XII

1501 Words
“Coba liat, ini tulisan kamu bukan? “ Haikal menyodorkan secarik kertas pada murid yang hendak masuk ke kamar mandi. “Bukan.” “Oh...iya.” Haikal menghela nafas panjang, waktu berlalu begitu cepat. Tidak terasa dua jam telah berlalu, Haikal melirik jam tangan miliknya, sebentar lagi bel masuk berbunyi. Haikal mendesah pelan, kegagalan seolah di depan mata. “Eh, ini tulisan kamu bukan? “ “Bukan.” “Seriusan bukan?” Haikal menghandang murid itu. “Coba diliat baik-baik dulu,” desak Haikal, tidak ingin aksinya kali ini gagal lagi. “Iya bukan! Gue mau masuk kamar mandi, Lo bisa minggir gak sih! “ Bel berbunyi. Haikal menunduk lemas. Dia harus menelan pahit kenyataan yang ada. “Bang, udah bel. Yuk kita balik ke kelas,” bisik Dzawin. Dzawan menoleh. Masih enggan beranjak dari tempat mereka memperhatikan Haikal dari jauh. Awalnya mereka hanya ingin ke kamar mandi untuk merapihkan rambutnya tapi tidak jadi setelah melihat Haikal berdiri di sebelah pintu kamar mandi, masih berusaha mencari penulis cerpen itu. “Haikal keras kepala banget ya,” gumam Dzawin. “Yuk kita ke kelas.” Dzawan berbalik. Langkahnya langsung di susul Dzawin. “Haikal kenapa belum balik juga ke kelas? “gumam Dzawin. “Pagi anak-anak,” sapa bu Risma. Batang hidung Haikal belum juga terlihat muncul di ambang pintu, Dzawin menoleh kecil ke belakang. “Haikal beneran cari masalah.” Dzawan mengangguk, membenarkan. Bukan rahasia umum lagi, kalo bu Risma terkenal dengan predikat disiplin dan tegas dalam menghadapi kenakalan remaja. Bu Risma tidak akan mentolelerin hal-hal semacam, bolos, tidak mengerjakan PR dan sebagainya. “Siapa yang gak masuk hari ini? “ “Gak ada, Bu,” jawab murid serempak. Dzawan dan Dzawin melirik ke bangku Haikal yang kosong. Berharap bangku itu berubah menjadi tak kasat mata. “Itu kenapa ada bangku yang kosong? Siapa yang duduk di situ? “ Bu Risma menatap ke arah Dzawin. Dzawin terbelalak, tangannya gemetar di bawa meja. Mulutnya tergagap hendak menjawab. “Haikal, Bu.” “Ke mana Haikal, nya? “ “Itu, Bu, di kamar mandi.” Tenggorokan Dzawin terasa kering kerontang. “Oh...” Bu Risma bergumam pelan. “Pagi-pagi udah langganan kamar mandi aja.” Dzawan dan Dzawin bernafas lega untuk sesaat. Fase aman masih ada. Tapi akan segera sirna jika Haikal tidak juga menampakkan dirinya. “Dek, buruan kamu WA, Haikal. Suruh dia balik ke kelas,” desak Dzawin. “Iya, Bang, udah dari tadi. Tapi ceklis satu.” “Duh gawat nih.” “Wasalam deh, Bang.” Pelajaran berlangsung setengah jam. Ketakutan Dzawan dan Dziwan mulai ter-realitas. Bu Risma melirik bangku Haikal. Dahinya berkerut banyak. “Teman kamu itu, gak balik-balik ke kelas? “tanya bu Risma, mata bu Risma menatap tas Haikal yang tergolek di bangku. Bulu kuduk Dzawin meremang, di balik kacamata tebal terlihat tatapan tajam yang menghunus. Atmosfer ketakutan menyebar, hinggap di semua benak murid. “Dia bolos? “ Hanya desir angin yang menjawab. “Ibu gak akan mentolerin tindakan seperti ini! “ Hentakan meja selaras dengan degup jantung di kembar. Haikal emang cari masalah! “Selesai pelajaran ibu, bawa tas dia ke meja ibu.” Dzawin mengangguk kaku. “Suruh dia menghadap ibu nanti saat jam istirahat!” . . “Apa alasan kamu bolos pelajaran ibu? “ Haikal menunduk dalam, menatap kosong ubin lantai berwarna putih, jantungnya berdegup sangat kencang, keringat dingin sejak tadi sudah memenuhi wajahnya, mulutnya terkantup rapat, tidak tahu harus apa. “Jawab kalo ibu tanya!” suara bu Risma naik lima oktaf. Haikal tersentak, jantungnya makin berirama cepat. Udara seolah terasa pahit, beragam sorot mata terasa seperti sedang mengulitinya. “Kenapa, Bu?” tanya Bu Fatmah, guru satu veteran dengan bu Risma, yang baru saja masuk ke ruangan guru. Bu Risma mengatur nafas yang memburu. “Udahlah, Bu. Jangan marah-marah, entar darah tingginya kambuh. Mending makan dulu, saya tadi sempat mampir ke toko kue, kuenya enak-enak.” Bu Fatmah menyodorkan beragam kue yang sudah di letakan di piring untuk bu Risma. Senyum terbit di wajah bu Risma. Raut wajah lembut kembali hadir, tak kalah membayangkan betapa lezatnya susunan kue berwarna-warni yang tentunya menggoda selera. Haikal bisa sedikit bernafas lega. “Makanya nak, kamu itu masih muda. Mau jadi apa kalo sekolah aja suka bolos,” kata bu Fatmah, mengingatkan Haikal. “Makanya, Bu, saya kesel banget sama anak-anak yang suka bolos gini. Negara kita tuh memerlukan pemudah yang hebat, mereka yang kelak bakal memegang negara ini. Apa jadinya kalo pemuda yang jadi harapan bangsa malah bolos gini? Mau jadi apa negara kita, berharap sama bunga yang layu.” Haikal tertegun, raut wajahnya meredup. Kepalanya makin menunduk dalam. Bu Risma menghela nafas panjang, “Karena kamu udah bolos, ibu kasih kamu hukuman, hormat ke tiang bendera sampai pulang sekolah. Terus gantiin pak Mamat bersihin lapangan belakang.” Haikal mengangguk patuh, langkahnya perlahan mundur, kepalanya masih tertunduk. “Dia kelas berapa sih, bu Risma? “ “Kelas sebelas IPA satu.” “Saya ngajar kelas itu. Tapi saya gak tahu sama dia. Kayaknya dia bukan murid yang suka ribut di kelas ya? “ “Iya, biasanya lempeng aja. Gak tahu kenapa hari ini dia bolos, Bu.” Haikal mendengar dari jauh percakapan bu Risma dan bu Fatmah di meja yang baru ia tinggalkan. Haikal menghela nafas panjang, langkahnya makin memelan, seekstrem itukah yang dia lakukan? Hilang sudah semua reputasi yang dia bangun. Haikal tidak mau mengedarkan pandangnya, matanya fokus menatap kain bermotif merah dan putih yang berkibar di langit. Tangannya terangkat membentuk disusul mata. Lapangan merupakan tempat sentral yang di kelilingi kelas dan paling sering di lalui semua murid. Selain itu, lapangan juga digunakan untuk pelajaran olahraga. Dan berdiri di tengah lapangan, menjadikan Haikal objek baru yang disoroti. Murid yang sedang olahraga di lapangan memang tidak frontal melihat ke arahnya. Tapi kehadirannya membawa desak-desus tanya di antara mereka. Menerka-nerka apa yang pria beralis tebal itu lakukan hingga bisa dihukum seperti ini. Dari jajaran kelas di dekat lapangan, Haikal banyak dilempari tatapan tanya yang tidak berkesudahan. Sejenis heran dan aneh. Haikal juga mendapatkan tatapan kaget dari beberapa teman kelasnya yang melintas di lapangan. Mereka melihat ke arah Haikal. Haikal berusaha tidak terpengaruh. Matanya hanya menyipit dengan senyum sedikit tersungging jika tanpa sengaja tatapan mereka bertemu. Ilmu tiang tidak sepenuhnya berhasil pada Haikal. Kakinya keram, matanya menyipit, tangannya yang bertengger sejak tadi melayu di sengat matahari. Sampai kapan ini berakhir? Haikal mendesis pelan. Apakah dia harus mulai terbiasa dengan semua ini? “Hukuman bu Risma emang gak ngadi-ngadi, malunya sampai keubun-ubun terdalam.” “Iya, mana panas banget lagi. Kasihan si Haikal.” Dzawin dan Dzawan saling melirik. Tanpa sengaja mencuri dengar percakapan dua teman kelasnya yang baru saja masuk ke kelas. “Bang...” Dzawin memberi isyarat. Dzawan mengangkat kecil bahunya. Pertanda di kepala sedang kosong ide. . . Haikal meraih sapu ijuk. Melanjutkan hukuman bu Risma. Membersihkan halaman belakang. Halaman yang selalu di penuhi daun kering setiap saat. Keberadaan pohon beringin sumber utama daun berwarna kuning kecokelatan itu ada. Haikal mulai menggayungkan sapu ijuk di tangannya, menerbangkan kecil beberapa daun kering ke satu tempat untuk dikumpulkan. Waktu berlalu, rumput-rumput kering itu tidak lagi berpisah. Haikal bernafas lega, sebentar lagi peluhnya akan berhenti menetes. Tapi tiba-tiba angin datang, menjadi musuh baru Haikal. Daun-daun kering kembali berjatuhan, Meluluhlantakkan apa yang sudah Haikal usahakan. Seharusnya ia langsung memasukkan daun kering ke tong sampah. Haikal berdecak, menepis semua keluh yang mulai merorong naik. Tidak ada gunanya mengeluh, hanya akan memperburuk segalanya. Ikhlas. Kunci utama yang Haikal butuhkan. Srek... Srek... Srek... Haikal menoleh. Dzawin dan Dziwan di sana menggayungkan sapu ijuk di tangan mereka. Mereka juga membawa serok untuk langsung membuang daun kering. Bak pahlawan super yang bersinar di mata Haikal. Haikal tertegun untuk sesaat. Mengerjap tidak percaya. Mereka ada di sini untuk membantunya. Mereka tidak meninggalkannya sendiri. Seulas senyum langsung bertengger di wajahnya. “Udah gak usah terkesima gitu. Kita cuman bantui nyapu, bukan super hero yang turun dari langit,” ketus Dzawin. Nada suara Dzawin malah menjadi terdengar seperti melodi di telinga Haikal. Mengalun merdu menambah semangat yang sepat mengendur diterpa angin. “Selesai juga akhirnya.” Dzawan menepis peluh di wajahnya. Waktu bergerak bersama dentingnya, dua jam berlalu tanpa permisi. “Iya, bisa pulang deh sekarang,” sambung Dzawin ikut bergabung duduk di sebelah kembaran yang sekarang selonjoran di pinggir lapangan. Haikal melirik ke arah mereka. Ingin bergabung. Tapi ragu. Langkahnya terus ia tarik kembali. Dzawan dan Dzawin menyadari keraguan Haikal, memilih membiarkan saja. “Pulang yuk.” Dzawan bangkit. “Yuk, Bang. “ “Kal kita pulang dulu ya,” pamit Dzawan, membuat Haikal terperanjat, tidak percaya. Dia pikir mereka marah hingga tidak mau berbicara dengannya. Ternyata itu hanya hipotesis tidak beralasan dari Haikal sendiri. “Kalian masih marah sama gue? “ kata Haikal, akhirnya. Dzawan dan Dzawin menoleh. Ekspresi datar bak tembok. “Gue tahu, apa yang gue lakukan gak semuanya benar. Tapi gue udah buat masalah dan gue hanya ingin bertanggung jawab atas masalah yang gue buat. Gue emang salah dari awal. Gue juga nyusahin kalian terus. Maafin gue ya.” **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD