XLI

2337 Words
“Jadi gimana menurut kamu?” tanya Billa sembari mengulas senyum sumringah. Billa menoleh kecil ke arah Fatiah yang berada tepat di sampingnya, berjalan beriringan. Billa sengaja memperlambat langkahnya agar bisa melihat bagaimana reaksi Fatiah. Biasanya gadis itu akan bereaksi dua kali lipat dari reaksinya. Dua menit berlalu, tidak ada jawaban, Fatiah bahkan tidak sadar, ia sedikit meninggalkan Billa yang memperlambat langkahnya. Fatiah nampak tidak fokus akan pertanyaan yang Billa ajukan, atau malah tidak mendengar sama sekali. Gadis itu berjalan dengan kepala sedikit tertunduk seolah sedang menyapa semua pasir di jalan, sesekali tatapannya sendu dengan jari yang bergerak kecil meremas-remas baku jarinya sendiri. “Iah...” Billa mempercepat langkahnya agar kembali sejajar dengan Fatiah. “Iah, kamu lagi gak enak badan?” Kali ini Billa menepuk pelan bahu Fatiah, Fatiah sedikit terkaget, seolah baru sadar ada orang yang berjalan di sampingnya. “Hem... sakit ?” ulang Billa lagi, yakin Fatiah tidak mendengar pernyataan tadi. “Sakit? Siapa yang sakit?” tanya Fatiah bingung. Billa menggeleng pelan, topik ini tidak terlalu penting, jadi sudahlah... “Jadi gimana menurut kamu, soal yang tadi? Ya atau gak ?” Fatiah nampak bimbang, kepalanya terlihat hendak menggeleng, tapi secara bersamaan juga terlihat seperti mengangguk. Hingga tidak pasti apa maksudnya ya atau tidak. “Hem, terus gimana soal kacamata kak Bagus?” Billa mengalihkan topik pembicaraan. “Lagi ngumpulin uang.” “Kamu masih sedih soal itu ya? “ Fatiah menggeleng pelan. “Bil, menurut kamu hari ini ada jam kosong gak ?” “Gak tahu sih. Kayaknya hari ini gurunya pada rajin masuk semua. Kenapa emang?” “Hem, gak.... “ “Tumben kamu nanyain jam kosong,” tanya Billa lagi tapi lagi-lagi Fatiah tidak menjawab pertanyaan Billa. Billa menghela nafas panjang, menyerah. Akan lebih baik untuk membiarkan hening menemani sisa langkah mereka yang hampir sampai di depan gerbang sekolah. Kegelisahan di wajah Fatiah belum juga reda, meski ia sudah duduk tenang di bangkunya dengan Al-Quran yang terbuka di atas meja, seolah ia sudah siap untuk ikut pengajian pagi sebelum pelajaran di mulai. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Pupil matanya gadis berdarah Jawa itu, malah sibuk melirik pintu yang terbuka, suara langkah kaki atau sesekali jam yang berdetak. Fatiah juga duduk dengan gelisah, terlihat dari gerakan tubuhnya yang terus meremas baku jarinya dengan cepat, kakinya bergerak kecil dan nafasnya yang kadang di buang keras. Tidak biasanya Fatiah seperti ini, dia selalu nyaman di kelas, terbukti dari tingkat malasnya yang selalu konsisten enggan keluar kelas jika sudah masuk ke dalam kelas—jika tidak Billa paksa ke kantin, perpustakaan atau musholah. Selebihnya Fatiah sangat enggan keluar meski jam kosong seharian. Fatiah akan lebih memilih bosan di dalam kelas ketimbang berkeliaran di luar kelas seperti yang dilakukan siswi terkenal di sekolah, untuk sekedar mengenalkan wajahnya pada seluruh penjuru sekolah atau jalan-jalan iseng mengusir penat. Sebenarnya banyak hal yang Billa tidak mengerti dari Fatiah, bukan hanya tentang hari ini saja. Kadang Billa merasa Fatiah seperti buku yang terbuka, dia seolah bisa membaca semua isi buku, namun nyatanya tidak semua Billa mengerti meski bisa ia baca. Fatiah bisa diibaratkan seperti buku, yap, buku filsafat tepatnya. Dan sekarang tiba-tiba Fatiah bangkit, menoleh kecil ke kanan dan kiri kelas, mengamati situasi tanpa menyadari Billa menatapnya dengan kening berkerut. Gadis itu lalu berjalan cepat ke arah pintu kelas, keluar dan tidak juga kunjung terlihat meski lima menit sudah berlalu bahkan saat bu Sri—guru killer yang paling ditakuti seantero sekolah, Fatiah tidak juga kunjung masuk. “Tuh anak ke mana dah?” Billa hendak bangkit, mencari temannya itu, namun tatapan mengintimidasi bu Sri seketika menciutkan nyali Billa. Billa tidak berkutik, terlebih saat Bu Sri sudah melirik intensi bangku yang kosong di sebelah Billa. “Jangan tanya...plis, jangan tanya ...jangan tanya....” rapal Billa dengan tangan berkeringat dingin. “Plis, ya Rabb, jangan tanya.” “Itu siapa yang duduk di situ? Kenapa ada tasnya tapi gak ada orangnya?” “Fatiah, Bu,” sahut beberapa siswa mewakili Billa yang suaranya amat keluh. Billa yakin, kini bu Sri tengah menatapnya dan menunggunya mengangkat kepala. “Duh, si Fatiah ke mana sih...,” Billa meremas baku jarinya, dengan takut-takut Billa mengangkat kepalanya. Billa tersenyum kecil untuk menetralisir perasaan takutnya. “Hem, itu, Bu... Saya juga gak tahu. Mungkin dia ke kamar mandi, Bu,” kata Billa dengan suara gemetar. Bu Sri berdeham keras, menatap tajam Billa yang membuat gadis itu makin takut mengangkat kepalanya. “Coba kamu susulin dia ke kamar mandi sekarang. Waktunya lima belas menit.” Sebuah kalimat yang sedikit menggugurkan rasa takut Billa, dia selamat dari omelan dan kemarahan bu Sri. Tanpa basa-basi, Billa langsung bangkit, mengangguk kecil, izin pamit, dan buru-buru melebarkan langkahnya keluar kelas. Tujuan pertama Billa ke kamar mandi, tidak ada. Ke perpustakaan, tidak ada. “Apa mungkin ke kantin? “gumam Billa, tidak yakin akan hipotesisnya sendiri. “Tapi gak ada historinya Fatiah ke kantin di jam pelajaran. Rada gak mungkin.” Meski ragu, Billa tetap melangkah kakinya ke kantin dengan hati-hati, jangan sampai guru memergokinya dan salah paham. Tapi meski sudah mengambil resiko itu, Billa tidak juga menemukan Fatiah di seluruh penjuru kantin. “Tuh anak ke mana sih...” Billa mulai frustrasi mencari keberadaan sahabatnya yang hilang bak dadakan bak tahu bulat. Bagaimana bisa ia kembali ke kelas dengan tangan kosong, bisa-bisa Billa menjadi santapan empuk omelan bu Sri. Billa bingung, langkahnya jadi gama, harus kembali ke kelas atau memilih bolos. Tapi bolos, hanya akan semakin memperpanjang ceramah bu Sri. Billa pasrah melangkah kembali ke kelas. Dia harus kembali ke kelas meski tanpa Fatiah. “Iya, nak, tolong ya kamu fotocopy-in ini di dekat masjid sana aja.” “Iya, Bu.” Entah ide dan keberanian dari mana, tanpa basa-badi, Billa menghadang siswa yang bahkan dia tidak tahu namanya. Bila mengadang dengan wajah penuh pengharapan, seolah siswa berperawakan tinggi itu seorang peri yang akan bisa membantu kesulitannya. “Mau keluar kan?” todong Billa bak preman magang. “Tolong ya, kalo liat teman gue di luar suruh balik ke kelas, di cariin bu Sri. Tolong banget ya....” “Ciri-cirinya pake jilbab putih, rok abu kayak gue terus ya.. bajunya kayak seragam kita gini,” kata Billa cepat sebelum masa waktunya berakhir dan tanpa berterima kasih atau setidaknya mendengarkan jawaban dari lawan biaranya, sebelum berlalu dengan sangat cepat. Siswa itu mengerjap melirik Billa yang sudah menghilang di balik tembok, tatapan matanya penuh akan rasa bingung dan tercengang akan aksi Billa yang seolah sedang memalaknya, terlebih lagi ciri-ciri yang Billa sampaikan sangat tidak spesifik. Ada ribuan siswi menggunakan rok abu, seragam sekolah dan jilbab putih. “Oh iya.. “ “Astagfirullah! “ Haikal spontan menangkup tangannya di d**a, melampiaskan rasa kaget yang tiba-tiba menyerang dadanya karena keberadaan gadis yang tadi membuat keningnya berkerut. Billa tersenyum tanpa dosa. “Maaf, lupa kasih tahu, namanya Fatiah. Udah gitu aja. Makasih.” Dan Billa secepat kilat telah hilang lagi. Haikal menggeleng-geleng pelan, antara takjub atau lebih tidak habis pikir akan kelakuan siswi yang bahkan dia tidak tahu namanya, meski Haikal tahu dia berada di kelas XI IPA 2. “Bikin orang olahraga jantung aja,” gumam Haikal, berbalik, melanjutkan langkahnya yang lama terhenti. “Tunggu dulu, namanya Fatiah... Fatiah ...” gumam Haikal tanpa sadar, mendengar nama itu, jelas Haikal teringat akan satu sosok.... “Masih nangis gak ya tuh orang....?” “Ya, gak mungkin lah. Ah udahlah, ngapain jadi ingat tuh orang, nama Fatiah banyak kali....” Haikal menepis pemikirannya secepat langkahnya yang ingin segera menyelesaikan tugasnya. “Bang, fotocopy yang ini dua jilid ya....” Haikal meletakkan paper yang tebalnya sendari tadi menyusahkan tanganya ke atas lemari kaca. “Kira-kira lama gak nih, Bang?” tanya Haikal, baru mengangkat kepalanya dan baru sadar juga bahwa sendari tadi ia tidak menjadi fokus abang fotocopy-an. Tertarik rasa penasaran, Haikal juga mengikuti arah pandang abang itu. “Nangis? “ ujar Haikal spontan, saat melihat seorang siswi berseragam sama dengannya, berjongkok di sebelah tiang listrik dengan wajah yang ditenggelamkan penuh di kedua tangannya. “Iya, dari tadi tuh siswi tiba-tiba nangis di sana,” timpal abangnya. “Seragam kalian sama tuh, kenal gak siswi itu siapa? Kenapa nangis? “ Seketika Haikal teringat pesan Billa. Haikal menghampiri siswi itu yang tidak lain adalah Fatiah, meski tidak terlalu mengenal gadis itu, setidaknya Haikal tahu itu Fatiah—orang yang akhir-akhir ini selalu dipertemukan dengannya. Fatiah menangis sampai sesegukan, sangat khusyuk sampai-sampai tidak menyadari akan keberadaan Haikal yang sudah berdiri di sebelahnya. Haikal juga tidak langsung menyapa atau menegur lantaran sungkan untuk melakukan itu. Setiap kali Haikal ingin mengeluarkan suaranya, suaranya seperti tertelan kembali, tidak terdengar sedikit pun. Tangis Fatiah makin menjadi-jadi, mengundang lebih banyak mata yang melihat ke arahnya. Beberapa yang lewat, langsung melempar sorot aneh pada Haikal, yang seolah diduga penyebab Fatiah menangis. Haikal jadi tidak nyaman dan refleks berdeham kuat. Fatiah tertegun, suara tangisnya langsung hilang. Baru Fatiah sadari tangisnya tidaklah diam-diam melainkan mengundang banyak orang bahkan siswa yang sekarang berdiri di sampingnya. Buru-buru Fatiah langsung berdiri dan secepatnya menghapus sisa air mata di pipinya. Tapi sebenarnya untuk apa? Itu sia-sia, Haikal sudah tahu tanpa diberi tahu. Haikal merogoh saku celananya, tergugah untuk memberikan sapu tangannya pada Fatiah yang nampak kesulitan bernafas disebabkan cairan kental yang menyumbat rongga hidungnya. Fatiah dengan ragu-ragu, namun merasa tidak ada pilih lain, menerima sapu tangan Haikal. Fatiah mengusap hidungnya yang merah dan mengatakan akan mencucinya sebelum di kembalikan. “Maaf...” kata Fatiah pelan, tapi mampu Haikal dengar. “Kamu gak sekolah? “Haikal melihat seragam sekolah yang Fatiah gunakan. “Kamu bolos ya?” Praduga itu lolos begitu saja dari mulut Haikal. Fatiah menunduk saja, tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Tapi tiba-tiba Fatiah kembali menangis. Haikal kaget sekaligus berpikir apa perkataannya tadi menyakiti orang. “Eh, maaf... jangan nangis doang, gue, eh, aku, gak maksud ngatain ... Aku cuman nanya, aku gak bakal lapor ke guru kalo kamu bol—.” “Nak kenapa nangis?” Seorang wanita paru baya menghampiri Fatiah yang bahunya bergetar hebat, merangkul tubuh ringkih Fatiah untuk menangkan. “Putus cinta di usia segini itu wajar, jangan dibawa berlarut-larut,” tambahnya sembari mengelus pucuk kepala Fatiah dan sesekali melirik Haikal tajam. Lah kok? Batin Haikal bingung. “Masih banyak laki-laki baik diluar sana.” Haikal tersudut , ia harus membela diri. “S-saya ....” “Hiks... eyang aku meninggal,” sela Fatiah, menghentikan gerak mulut Haikal. Tangisnya makin kencang setelah mengatakan kalimat itu. “Dan.. dan... aku mau salat gaib goib. Tapi...dari tadi mesjidnya ada orang bersih-bersih.” “Kenapa gak minta izin aja sama marbotnya?” tanya Haikal. “Iya, nak, izin aja bentar.” “Aku takut..,” lirih Fatiah, disela tangisnya. “Ya udah, biar aku aja yang ngomong.” Haikal langsung berjalan menuju masjid. Fatiah dan wanita paru baya itu memperhatikan langkah Haikal yang menjauh. Fatiah refleks berhenti menangis, dengan seksama melihat punggung Haikal yang menjauh. Beberapa menit berikutnya, Haikal kembali, memberi anggukan pelan pertanda misinya berhasil.... “Ayo salat.” Fatiah refleks tersenyum lebar, sangat kontras dengan sisa air mata di ujung matanya. “Boleh?” Haikal mengangguk yakin. “Alhamdulillah,” Fatiah bergumam lirih, terlihat raut wajah haru bercampur senang bertumburan dalam satu ekspresi. Mungkin Fatiah bingung, ia bahagia lantaran dapat salat goib untuk eyangnya namun disisi lain dia juga sedih, karena harus teringat akan kepergian eyangnya. “Ayo nak, ibu juga mau ikut,” kata wanita paru baya itu tiba-tiba. “Terima kasih, Bu.” Fatiah tersenyum haru. Dengan beriringan Fatiah dan wanita paru baya itu berjalan ke masjid, sangking bahagianya Fatiah sempat melupakan kehadiran Haikal. Gadis itu teringat kembali saat melihat Haikal melepas sepatunya di teras masjid. “Kamu mau salat?” tanya Fatiah bingung. “Kan belum dzuhur.” “Ehm?” Alis Haikal terangkat. “Kamu mau salat goib, kan?” Fatiah mengangguk bingung “Nah itu,” sahut Haikal, santai. Nah itu? Fatiah masih bingung akan kalimat yang menurutnya multitafsir itu. Apa maksud nah itu? Haikal mau ikut salat goib? Haikal mau salat biasa? Atau Haikal mau salat duhha? Nah itu apa? Belum sempat Fatiah bertanya lebih detail, Haikal sudah masuk ke masjid duluan, suara gemercik air keran bagian pria terdengar, tidak lama Haikal muncul dengan wajah basah, menoleh pada Fatiah sejenak sebelum kembali melangkah masuk ke dalam masjid. “Ayo nak...” wanita paru baya menyenggol lengan Fatiah, menyadarkan Fatiah dari keterdiamannya. “Ayo buruan kita salat, itu teman kamu udah nungguin.” “Ibu turut berduka cita ya, atas meninggalnya eyang kamu.” “Iya, Bu, terimakasih sebelumnya, kita gak saling kenal tapi ibu sangat peduli sama saya. Bahkan ibu juga ikut salat goib. Terimakasih banyak, Bu.” “Iya sama-sama, tugas sesama muslim kan emang wajib saling membantu, jadi apa yang ibu bantu itu bukan apa-apa, ibu cuman melaksanakan kewajiban ibu sebagai manusia.” Wanita paru baya itu tersenyum, meski Fatiah belum bisa sepenuhnya tersenyum lepas seperti biasanya, setidaknya senyum wanita paru baya itu memberi hiburan atas rasa sedih Fatiah. “Boleh ibu tanya sesuatu? Itu beneran teman ya?“ tanya wanita paruh baya itu sembari mengulas senyum. “Terus apa Bu kalo bukan teman? Gak mungkin abang tukang rujak, kan?” Wanita itu tertawa, senyum anehnya makin merekah. “Iya, dulu sewaktu itu bu, juga gitu. Malu-malu kucing.” Fatiah merasa percakapan ini tidak sehat, tapi Fatiah telah tidak boleh menuduhkan, bisa saja maksud ibunya, dia pemalu sewaktu remaja. “Hehehe, iya, Bu...” Fatiah mengangguk-ngangguk canggung, bingung harus merespon apa. “Jarang ada orang yang mau nemenin di masa ya, sulit kayak gini.” Fatiah makin tidak bisa berpositif thinking setelah mendengar kalimat itu, ditambah lagi wanita paru baya itu tersenyum simpul sesekali pada Fatiah dan melirik pada Haikal, seolah tengah menggoda sepasang remaja yang tengah kasmara. “Dia anak baik, kamu juga insyallah anak baik. Cocok. Semoga kalian berjodoh.” Wajah Fatiah seketika memerah, menahan malu ditambah lagi ternyata Haikal mendengar doa itu juga di teras masjid sewaktu memasang sepatu. Sama seperti Fatiah, wajah Haikal tidak kalah anoying. Doa macam apa itu? Mereka saja tidak pernah saling menyapa. Bagaimana bisa berjodoh? . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD