“Mau ke mana Iah? Rapi banget,” tanya Rani. Gerak-gerik Fatiah yang nampak grasak-gerusuk, berhasil mengalihkan perhatian Rani dari layar ponselnya.
Terlihat Fatiah tengah kerepotan menggunakan jilbab seraya memasukkan Al-Quran dan beberapa buku dan pulpen ke dalam tote bag berwarna putih tulang.
“Ini, Mbak, mau ngajar ngaji,” jawab Fatiah seadanya.
“Eh, sejak kapan kamu ngajar ? Emang kamu nanti gak keterteran apa? Ngajar, sekolah, hafalan?”
Fatiah mengambil kaos kaki berwarna biru muda. “Hem, doain ya, mbak, semoga bisa ke atur semua.”
“Yah, kamu pergi dong. Aku sendirian di kamar. Lail, Lingsi dan Bila, kapan pulangnya? “
“Hem, paling bentar lagi mbak. Kata mereka sih gak lama, cuman bi buku doang di toko buku dekat sini.”
Fatiah menyematkan tote bag di bahunya, meraih sepatu casual untuk di tenteng dan di gunakan di teras mahad.
“Kalo gitu, aku pergi dulu ya, mbak. Tadi sebenarnya aku udah izin ke ustadzah, tapi takut beliau lupa. Kalo beliau tanya, tolong kasih tahu ya, mbak. Aku kemungkinan pulang setelah magrib.”
“Hem,” Rani mengangguk pelan.
“Bissmilah ....” Fatiah menarik nafas panjang, menepis rasa gugup di benaknya.
Ini pengalaman pertama Fatiah mengajar, sebelumnya Fatiah selalu tidak berani untuk mengambil langkah ini. Menurut Fatiah menjadi seorang guru, terutama guru ngaji merupakan langkah besar dalam hidupnya, banyak ketakutan yang membayangi langkahnya, membuat ia selalu mundur ke belakang. Tapi liatlah sekarang? Bagaimana Allah dengan segala rencananya mengajarkan Fatiah akan arti keberanian. Cobaan yang datang menarik Fatiah untuk berani melangkah maju.
Sejarah telah membuktikan, banyak orang hebat yang terlahir setelah beragam cobaan.
Nabi Muhammad SAW, beliau orang hebat yang bahkan pengaruhnya masih bertahan setelah berabad-abad lamanya, beliau orang yang begitu Allah cintai, mendapat kedudukkan sebagai manusia terbaik di dunia, namun liatlah, menjadi orang yang di cintai Allah tidak lantas membuat hidup nabi Muhammad, serba diberi kemudahan. Nabi Muhammad kehilangan ayahnya, bahkan sebelum ia lahir, lalu kehilangan ibunya saat usianya masih belia dan harus berpindah-pindah ke sana ke mari dalam asuhan. Itu saja belum cukup, bahkan saat beliau diangkat menjadi nabi, semua masalah tidak surut menimpah beliau. Beliau di caci, di maki, dan di hina bahkan diusir dari kampungnya. Saat beliau berdakwah di gunung. .. beliau di lempari dengan batu hingga keluarlah darah dari wajahnya.
Beliau yang begitu mulia di sisi Allah saja, mendapat cobaan, lalu bagaimana bisa kita yang hanya manusia biasa mengeluh saat cobaan datang?
Terkadang cobaan datang bukan untuk membuat kita lemah tapi mengajarkan kita untuk menjadi kuat.
Besi yang kuat tidak akan kuat sebelum melewati proses penempahan yang panjang, di bakar, di pukul, dan semua proses itu mengantarkan besi menjadi benda yang kuat.
Mulai sekarang berhentilah mengeluh akan cobaan yang datang. Ubah mindset dan tersenyumlah saat cobaan datang karena cobaan merupakan bentuk lain kasih sayang Allah yang ingin menjadikan kita manusia yang kuat.
Mustahil orang yang kuat tanpa adanya latihan.
Cobaan adalah latihan terbaik yang Allah berikan pada hambanya. Tidak perlu takut akan cobaan, karena kita memiliki Yang tidak terbatas, pemiliki seluruh alam, kita hanya perlu mengangkat tangan, seraya berbisik, Ya Rabb, tidaklah semua ini ada kecuali dengan kehendak Mu. Maka dengan kebesaran-Mu, jangan pernah biarkan hamba mengurusi masalah hamba sendirian. Janganlah Engkau biarkan hamba meski sekejap saja.
“Neng, yang pesen ojek online, kan? “
Fatiah tersadar. Buru-buru ia berlari kecil, menuju pagar mahad. “Iya, Bang.”
“Ke daerah mushola di sini ya, Neng?“ tanya pria itu memastikan sekali lagi, seraya menunjukan layar ponselnya.
“Iya, Bang.”
“Oke kali gitu Neng. Ini helmnya.”
Fatiah menerima helm itu. Sekali lagi Fatiah menarik nafas panjang, sebelum naik ke motor.
In syaa Allah bisa.
Bissmilah...
**
“Masyallah, udah kek ustadz aja Lo, Kal,” kata Dzawin seraya menggeleng-geleng dramatis mengamati penampilan Haikal.
Haikal menggunakan baju koko qurta berwarna putih, berbahan dasar katun dengan model seperempat lengan. Terdapat list hitam di lengan tangan dan sekitar empat kancing serta kera bajunya. di padu padankan dengan celana hitam chino pants dan sneakers warna putih. Jangan lupakan, jam tangan berkepala besar yang melilit pas di pergelangan tangan Haikal. Terlihat modis dan juga agamis.
“Gue gak bawa gorengan,” sahut Haikal seraya melepas sepatunya, setelah meminta izin masuk ke dalam rumah.
“Lo pikir gue preman apa. Pake acara bilang gitu. Gue muji Lo, bilang makasih gitu kek.”
Haikal mendengus. “Lo muji atau ngejek, Ha? “
“Ye, gue mah tulus muji kali. Lo keliatan ke ustadz muda...” kata Dzawin lagi.
“Eh tapi jangan geeran ya Lo, gue tuh sebenarnya muji baju kokoh Lo. Berkat baju Lo, Lo keliatan kayak ustadz,” tambah Dzawin cengengesan. “Kalo Lo mah jauh dari ustadz. “
“Kal, kemarin gue udah tanya, katanya Lo langsung di terima, hari ini langsung ngajar. Lo bisa, kan?” tanya Dzawan sembari menyodorkan beberapa camilan pada Haikal.
“Hem, bisa.” Haikal berpikir sejenak. “Tapi selain gue, ada yang lain juga, kan ngajar ? Maksudnya gue gak sendiri gitu. Gue bingung kalo ngajar sendirian.”
“Gak. Ada dua orang yang ngajar, Lo sama satu lagi ngajar santri putri.”
“Kemarin di telepon kata Lo banyak orang kok sekarang tinggal dua sih? “
“Iya. Awalnya ada dua ustadz. Nah itu alasan kenapa Lo di suruh langsung ngajar, karena ustadznya tiba-tiba tadi siang ada urusan mendadak, jadi harus balik kampung.”
“Gak perlu cemas, Kal. Anak-anaknya gak nakal kok, paling jauh juga cuman gigit tangan Lo,” sahut Dzawin masih mode dengan cekikingan. “Gak sakit kok paling bengkak doang. Tapi mereka tuh unyu-unyu bet loh, Lo pasti suka.”
Haikal mendengus. “Udahlah, gue males dengar bacot Lo. Buruan yuk, anterin gue ke musholah. Gue gak mau telat.”
“Eh ...takut telat? Emang udah telat,” sahut Dzawin enteng. “Tuh liat jam, ngajinya mulai jam empat sekarang dah setengah lima.”
“ASTAGFIRULLAH !” Haikal refleks langsung bangkit dari sofa. “Eh parah banget kalian berdua! Kenapa gak ngomong dari tadi! “
“Serius Kal, gue juga lupa,” sahut Dzawan sungguh-sungguh.
Keduanya kompak langsung menatap tajam Dzawin yang masih sibuk dengan tawanya.
“GAK LUCU! “ sahut keduanya kompak, bagai paduan suara yang seketika menyetopkan tawa membahana Dzawin.
Dzawin tergugah, menatap keduanya yang sejak tadi sudah melempar tatapan panas. “Gue tuh mau kasih tahu dari tadi. Ya cuman, kalian kan tahu, gue kan tipe orang yang gak enakkan banget. Gue gak enaklah nyela obrolan kalian. Makanya gue diam aja,” sahutnya kalem, di sisa bibirnya masih terlihat gelombang tanda tawa yang ditahan.
Haikal memutar bola matanya. “Tempatnya gak jauh dari sini, kan? Buruan anterin gue ke sana.”
Dzawan refleks mengaruk tengkuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal, mendengar pertanyaan mengenai letak mushola itu. “Gak jauh sih, tapi lumayan.”
“Lumayan? “
“Iya, lumayan kalo jalan kaki mah.”
“Ya udah naik motor aja. Gue kan bawa motor.”
Dzawan tersenyum kecil. “Nah kendalanya itu. Motor kita lagi di pake mama ngaji di komplek sebelah.”
“Ya udah, salah satu di antara kalian aja yang anterin gue. Entar pulangnya, kalian bawa motor gue lagi aja. Terus kalo gue dah selesai ngajar, gue telepon kalian buat jemput.”
“Nah masalahnya itu—“
“Ya Allah, masalah apa lagi sih?” sela Haikal keki mendengar kalimat ‘masalahnya itu’. Lagi dan lagi, di waktu seperti ini.
“Gue gak ingat tempatnya. Dzawin yang tahu. Tapi Dzawin gak tahu harus nemuin pak Ustadz siapa, gue yang tahu.”
“Ya udah Lo kasih tahu aja siapa nama ustadznya. Biar gue sama Dzawin yang cari.”
“Masalahnya itu—“
Ha! Haikal menghela nafas keras. Kalimat sakti itu lagi.
“Ada lima orang ustadz Syam yang namanya sama.”
“Ya Allah, ribet bener yak! “Haikal mendesah kesal. “Ya udahlah kita boceng tiga aja.”
“Eh, ogah gue. Lo kira gue cabe-cabean, Lagian itu kan ngelangar aturan berkendara,” sahut Dzawin, menjelma menjadi polantas dadakan. “Gimana kalo kita pergi berdua aja? lagian gue tahu kok ustadz Syam yang mana.”
Seketika hening.
Haikal dan Dzawan menatap tajam Dzawin.
“Kan udah gue bilang, gue tipe orang yang gak enakkan. Gue gak enak nyelah obrolan ka—“
“DZAWIN!!! “
**