Diharapkan para murid yang tidak mengikuti ekstrakurikuler apa pun di sekolah untuk berkumpul di lab kimia sepulang sekolah.
Mata Fatiah nyaris lepas mendengar pengumuman yang seketika melenyapkan euforia bel pulang sekolah.
“Kebijakannya kok gini? “Fatiah mendengus pelan. Mendadak lesu, memasukkan buku-buku, pulpen dan teman-temannya ke dalam tas.
Billa pun serupa. Dua manusia mager yang ingin pulang, harus tertahan dengan kebijakan sekolah yang ingin setiap murid bisa mengembangkan diri lewat ekstrakurikuler. Dan murid yang bingung mau ikut apa, akan dipilihkan sekolah. Tentu saja, ekstrakurikuler itu akan berbau akademis, sains, fisika, biologi—dan akan terasa seperti les tambahan.
“Iah, Billa, nama kalian udah di catat di sana. Jangan langsung pulang, ngumpul dulu di lab kimia.” Ririn selaku ketua kelas 11 IPA 2, mengimbau sebelum menyandang tas punggung pink miliknya dan pamit pulang.
“Bil ....” Fatiah menoleh. Pulpen dan buku-buku, masih berserak di meja bagian Billa. Ternyata Billa lebih tidak bersemangat ketimbang dirinya, yang setidaknya sudah siap untuk langsung ke lab kimia.
“Malas banget,” desahnya, menghentikan gerakan lambat tangannya. “Mana aku gak ada stok hafalan buat setoran entar malam.” Billa menjatuhkan punggungnya ke sandaran bangku, rasa malas langsung nempel di raganya, membayangkan tidak akan ada waktu beristirahat sedikit pun setelah seharian sekolah.
“Sama, aku juga belum. Tapi ya, mau gimana lagi, kalo kita gak ke sana, entar di alfa-in terus dipanggil ke ruang BK. Kan gawat.”
“Iya juga sih.” Dengan ogah-ogahan Billa kembali melanjutkan gerakannya membereskan semua barangnya di atas meja.
“Biar cepat, aku bantu ya,” inisiatif Fatiah. Yang tentu saja mendapat tanggapan positif Billa.
Tidak butuh waktu dua menit, semua barang Billa telah termasuk ke dalam tas.
“Huft, selesai juga. Kuy lah langsung ke lab.”
“Iya.”
Billa dan Fatiha terbelalak saat sampai di lab kimia. Rupa-rupanya spesais mageran sudah berkembang pesat, jika saja sekolah membuka klub anak mager, barang kali akan banyak yang bergabung. Tidak hanya satu, tapi puluhan, hampir seperempat dari siswa di sekolah ini. Klub mager akan menjadi klub besar kedua setelah ekskul keseniaan.
“Ternyata sebanyak ini ya,” Billa menggeleng-geleng kaget campur takjub. “Pantes aja sekolah buat kebijakan gini,” gumamnya lagi.
Fatiah yang berada di sebelahnya, tidak kalah takjubnya, setengah rahang mulutnya konsisten terbuka melihat kondisi lab kimia yang sesak penuh manusia berjubel bak pasar di hari ahad.
“Kita duduk di mana nih? “bingung Billa, setelah mengedarkan pandangnya, keseluruhannya penjuru lab kimia.
“Nah itu! “ tunjuk Fatiah, pada bangku yang kosong karena baru saja di tinggal dua orang siswa yang mengadang tas di punggung mereka—entah keduanya mau pulang karena terlalu bosan menunggu para guru datang atau hanya ingin keluar dari pengapnya keadaan lab, untuk menghirup udara yang nampak limited di sini.
“Eh, buru, Bil, di bagian itu ada yang kosong.”
Billa dan Fatiah mempercepat langkahnya, takut stok bangku itu langsung di jara orang lain, secara stok bangku di sini, bak tambang minyak. Langkah.
“Lagian kenapa pertemuannya harus di lab kimia, stok bangkunya cuman sedikit. Kenapa gak di aula aja. Kalo ginikan jadi pada rebutan bangku,” gumam Fatiah setelah berhasil menjatuhkan bokongnya di kursi panjang bergabung dengan rombongan siswa yang Fatiah yakini berada satu tingkat dibawahnya, alias adik kelas, terlihat dari warna baju yang masih putih menginclong berbeda dengan seragam Fatiah yang mulai beralih warna—entah karena tidak bersih saat mencuci atau memang begitulah tabiat baju seragam.
“Ah, kapan mulainya sih ini? “dengus Billa, sangat mewakili suara hati Fatiah dan semua murid yang wajahnya mulai di tekuk.
Fatiah kembali mengedarkan pandangnya berharap ada siswa lain yang keluar atau kalo bahas kerennya mah walkout dari ruangan, dan mereka bisa langsung pindah. Fatiah kurang nyaman duduk satu bangku panjang dengan seorang siswa, ya meski ada jarak antara duduk mereka, tetap saja rasa risih itu tidak lantas lenyap bak kentut di lapangan terbuka.
Tapi tidak ada lagi bangku kosong. Hanya ada dua pilihan, berdiri atau duduk di sini.
Secara ini lab, tidak akan cukup menampung semua murid yang datang ke sana. Lab kimia memang lebih kecil dari lab umum sekolah. Hanya ada empat meja lebar dan bangku panjang, yang di sisi kanan-kiri di tempati total delapan wastafel berguna untuk membersihkan semua alat yang digunakan selama praktek, dan rak buku yang diletakkan mengisi space kosong di bagian belakang ruangan serta papan tulis bergerak yang dialokasikan ke belakang jika tidak digunakan.
Dan Fatiah tidak punya pilihan selain memilih opsi kedua, bertahan duduk di sini. Fatiah bukan gadis kuat yang bisa berdiri berjam-jam lamanya, jika tidak ingin insiden pingsan terjadi lagi.
“Makin banyak aja yang datang,” gumam Fatiah, menatap ke ambang pintu.
“Iya, ya, padahal ini udah sumpek banget Loh.”
Fatiah manggut-manggut setuju. “Ternyata banyak banget yang malas ikut ekskul, ya. Aku pikir cuman kita-kita aja, ternyata adik kelas juga banyak.”
“Tapi aku dengar-dengeri sih, mereka emang sengaja gak masuk ekstrakurikuler, biar bisa gabung di ekskul ini.”
“Sukarelawan gitu? “ kaget Fatiah.
Billa mengangguk-ngangguk, yakin. “Itu yang aku dengar, soalnya kalo anak pintar harus pada seleksi mau masuk ekskul ini. Tapi tesnya diam-diam, cuman anak-anak yang tes aja yang tahu. Dan gue dapat info ini dari si Ririn, dia gak sengaja keceplosan.”
“Jadi ekskul ini banyak anak pintarnya dong? Dari seluruh kelas? “ Mata Fatiah melebar, menatap sekeliling, tiga orang pintar di kelas saja, buat otaknya inseyur, apa lagi jika lebih dari itu. Otaknya makin keliatan kosong melompong.
Billa berpikir sejenak. “Mungkin, mereka bakal jadi mentor kali ya.”
“Tuh liat, anak akselerasi aja pada banyak yang datang.”
Fatiah menghela nafas panjang, sangat panjang. Jika bisa menghilang, dia ingin hilang dari tempat ini.
“Assalamualaikum Warahomatullahi Wabarokatuh,” bu Sri masuk, bersama tiga buru per-IPA-an, memecah kegaduaan lirih di dalam lab.
Pak Toto, guru fisika. Bu Nana, guru biologi dan Bu Sarah, guru kimia. Tiga guru berpengaruh di jurusan IPA.
“Kita mau ekskul atau belajar tambahan sih? “bisik Bila, resah.
Fatiah mengangkat bahunya kecil. “Dua-duanya. Gak masalah sih, hitung-hitung skill baru, gratis.”
“Beda ya kalo yang favoritnya belajar. Dapat kupon ginian bahagianya bukan main.”
“Gak juga sih, cuman kan—“ Fatiah melihat Bu Sri mengedarkan pandang, di tangannya masih ada nama absen. Fatiah menghentikan kalimatnya takut radar kepekaan bu Sri bangkit dan mengangkap basahnya lagi.
“Belum datang ?” tanya bu Sri.
Tidak ada yang menjawab, entah karena takut atau karena tidak tahu.
“Tadi namanya siapa sih? “ Fatiah menoleh cepat, Billa nampak tidak peduli. Ia sibuk dengan molongnya sendiri.
“Ya kali ekskul isinya guru semua. Mana pada tegang-tegang semua lagi, kayak mau foto KTP,” Billa takut-takut, mengedarkan pandangnya.
“Mukanya pada flat semua, dikira mau buat desain sepatu flat apa, yak.”
“Kenapa aku bisa terdampar di ruang serba IPA ini, aku kan IPA cuman formalitas doang, biar gak keliatan bodohnya.”
“Tuh jam kok masih betah ada di sana, gak jalan gitu, di cepetin 2x misalnya.”
Itulah monolog panjang Billa. Fatiah yang diam-diam mencuri dengar dibuat ngakak mendengar semua celoteh panjang Billa, setidaknya ini menjadi moodboster bagi Fatiha.
“Bu, maaf saya telat.”
Suara bariton menyapa ruang lab kimia. Fatiah yang sibuk sendiri spontan mengangkat kepalanya refleks ke sumber suara. Fatiah memicingkan matanya, penasaran siapa yang datang.
Pemilik suara itu berdiri di ambang pintu, menantang sinar matahari yang menghalau mata Fatiah untuk bisa melihat jelas sosoknya.
“Kamu kenapa telat?” bu Sri memicingkan matanya, herannya intonasi lima oktaf tinggi tidak terdengar mengudara.
“Maaf, Bu.”
“Tumben-tumbennya bu Sri ninggalin nada lima oktaf,” bisik Billa mengalihkan perhatian Fatiah.
Ternyata bukan hanya Fatiah saja yang heran, para siswa yang duduk satu bangku dengannya juga samar-samar saling berbisik mengenai keanehan yang jarang terjadi. Fatiah sudah dua tahun di sekolah ini, dan sekali pun ia tidak pernah melihat bu Sri dalam mode suara lembut seperti ini. Meski tidak marah, nada suara bu Sri yang normal menurut semua orang berada di nada lima oktaf. Jika turun sedikit saja, itu bukan bu Sri yang mereka kenal. Fiks.
“Baiklah, sekarang kita akan mulai dengan pemilihan kelompok,” kata bu Sri, nada suaranya kembali ‘normal’. “Jadi di sini ada kelas kimia, fisika, biologi dan satu lagi bahasa.”
“Bahasa?” Fatiah menoleh pada Bila, matanya berbinar dengan senyum lima jari. “Aku mau pilih kelas itu aja.”
Billa mengangguk, lambat. “Kayaknya aku mau ambil biologi aja deh, cukup ngafal sama baca aja.”
“Setiap murid akan mengambil satu kertas gulung untuk menentukan kelas apa yang harus kalian tekuni.”
“Ha? Untung-untungan?” Senyum Fatiah langsung lenyap. Murung lagi.
.
.