XIII

1806 Words
“Bu, Haikal pergi dulu ya.” “Eh, tumben pagi banget. Baru jam enam loh, dek.” “Iya bu, itu, soalnya mau, hem..” Haikal mengaruk tengkuk kepalanya yang memang terasa gatal tiba-tiba karena bingung harus menjawab apa. Rencana pertama yang gagal tidak akan menyurutkan tekad Haikal untuk menemukan penulis cerpen auksin. Kali ini Haikal sudah memiliki rencana baru untuk menemukan penulis itu, rencana yang mendapatkan sponsor Fauzan sebagai pendana. “Tapi.. Haikal tetap bolehkah berangkat sekarang, Bu?” Ita nampak menimbang. “Ada yang Haikal kerjaiin, Bu. Kalo berangkat kayak biasa bisa telat. Haikal juga gak baik angkot bu Haikal mau bawa motor. Biar aman.” “Loh, bukannya kamu paling malas bawa motor?” “Iya bu, tapi hari ini tuh biar, hm...” Haikal melirik jam tangan yang terlilit di tangan kanannya. “Bu, udah jam enam lewat tiga nih. Haikal pergi ya.” “Iya, udah, kalo gitu hati-hati di jalan. Jangan ngebut mentang-menatang jalan masih sepi.” “Iya.” Haikal langsung menyalimi tangan Ita dan pamit pergi. Haikal tersenyum sepanjang jalan, rencana itu berputar bak video di kepala Haikal. Haikal membayangkan rencananya menyebarkan selembaran berisi cerpen Auksin. Siapa saja yang bisa melanjutkan cerpen itu akan mendapat hadiah dari Haikal. Dan jawaban yang sama dengan cerpen auksin asli, itu artinya dia penulisnya. Dan untuk menjalankan rencananya itu, Haikal terlebih dahulu harus mengambil selembaran itu di percetakan brosur. Haikal sengaja berangkat pagi agar tidak terlambat datang ke sekolah karena percetakan memiliki rute yang berbeda dari rute sekolahnya. “Eh, berhenti! “ Haikal tersentak kaget. Motor yang dia kendarai seketika terhenti, tepat di hadapan pria yang menggunakan baju berkancing terbuka dari atas sampai bawah, memperlihatkan tulang-tulangnya yang hanya di balut daging tipis. Meski begitu tatapannya tajam menyalak, seperti kobar api yang hendak melahap Haikal. “Nepi dulu ke sana....” perintahnya. Hawa bahaya sudah terasa, tapi suara bariton pria itu membuat Haikal seperti tersugesti dan dengan bodohnya menurut saja. “Ada apa ya, Bang? “ tanya Haikal, berusaha tenang. “Bagi duit.” “Ha?” “Buruan!” “Tapi, Bang.....” “Buruan! Atau Lo mau gue panggil teman-teman gue?” Pria itu mengerjap, menertawakan ketakutan yang nampak di wajah Haikal. Haikal terjebak. Kepalanya mencari cara untuk terbebas. “Eh, bocah jangan sok melawan ya Lo! Buruan kasih uang Lo!” “Gak ada, Bang.” Haikal menahan tangannya yang gemetar di balik stang motor. “Eh, gak usah bohong ya Lo! Lo mau mati sia-sia.” Deg. Sial, jantung Haikal malah membuat konser dadakan. Logikanya tidak boleh tumpul sekarang. “Bentar, Bang.” Pria itu sedikit mundur memberi cela untuk Haikal Haikal tersenyum mendapatkan kiriman jawaban dari kepalanya. Tangan Haikal bersiap memacu gas. Tapi naas pergerakannya terbaca. Dengan cepat pria itu menahan ujung motor Haikal, Haikal hampir terjengkang ke belakang, beruntung kesialan itu belum sampai datang. “Berani ya Lo kabur dari gue!” Pria itu mencengkam keras bahu Haikal. Adrenalin Haikal terpacu. Tanpa pikir panjang, Haikal kembali menggas tiba-tiba motornya. Pria itu hampir terjatuh karena hal itu. Pria itu berdecak keras. Merasa terhina. Kepalan tangan melayang di udara. Haikal berhasil mengelak. Serangan pria itu gagal. Haikal memanfaatkan kesempatan untuk kembali kabur. Dari kaca spion, Haikal melihat pria itu nampak kesal karena mangsanya berhasil melarikan diri. Haikal bernafas lega. Dia berhasil. Untuk pertama kalinya Haikal tidak dipukul mundur oleh rasa takut. Dia bisa mempercayai dirinya. Haikal tersenyum sumringah. Ini pencapaian bersejarah dalam hidupnya. Tapi kesenangan itu tidak berlangsung lama. Segerombolan motor kembali menghadang Haikal. Motor Haikal dipepet untuk menepi. Haikal tidak menemukan jalan keluar. Ia terpaksa menepi. Tawa membahana beriringan suara bising kenalpot mereka. Haikal meringgis, telinganya terganggu suara yang ada. Dari dalam rombongan itu, keluar pria tadi. Wajah kalahnya sudah berubah menjadi sergaian tipis, seolah mengatakan, selamat datang kembali. Haikal muak! Ingin rasanya ia membalas seregaian itu dengan tatapan tajam, tapi itu terlalu beresiko. Bagaimana pun Haikal harus ingat, kalo dia sendirian. Tidak ada manfaatnya terlihat melawan diantar orang yang siap mengeroyokmu kapan saja. Haikal memilih menunduk menyembunyikan tatapan tajam nan muaknya. “Tadi Lo melawan banget. Sekarang nunduk kayak nenek-nenek mau nyebrang,” katanya, tidak lucu sama sekali, tapi di sambut tawa oleh teman-temannya. “Kayaknya Lo udah sadar, kalo ini daerah kekuasan gue. Jadi Lo harus bayar! Serahin semua uang Lo!” “Bang, dari mukanya sih, dia kayak anak orang kaya sih. Minimal uang gocap ada lah, buat kita nongki.” Mau uang itu kerja, bukannya malakin orang! Jelas kalimat itu hanya bisa Haikal telan mentah-mentah. “Ayo buru serahin uang Lo! “ “Gak ada bang,” cicit Haikal. Uang memang tidak seberapa dibanding nyawa, tapi uang ini ia dapatkan untuk masalahnya. “Lo pikir kita percaya?” Haikal tidak bergeming. “Ck! Buruan kalian gleda tuh anak.” Haikal memutar otak. Nuluri untuk mempertahankan bangkit. Tidak semudah itu untuk mengalah. Satu teman pria itu maju selangkah mendekati Haikal. Haikal ancamg-ancanh, menggunakan kesempatan itu untuk kemenangannya. Brak! Haikal langsung memiting tangan orang itu. Decak kaget langsung mengudara. “Kalo kalian gak mundur, tangan teman kalian bisa patah !” ancam Haikal, menyembunyikan kegetiran yang ada. “Aaawww! “ Pria itu meringgis saat tiba-tiba Haikal menekan keras tangannya, sebagai bukti bahwa dia tidak main-main dengan ancamannya. “Bang mundur! Tangan gue sakit nih!” Pria itu berdecak keras. Hal terbaik dari mereka hanya sikap solidaritas yang tinggi. Mereka dipukul mundur demi menjaga keselamatan anggotanya. Haikal memanfaatkan celah yang ada untuk kembali naiki motornya, masih dengan tameng yang belum mau dia lepaskan untuk berjaga-jaga mengenai keamanannya. “Kita udah mundur! Buruan Lo lepasan dia! “ Haikal mengambil ancang-ancang untuk kabur timingnya harus pas. Salah sedikit saja, Haikal bisa kembali dalam bahaya. Satu... Dua... Tiga... Haikal memacu motornya kencang, bak mengudara di langit. “Hey! s****n Lo! “ teriakkan itu seperti nyanyian kemenangan di telinga Haikal. Dua aksinya kembali berhasil. Haikal memacu motornya membelah jalan pagi yang masih berembun. Jalan raya sudah mulai berpenghuni kendara yang lalu lalang, bersamaan dengan matahari yang nampak malu-malu memperlihatkan sinarnya dari arah timur. Langit biru tergradiasi semburan orange yang sangat memanjakan mata siapa saja yang melihatnya. Jika saja Haikal tidak dirundung perasaan cemas. “Ya Allah...” Haikal bergumam pelan, tidak habis pikir dia bisa seberani tadi. Jantungnya masih bertalu kencang, pertanda hal tadi masih berefek besar pada dirinya . Rasa-rasanya, hari ini semua yang Haikal lakukan berhasil membuat adrenalinnya terpacu sangat kencang. Haikal tidak tahu apa yang terjadi padanya. Akhir-akhir ini dia sering melakukan hal yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Berkali-kali, Haikal melirik ke kaca spion. Dia sudah melaju jauh, mustahil mereka kembali mengejarnya. Tapi Haikal hanya ingin terus memastikan bahwa dia benar-benar sudah aman. “Ketenangan itu datangnya dari Allah. Kalo lagi gelisah dzikir obat yang paling mujarab. Insyallah tenang.” Haikal mendongak. Suara itu keluar dari jendela metromini yang bergerak seiring dengannya. Dzikir. Ya! Haikal lupa itu. Haikal mulai merapalkan dzikir-dzikir yang membuat hatinya mengembun. “Gimana udah tenang ?” Haikal kembali mendongka, tersugesti mengangguk pelan. Laju motor Haikal melambat, seiring sadarnya dia akan fakta, pada siapa dia mengangguk? Metromini melaju stabil meninggalkan Haikal yang keheranan. Haikal menatapi buntut metormimi yang sekarang makin jauh dari pandangannya. Bruk! Seperti mendapat pukulan dadakan, tanpa angin, tanpa hujan, Haikal jatuh sendirian dari motornya, terpental ke tepi jalan di sambut rumput hijau yang entah menyambut atau mengejek. Haikal mendadak menjadi bintang jalanan, semua tertuju padanya, menghentikan sesaat aktivitas di jalan. Haikal tidak hanya merasa nyeri pada kakinya yang terbentur batu, tapi juga menahan malu karena menjadi pusat. Haikal merasakan ada yang ganjil dari kantong belakang celananya. Haikal panik. Amplop cokelat itu tidak boleh hilang. “Astagfirullah, uangnya mana? “Haikal meraba saku kantong celana SMA-nya, berkali-kali. Mungkin terlewati. Tapi tidak ada apa pun di sakunya. Sia-sia semua aksi heroiknya tadi. Lembaran uang itu tetap lepas dari tangannya. “Gagal lagi.” . . “Assalamualaikum warahmatullah...” Fatiah menoleh ke kiri, mengakhiri salat subuh berjamaah di aula. “Ke mana yang lain, kenapa gak salat subuh berjamaah di aula?” tanya ustadzah Lala, mengedarkan pandangnya. Dan hanya didominasi anak kamar enam, Fatiah, Billa, Lail, Lingsi, Rani. Dan hanya ada Lila dari kamar lain. “Pada salat di kamar masing-masing kali ustadzah,” sahut Rani. “Astagfirullah. Kenapa pada salat di kamar? “ “Tadi ana udah keliling bangunin yang lain, mereka bilang mau salat di kamar aja,” tambah Fatiah. “Pada ngantuk ustadzah, kan semalam kita kajian sampai malam,” Rani sebenarnya sedang menyuarakan matanya yang sudah demo untuk lanjut tidur lagi. Ustadzah Lala menggeleng pelan. “Rani, tolong kamu data siapa aja santri yang gak salat jamaah di aula.” “Iya ustadzah. Afwan ustadzah, ana ambil kertas sama pulpen di kamar dulu. ” Rani berdiri, semi berlari ke kamar. Di benaknya berbisik untuk kembali tidur. “Sekarang kita baca Al-Waqiah ya,” kata ustadzah Lala. Fatiah dan yang lain beranjak mengambil Al-Qur’an di rak buku. Saat mereka mengambil, tiba-tiba Lila meringkuk di lantai. “Lila kenapa? “Fatiah mengerjap, menyentuh pelan pundak Lila berniat membangunkan jika memang gadis bertubuh mungil itu tertidur tanpa sengaja. Tapi melihat mulut Lila yang mengap-mengap seperti ikan kekurangan air, mematahkan hipotesis Fatiah. “Asmanya kambuh,” bisik Billa. “Ustadzah....Lila sakit!” kata Lail langsung heboh. Membangkitkan ustadzaah yang tengah khidmat memutar tasbih. “Ya Allah, Lail tolong minta anak kamarnya buat ambil semprotan alat bantu Lala. “ “Iya Ustdazah.” Fatiah segera memangku kepala Lila, mengamankan tempurung kepala Lila jika tiba-tiba dia bergerak asal. “Lingsi, tolong kamu ambilin minyak kayu putih di kantor TU.” “Iya, Uss.” Lingsi berlari kecil, terprogram kecemasan yang ada. Billa bergerak memijat-minjat kaki Lila, sedangkan ustadzah menolong memijat tangan Lila yang dingin. “Ustadzah, ini obatnya.” Lail datang bersama Gina yang merupakan teman satu kamar Lila. “Dari kemarin Lila kecapean, Ustadzah. Makanya asmanya kambuh,” kata Gina. Ustadzah Lala menyemprotkan benda yang mirip pipi itu ke mulut Lila. Tapi tidak ada respon. Lila masih kesulitan bernafas. “Kayaknya kita bawa Lila ke rumah sakit aja, dia butuh oksigen,” kata Ustadzah Lala. “Lail tolong kamu pesenin mobil online ya.” “Iya, ustadzah.” Lail berlari ke kamar untuk mengambil ponselnya. “Argh, sakit...” lirih Lila, sangat pelan yang hanya mampu Fatiah dengar karena Fatiah memangku kepala Lila. Fatiah bingung harus menolong apa. Fatiah hanya bisa memberi minyak kayu putih di sekitar da*da Lila. Agar sesak nafasnya reda. “Ustadzah, mobilnya udah datang.” “Fatiah, Billa, tolong bantu angkat Lila ya.” Mereka bersama-sama membatu mengangkat Lila. Keadaan Lila membuat heboh satu mahad. Semua santri yang dari tadi enggan keluar kamar, muncul di ambang pintu, penasaran apa yang terjadi. “Fatiah, Billa, kalian ikut ya,” ajak ustadzah Lala, menahan Billa dan Fatiah yang sudah masuk ke dalam mobil. “Gina, kamu tolong ya, jaga mahad,” kata Ustadzah. “Iya Ustadzah.” **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD