XXXIII

2091 Words
“Gimana ngajar ngajinya, Dek?” tanya Fauzan, begitu penampakan Haikal melintas. Fauzan fokus dengan siaran berita yang dia setel di televisi hingga tidak menyadari wajah masam yang sendari tadi terpantri di wajah Haikal. “Gagal total.” “Eh?” Fauzan langsung mengalihkan tatapannya ke arah Haikal. Dan baru sadar akan suasana hati Haikal. “Biasalah, si Dzawin.” “Oh ...” Fauzan mengangguk-angguk kikuk. Bingung mau berkomentar apa. “Huft, untung aja masih di maafin.” Haikal menghempas tubuhnya di sofa l, tepat di sebelah Fauzan. “Berarti masih rezeki Lo dek.” “Lo?” kepala Haikal menegak. “Sejak kapan bang, pake lo-gue di rumah? Akhir-akhir ini sering banget dengar kata Lo.” “Hehe,” Fauzan refleks mengaruk tengkuk kepalanya. “Refleks aja. Lagian kamu juga di sekolah pake gue-lo, kan?” “Iya sih, tapi kan jadi aneh aja Bang gak biasanya pake kata-kata gitu di rumah.” “Iya, sih. Abang cuman keceplosan aja.” “Aku rasa gak keceplosan, sih?” Fauzan menoleh bingung. “Bilang aja ada komunitas baru, kan? Aku pernah gak sengaja dengar abang kayak ikut rapat gitu.” Fauzan nampak berpikir, sebelum kepalanya bergerak kecil pertanda paham maksud Haikal. “Ah, itu bukan komunitas, Dek. Abang lagi ikut majelis taklim.” “Eh, majelis taklim?” Haikal terenyak sebentar. “Masa majelis taklim bahasanya kek anak tongkrongan, gue-lo.” “Lah emang kata gue-lo, k********r ? Emang kalo orang yang belajar agama gak boleh gaul? Harus kolot? Bahasanya mesti formal gitu? “ “Gak juga sih, Bang.” “Nah, makanya.” “Soalnya aku dengerinya kayak bukan majelis taklim, ya, kayak anak muda nongkrong gitu.” “Yang penting itu isinya. Konsepnya emang kayak tongkrongan gitu. Nah berhubung, banyak yang dari luar kota makanya kita pake jaringan online.” “Oh gitu.” Haikal nyengir lebar. “Mau masuk juga gak? “ “Eh, emang boleh? “ “Hem, boleh sih, tapi entar deh abang liat kapan pembukaan anggota baru.” “Sip.” Haikal melirik Fauzan, kenapa abangnya ini tidak juga menyampaikan berita mengenai niatnya menikah pada Haikal. “Bang, emang benar, orang yang ikut majelis taklim biasanya cepat nikah muda.” “Kata siapa? “ tanya Fauzan, santai sembari mengambil remot televisi.. “Ehm, teman aku,” jawab Haikal asal. “Teman sekolah?” “Ehm.” Haikal berdeham pelan, bingung. Dahi Fauzan berkerut. “Masa teman kamu nikah? Emang udah tamat sekolah? Bukannya belum cukup umur ya?” “Eh.” Haikal tersentak, bingung. Kenapa jadi malah Haikal yang seperti di interogasi. “Kan, udah tamat.” “Oh.” Fauzan bergumam pelan. “Bilangin ke teman kamu, nikah itu bukan ajang cepat-cepatan, bukan juga ajang lari dari masalah. Nikah itu ibadah seumur hidup, jangan asal-asalan. Butuh banyak ilmu. Apalagi kalo dia pria. Dia harus jadi imam buat istrinya, jadi nakodah di kapalnya, gak bisa asal-asalan bawa kapalnya mengarungi lisannya samudra pernikahan.” “Ah, gila abang gue. Bicaranya udah dalam banget. Udah siap nikah ya?” ceplos Haikal, tanpa sadar. Fauzan spontan menoleh, menelisik wajah Haikal dengan cermat, membuat Haikal jadi salah tingkah. “Kenapa, Bang? Ganteng gue keliatan ya?” cicit Haikal mencoba terlihat melucu senatural mungkin. Fauzan hanya menghela nafas, tampak tidak terlalu peduli dan kembali fokus menonton berita yang kini sedang menampilkan berita kuliner nusantara. “Bang ....” “Hem?” sahut Fauzan tanpa menoleh. “Bang, Lo gak kasih tahu apa gitu? “ “Kasih tahu apa? “ “Hem, berita misalnya.” “Rasanya manis.” “Ha?” alis Haikal hampir bertaut. “Apa yang manis, Bang?” “Beritanya.” “Ha?” “Iya itu berita manisan di televisi. Kamu nanya beritanya, kan? Tuh si televisi itu beritanya.” Haikal berdecak kesal. “Bukan itu maksudnya Bang!” Fauzan tidak menggubris kemarahan Haikal, dia tetap asik mengganti-ganti channel televisi. “Bang, semenjak ibu meninggal kenapa kita makin berjarak ya? “ Kali ini Fauzan menghentikan gerakan jarinya di atas remot televisi. “Buat apa abang kasih tahu berita yang udah kamu tahu.” Haikal kaget. “Maksudnya, Bang? “ “Kamu udah tahukan kalo abang mau nikah?” Haikal gelagapan. “Kamu, kan nguping pas abang sama ayah bicara.” Haikal tersenyum simpul. “Dikit doang.” “Dikit apanya? Orang kamu ada dari awal sampai akhir.” “Gak kok Bang, aku cuman dengar pas abang bilang mau nikah. Gak dari awal banget.” “Ya emang itu topiknya.” Senyum Haikal makin merekah. “Kok tahu sih, Bang? “ “Liat di pantulan kaca, kamu ngejorok di depan pintu, sebesar gitu masa gak keliatan, belum tua-tua amat nih mata.” “Bisa aja nih calon manten.” Haikal terkekeh. “Siapa bang nama calonnya? “ “Entar aja, gue kasih tahu kalo udah di terima.” “Ha? Jadi belum di terima? “ “Belum. Rencananya mau datang ke sana sekalian nanyain itu entar ke keluarga besarnya, mau atau gak.” “Jadi masih belum pasti nih, Bang? Bisa di tolok, bisa di terima? “ “Iya.” “Kok? “ “Kok apanya?” “Kenapa abang gak tanya ceweknya langsung, suka atau gak sama abang?” “Caranya? “ “Hem, chat atau telepon? “ “Terus apa bedanya sama orang pacaran?” “Ha? “ “Itu bedanya, pacaran sama taaruf. Kalo pacaran, sering berkhalwat berduaan, mau secara daring atau luring, sama aja. Kalo taaruf itu kenalannya datang ke rumah, ngobrol sama keluarganya, gak sama ceweknya aja. Gitu ....” “Tahu ah, Bang. Aku gak mau ikut.” “Eh, harus ikut. Orang satu keluarga kok.” “Ah, gak mau, ah, entar di tolak kan malu.” “Abang yang di tolak, kok Lo yang malu.” “Ya, malu lah Bang. Udah datang eh, di tolak.” “Ini, mentalnya belum kuat. Gimana entar pas kamu mau ngelamar anak orang? Gak berani ? Takut di tolak.” “Ya, gak gitu Bang. Maksudnya setidaknya kita tuh tahu loh di cewek ada rasa ke kita gitu.” “Soal rasa itu mah gampang, kan ada Allah. Allah yang punya hati setiap manusia.” “Iya juga ya Bang.” “Iya makanya jangan jiper duluan. Maju aja dulu. Kalo ternyata harus mundur, ya udah tinggal mundur, gak sulit, kan? “ ** “Sekali lagi, saya minta maaf pada anti soal kemarin. In syaa Allah, hari ini dia gak datang telat,” kata ustadz Fahmi yang merupakan pembina TPA Darul Ilmih. Fatiah tersenyum simpul, membayangkan kejadian kemarin yang bisa dibilang sangat melelahkan. Fatiah harus mengajar semua santri sendirian, partner yang seharusnya di tugaskan bersama Fatiah, mendadak mengundurkan diri. Al hasil Fatiah harus mengajar semua santri sendirian. “Tidak masalah ustadz,” jawab Fatiah sopan. Sejujurnya jauh di lubuk hati Fatiah, Fatiah sama sekali tidak merasa keberatan. Fatiah sangat menikmati peran barunya sebagai guru ngaji. Ditambah lagi, para santri yang di dominan berusia 5-9 tahun, sangat lucu di mata Fatiah, meski mereka terkadang berisik dan sulit diatur. Tidak masalah. Itu menjadi tantangan yang seru bagi Fatiah. “Tapi anti tenang aja, hari ini ada tambahan pengajar. Dia bisa mengajar di bagian santri putra. Bentar lagi juga datang. Anti mulai aja dulu pengajiannya. Entar kalo dia datang, nanti anti langsung kasih tahu aja, dimana bagian dia,” kata ustadz Fahmi. “Na'am, ustadz. Afwan.” “Kalo gitu, ana tinggal ya.” Fatiah mengangguk kecil, menggiringi kepergian ustadz berusia sekitar empat puluh tahun. Setelah kepergian beliau, Fatiah segera masuk ke mushola, menyapa anak-anak dengan ceria, dan membuka pengajian dengan di awalain membaca doa belajar, surah-surah pendek di Juz 30, doa orang tua. “Nah sekarang letakkan kartu ngajinya di atas meja, yang paling rapi, kertasnya bakal kakak ambil duluan,” kata Fatiah, membela suara ramai anak-anak. Dan seketika, anak-anak langsung mengubah posisi yang awalnya leya-leya dan tidak teratur, dalam hitungan detik mereka berubah menjadi rapi. Dengan posisi kedua tangan dilipat di atas meja, sikap tubuh menegak sempurna, dan pandang mata fokus ke depan. Fatiah terkekeh pelan, rasa semangat anak-anak dalam belajar, tertular pada Fatiah, meski dia harus bolak-balik memantau bagian santri putra dan putri yang dipisahkan kain santir di tengah-tengah. “Ustadzah, punyaku duluan ya, kan aku udah rapi,” kata salah seorang santri putra berusia sekitar enam tahun—mungkin santri terkecil di sini. Kalimatnya belum terlalu fasih tapi pipi cabinya sangat mengemaskan saat mengatakan kalimat itu. “Ustadzah, seharusnya santri putri duluan ...” sahut putri di sebelah tirai, berusia sekitar tujuh tahun. “Kenapa harus santri putri duluan ?” tanya Fatiah, penasaran. “Emang ustadzah gak tahu ya? Kata om-om barat, harus ledies first.” Fatiah terkekeh. Ada-ada saja. “Berhubungan semuanya hebat dan rapi, kakak bakal ambil kartu ngajinya. Yang nanti namanya dipanggil, bawa iqronya ke depan buat ngaji. Oke? “ Semua mengangguk sumringah. “Oke ustadzah.” Fatiah tersenyum kecil, mendengar sebutan ustadzah rasanya Fatiah tersentil. Dia belum pantas menyandang gelar itu. Itulah kenapa Fatiah lebih nyaman memanggil dirinya ‘kakak’. Sebenarnya Fatiah telah mengatakan ini pada mereka, tapi nampaknya mereka lebih terbiasa memanggil ustadzah ketimbang kakak. Fatiah tidak akan mempermasalahkan itu, apa pun panggil mereka pada Fatiah, yang terpenting sopan. Fatiah mulai menyusuri meja-meja, mengambil kartu ngaji. Di tengah kesibukannya itu, salah seorang santri yang duduk paling belakang di dekat ambang pintu musholah, berbisik-bisik pelan, menarik perhatian Fatiah. “Ada apa? “ “Itu ustadzah, ada orang di luar,” katanya sembari menunjuk ke teras masjid. “Hem, kakak bisa minta tolong... ?” “Iya, ustadzah.” “Bisa tolong kakak buat kumpulin kartu ngaji santri putra?” “Iya, ustadzah.” “Kalo gitu kakak tunggu di luar teras mushola ya.” “Iya, Ustadzah.” Fatiah berniat menghampiri rekannya itu, sembari memberi tahu amanah yang ustadz Fahmi katakan, mengenai tugasnya yang mengajar di bagian santri putra. “Afwan, apa kamu yang di tugaskan ustadz Fahmi buat ngajar di bagian putra?” tanya Fatiah sembari menunduk—menjaga pandangan. Dua menit tidak ada jawaban. Padahal Fatiah yakin suaranya tidak sekecil itu untuk terdengar dari jarak lima langkah dari tempat pria itu berdiri. “Hem, iya,” jawab pria itu akhirnya. “Sesuai amanah ustadz Fahmi, antum di tugas buat ngajar santri putra.” Tidak ada jawaban lagi. Fatiah hanya melihat dari bayangan di lantai, bahwa pria itu sekilas mengangguk. “Ustadzah, ini kartu ngajinya.” Santri yang tadi Fatiah tugaskan memberikan setumpukan kartu ngaji pada Fatiah. “Terima kasih ya.” Fatiah mengangkat kepalanya, hendak memberi kartu itu pada pria di depannya. “Ini kartu ngaji putra, antum bisa—“ “ASTAGFIRULLAH!” spontan Fatiah, begitu mengetahui siapa orang yang dari tadi ia ajak bicara. “Kenapa kaget gitu? Emang saya jin?” cicit pria itu. Pria itu nampak tersinggung dengan keterkejutan Fatiah, yang bisa dikatakan memang berlebihan, tapi itu murni kaget bukan di buat-buat. Fatiah benar-benar tidak mengetahui pria yang berdiri di hadapannya, pria yang sama yang membuat ia memecahkan kacamata berharga fantastis. “Maaf, saya gak bermaksud gitu,” kata Fatiah, merasa tidak enak hati. Mereka bahkan tidak saling tahu nama satu sama lain, tapi takdir terus mempertemukan mereka. “Hem, ya udah, ini kartu ngajinya.” Fatiah buru-buru memberi kartu itu dan langsung bergegas masuk musholah. Pria itu tidak lain adalah Haikal. Haikal tidak percaya bahwa dia akan bertemu gadis yang sama. Yap! Gadis yang membuat kacamata Bagus pecah karena kecerobohannya. Dan sekarang mereka menjadi rekan mengajar. Sungguh takdir apa ini? “Ustadzah, itu siapa?” tanya para santri antusias menyambut kehadiran Haikal. Fatiah bingung. Pasalnya dia juga tidak tahu apa pun, bahkan sekedar nama saja tidak. “Hem, ini ustadz yang bakal ngajar kalian juga.” “Namanya siapa ustadzah?” tanya santri itu lagi. “Hem, coba tanya sama ustadznya, sekalian kalian kenalan sama beliau.” “Ustadzah gak tahu, nama ustadznya? “ Fatiah menggeleng, jujur. Para santri yang tadi mengerumin Fatiah kini beralih pada Haikal. “Ustadz...ustadzah gak tahu nama ustadz. Nama ustadz siapa? “ “Nama kakak, kak Haikal.” “Ustadz Haikal? “ Haikal tersenyum. “Ustadz yang bakal ngajari kita ya?” tanya santri putra. “Iya.” “Ustadz, pasangan ustadzah Fatiah, ya?” tanya mereka polos. “Pasangan?” Haikal refleks melirik Fatiah yang berdiri tidak jauh dari sana. Setelahnya Haikal baru bernafas lega. Fatiah tidak mendengar kata itu. Akan terasa canggung jika kata itu juga terdengar oleh Fatiah. Kesan pertama mereka sudah tidak baik, di tambah hal ini, akan semakin tidak baik. “Cie ustadz Haikal, ngeliatin ustadzah Fatiah.” Fatiah menoleh. Ya Allah, kok jadi gini? **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD