di penuhi busa sabun. Sedangkan Haikal, ia berlari sembari membawa ayam goreng yang masih mengantung di mulutnya. “Tolongin Ibu ... Ibu dalam bahaya...,” kata Ita yang kini sudah berdiri di kursi kecil sembari mengibas-ngibas lap ke bawa kursi. Haikal dan Fauzan bengong di tempat, keheranan akan bahaya apa yang sedang di hadapi ibunya itu. Di sana hanya ada kecoak yang nampak kehilangan arah, karena sembari tadi hanya muter-muter tidak jelas. “Bu, gak ada apa-apa di sini? “ tanya Haikal polos. Ita mengangkat kepalanya, memandang dua putranya, wajah risau masih kentara di wajah wanita paru baya itu. “Itu loh, masa kalian gak liat? “ “Cuman ada kecoak.” “Cuman? “ Ita mengulangi kalimat Fauzan yang seolah meremehkan hewan mungil itu. Haikal dan Fauzan dengan polosnya mengangguk, bersamaan. Ita memutar bola matanya. “Ya Allah, punya putra kok gak ada yang peka sih.” Haikal dan Fauzan saling memandang satu sama lain, bukan tidak mengerti mereka hanya terkaget-kaget akan bahaya yang Ita bilang hanya berupa kecoa, si hewan yang bahkan tidak bisa terbang. Apa arti dari menjeda mandi dan ayam goreng nyangkut? Di tengah keterdiaman dua pemuda itu, Abbas muncul di tengah-tengah mereka, melewati Haikal dan Fauzan. Laksana pahlawan, meraih tangan Ita, seraya berkata. “Ayo turun ratuku,” katanya membelah hening yang terjadi. Tanpa ragu, Ita menerima tangan Abbas, meski raut takut akan di hewan kecil itu masih tergurat di wajahnya. “Jangan ragu, untuk turun wahai permata indahku,” tutur syaduh Abbas. “Untung ada kamu mas. Punya dua putra, ibunya minta tolong malah pada bengong doang. Mereka gak ngerti betapa mengerikannya kecoak bagi cewek.” Ita melirik Fauzan dan Haikal yang masih bengong. “Ibu tuh gak takut cuman geli aja. Kecoak tuh, ihh...sangat menakutkan.” “Lain kali kalo kalian liat kecoak lagi, langsung usir,” titah Ita. Fauzan dan Haikal mengangguk khidmat. “Selama ada kakanda di sini, tidak akan kakanda biarkan ada satu makhluk pun yang menyakitimu, tidak terkecuali hewan kecil itu. Terdengar romantis di telinga Ita, tapi di telinga Haikal dan Fauzan, apa kabar ? Keduanya saling melempar tatapan. Dan seketika tawa mengudara. “Ya Allah, Bang, tuh muka apa sabun, isinya busa semua.” Haikal terpingkal. “Kamu juga tuh, itu ayam apa jemuran pakai acara nyangkut.” “Ya Allah, anak ibu ada-ada aja ulahnya,” Ita menggeleng-geleng takjub, dan akhirnya tertawa bersama kedua. Haikal tersadar. Senyum yang entah sejak kapan mengembang di wajahnya, perlahan kembali hilang. Itu kenangan yang tidak akan pernah bisa Haikal ulang. Lain kali kalo kalian liat kecoak lagi, langsung usir, ya ..... Kembali, Haikal menatap kecoak itu. Tatapannya sengit, mengamati hewan bersayap itu. Apa yang bisa gue lakukan, sekarang? Batin Haikal. Ah, pulpen... Haikal mengintip ke arah Bagus, memastikan terlebih dahulu kalo keadaan aman. Aman.... Haikal meraih pulpen berwarna hitam, ia akan memberi isyarat pada gadis itu kalo ada kecoak di jilbabnya. Haikal bersiap mengambil kecoak itu, tapi gadis itu tiba-tiba menoleh. Haikal tidak memprediksi hal ini. “Kecoak,” kata Haikal spontan, merasa bingung harus menjelaskan apa. “Kecoak?” Gadis itu mengulangi pelan kalimat Haikal. Dua detik setelahnya pupil mata gadis itu perlahan membesar, kepalanya yang tadi menoleh seketika menegang. “Di mana ?” cicitnya pelan. Haikal memberi isyarat dengan mengerakkan sedikit kepalanya. “Di jilbab ?” tanyanya lagi. Haikal mengangguk, hendak bersiap mengambil kecoak. Namun, tiba-tiba... “Aarghhh.... “ gadis itu bangkit, berniat menepis kecoa itu dari jilbabnya. Tapi yang terjadi... Gadis itu malah menepis pulpen yang ada di tangan Haikal, Haikal yang kaget juga refleks melepas pulpen itu. Pulpen itu melayang ke arah Bagus bertepatan dengan itu Bagus menoleh dan seketik. Bagus berhasil menghindar dari hantaman pulpen melayang, tapi tidak dengan benda rapuh yang melingkar di kedua matanya. Brak.... Kacamata Bagus menjadi korbannya. Pergerakan Bagus yang tiba-tiba membuat kacamata itu melayang dan jatuh dramatis di lantai. Suara nyaring dari kacamata itu, bagai magnet yang menarik semua mata ke arah mereka bertiga. Haikal si pemilik pulpen, seketika membeku, menatap nanar pulpen miliknya, yang kini menjadi barang bukti atas rusaknya kacamata miliki kakak seniornya itu. Bagus sebagai korban, terpaku tidak percaya telah kehilangan benda yang selalu melekat pada batang hidungnya secara tiba-tiba. Dan gadis itu, si pelaku kedua, membeku pada pose tangan mengibas, awal mula semua ketegangan ini terjadi. “Kalian harus ganti kacamata saya!” kata Bagus menatap tajam Haikal dan gadis itu. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD