XL

2005 Words
Tiap detik terasa sangat panjang bagi Fatiah. Gadis itu tidak mampu untuk membunuh gelisah yang meraung, mengusik duduk nyamannya berkhalwat dengan lembaran-lembaran paling mulia yang di bawa Nabi penutup—nabi Muhammad SAW. Satu, dua, tiga, empat detik, Fatiah terus menepis rasa gelisah tak bertuan itu. Namun makin di usir, makin ia lengket. Makin ia memenuhi relung di dalam benak Fatiah, membanting semua hafalan yang belum lancar Fatiah lantunkan. Di detik berikutnya, Fatiah menyerah. Dia lelah, jika harus mengusir dirinya sendiri. Fatiah menutup lembaran itu, merebahkan tubuhnya di kasur. Tidak lama bantal yang ia kenakan kembali basah, pada hal atap mahad tidaklah bocor. Tidak ada hujan juga yang menguyur. Tapi dari mana air mata ini? Kenapa dia terus mengalir seolah ada sumber mata air yang bodoh? Apa hatinya yang bocor akan kesedihan, pelakunya? Kalo menangis hal yang manusiawi, kenapa ada orang yang masih terus menanyakan alasan kenapa manusia menangis. Semua orang bebas menangis, bahkan jika tangisnya itu tidak memiliki alasan. Bukankah menangis itu manusiawi? Dia tetap manusia saat dia menangis. Apa yang aneh untuk itu? Kenapa menangis seolah hal paling memalukan? Lambang kelemahan? Lambang ketidak berdayaan? Kali ini Fatiah membiarkan saja air matanya turun, tanpa peduli tatapan Billa yang sendari tadi sudah menyadari kehadiran elemen basah itu. Billa melihat, dan memilih untuk tidak bertanya, lantaran menyadari bahwa saat seorang menangis dalam hening, maka ada luka yang amat sangat nyelekit yang tidak akan sembuh dengan pertanyaan, “kamu kenapa nangis?”. Fatiah hanya butuh ruang, ruang untuk berdamai dengan rasa takut, rasa sedih, dan gelisahnya. Dan Billa memberi ruang itu. Dia tidak mengatakan apa pun saat Rani bertanya, kenapa Fatiah tidak kunjung menyahut saat di panggil. Kenapa dia diam saja saat di tanya. “Eh, kita keluar yuk, beli cilok,” ajak Billa, mencoba membujuk semua orang agar Fatiah memiliki ruangan untuk menangis. “Gak ah. Udah malam tahu,” sahut Lail. “Ih, gak masalah. Sekalian hirup udara malam. Seger tahu,” usaha Billa lagi. “Entar gak di bolehin ustadzah, Bil,” celetuk Lingsi yang nampak tertarik akan tawaran Billa. “Biar aku yang minta izin. Ustadzah tadi pengen makan cilok juga, sekalian alibi buat keluar.” “Eh, boleh juga tuh Bil.” Rani bangkit. “Kuy lah guys, sekali-kali ini kan. Lail, Lingsi, Fatiah, kuy lah.” “Yuk lah, enak juga jalan-jalan ke luar.” Lail tertular antusias, gadis berperawakan asian itu bahkan sudah menyambar jilbab dan roknya, pertanda sangat siap untuk keluar. “Aku juga mau ikut deh. Mau beli minuman aja,” Lingsi menyahut. “Nah gitu dong, eh, Fatiah, kamu gak mau ikut ?” Rani mendekati Fatiah, tangannya hendak meraih pundak Fatiah, beruntung dengan sigap Billa menghentikan tangan Rani, sebelum gadis berdarah sunda itu membalik tubuh Fatiah yang sendari tadi membelakanginya. “Udahlah Kak, Fatiah lagi tidur kali. Biar dia jagain kamar aja.” “Oh, dia tidur, kan? “ Billa hanya berdeham pelan. “Ya udah, yuk kita keluar sekarang.” Mereka semua pergi, Fatiah menyadari itu dari derup langkah ramai yang perlahan menjauh. Fatiah menghembus ingus yang sendari tadi ia tahan—bernafas dengan lendir di hidung bukanlah hal mudah. Terasa sangat sulit untuk menarik atau menghembuskan nafas, beruntung ada mulut yang mampu menggantikan sementara fungsi hidungnya yang sudah merah. “Ya Rabb...susah banget nafas,” keluh Fatiah miris, dia mengusap cuping hidungnya dan menarik nafas panjang, sebanyak-banyaknya, agar hatinya terasa lebih tenang. Tangis Fatiah perlahan mulai reda. Deru nafasnya melambat, tidak terasa matanya mulai mengantup pelan. Tidak lama terdengar dengkur halus, pertanda gadis itu telah terlelap setelah menangis panjang. Selamat tidur......... Notif berbunyi. . . Kelopak mata Fatiah sendari tadi terus bergerak gelisah dalam gelap. Tangannya meraba ke sana-ke mari mencari benda pipih yang disebut ponsel. Ke mana ponselnya? Lirih gadis itu. Ia terlalu malas untuk bangkit menghidupkan sakelar lampu —yang mungkin jika dalam terang akan lebih mudah menemukan benda pipih itu. “Ah sudahlah.” Fatiah malah bangkit menuju kamar mandi dengan langkah gontai. Padahal kamar mandi lebih jauh dibanding sakelar lampu yang berada di tembok depannya. “Mau gimana pun, sakaratul maut memang akan di hadapi semua orang,” kata Fatiah spontan, masih setengah sadar, melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Lantai kamar mandi yang setengah basah, seolah mengantarkan semua nyawa Fatiah seutuhnya. Fatiah baru tersadar untuk apa yang telah ia katakan barusan. “Astagfirullah!” Fatiah menarik langkahnya kembali. “Ngomong apa aku tadi?” desisnya kaget sendiri. Ya Rabb, apa ini? Fatiah kembali lagi ke kasurnya. Menjatuhkan dirinya di sana, berusaha melupakan perkataannya barusan yang terdengar seperti doa. Apa itu doa? Atau firasat ? Firasat bahwa apa yang Fatiah takuti akan terjadi? Fatiah terus berusaha sekuat tenaga menekan kelopak matanya agar sudi kiranya menurut dan berhenti merengek untuk dibuka. Fatiah ingin tidur! Ia ingin melupakan hal tadi. Tapi matanya sangat sulit di ajak kompromi. Bukannya menutup, ia malah mengeluarkan embun dari kelopak matanya. Sungguh aneh.. Dalam hening malam, dimana semua orang tengah terlelap, Fatiah kembali jatuh terpuruk dalam kesedihannya. Ia sudah menunaikan salat tahajud, dua, tiga, empat rakaat, tapi hatinya terus nyeri, tiap kali membayangkan akan kenyataan pahit yang seolah berada di pelupuk mata. “Eyang kritis...kamu harus ikhlas ya. Gak perlu pulang. Jangan dipaksai. In syaa Allah, eyang gak masalah.” Kalimat itu terus berdenging tanpa henti di telinga Fatiah, mengusik hati dan pikirannya. Fatiah bangkit, membuka lemari baju miliknya. Ia berharap ada uang yang banyak, tiba-tiba mengisi dompetnya. Atau ada hujan uang hingga Fatiah bisa memungutnya untuk ongkos pulang. Tapi semua itu hanya terjadi di dunia dongeng. Itu hanya fiksi. Fatiah tidak akan mendapatkan uang sebanyak apa pun ia membuka dompet berwarna orange lusuh itu. Bulan ini menjadi bulan paling berat baginya. Dan semua masalah terus disandung oleh ketidak beradaan uang di dompetnya. Benda yang selalu langkah untuk Fatiah. Benda yang kata orang selalu tidak sepenting itu, hingga tidak perlu untuk diperjuangkan. Fatiah yang naif percaya akan itu. Tapi Fatiah lupa, jika dia berada di dunia, bukan di surga, dimana semua permintaannya akan langsung terkabul. Fatiah harus mengikuti semua aturan dunia. Setelah dipikir-pikir, uang memang bukan segalanya, tapi segalanya di dunia butuh uang. Itu memang terdengar mengada-ngada, tapi begitulah kenyataannya. Tidak masalah jika memperjuangkan uang yang penting sesuai syariat yang benar. Tidak menjadi b***k atas uang, dan tidak menjadi fakir dari uang. Karena tidak selamanya uang itu bersifat duniawi, ada juga peran uang yang bisa bersifat surgawi. Uang juga bisa mengantarkan manusia pada banyak kebaikan, misalnya dengan uang, seseorang bisa membantu fakir miskin, mendirikan yayasan yatim piatu, memberi sedekah, mendirikan masjid, menyokong para ulama untuk mengembangkan keilmuannya. Semua itu akan berujung pada akhirat, dengan pelantara dunia yang dibantu oleh keberadaan uang. Tidak masalah jika umat muslim mencari dan mengejar uang, yang penting dia tahu mana batasan yang diperbolehkan. Umat muslim tidak dituntut untuk selalu menjadi miskin. Miskin tidak berarti bahwa ia akan selalu dekat dengan Tuhannya, dan kaya tidak berarti dia akan terlena pada dunia hingga jauh dari Tuhannya. Uang hanya benda. Tidak bisa membuat manusia menjadi baik atau buruk. Uang tidak juga bisa membuat manusia tamak, gila harta atau terlena. Manusialah yang mengendalikan uang. Manusia yang selalu tidak ingin disalahkan, menganak tirikan uang, mengatakan bahwa uang mengubah dirinya, mengubah sifatnya, mengubah sudut pandangnya. Kalo memang uang bisa melakukan itu, hebat sekali uang, benda mati yang tidak memiliki akal bisa menjadi lebih berakal dari manusia yang memiliki akal? Sering kalo orang yang rakus berkata, “Baik, buruk itu urusan belakangan, yang penting uangnya tebel.” Seolah uang selalu identik dengan kerakusan, sehingga orang-orang yang takut hilang imannya karena uang, memilih mengasikan diri dari memiliki lembaran uang bak mereka. Membiarkan mereka si ‘rakus' untuk terus mengeruk uang sebanyaknya dan mencoba beragam cara untuk menjadikan dunia di bawah kakinya. Uang yang hanya benda disulap menjadi alat mampu menyilaukan semua mata. Uang digadang-gadang menjadi kekuatan paling besar dimuka bumi ini. Saat uang berbicara maka mulut manusia pun mampu dibungkam. Langkah manusia mampu di singkirkan dan nyawan manusia seolah angin lalu. Miris. Tapi inilah nyata pahit dari perjalanan uang. Uang yang dibuat manusia menjadi benda yang paling menakutkan bagi manusia. Tapi ingatlah bawah uang tidak bersalah. Ia hanya mengikuti pemiliknya tanpa bisa banyak protes. Utsman bin Affan, beliau ada orang yang pantut di contoh dalam kepemilikan uang. Uang beliau bahkan masih ada sampai detik ini. Yap detik ini. Aset beliau masih terus berjalan. Uang tidak menjadikan beliau manusia tamak di dunia, uang tidak menjadikan beliau ahli penghuni neraka. Beliau bukti nyata bahwa uang tidak bisa mempengaruhi sifat, karakter, dan pandang hidup manusia. Uang hanyalah benda. Ya benda. Jika digunakan dalam kebaikan akan sangat baik dan jika digunakan pada keburukan akan menjadi buruk. Tidak berlebihan jika uang dikatakan layaknya seperti pisau, baik-buruk berada di tangan pemilik. Fatiah tertegun, bagaimana bisa selama ini ia selalu menyalahkan uang atas sifat borosnya, lalu merasa senang tidak lagi boros karena ketiadaan uang di dompetnya. Pada hal semua itu, bukan tergantung uang. Jika dia memang orang yang bijak, ada arau tiada uang, dia akan tetap menggunakan sebaik mungkin. Fatiah berharap ia memiliki uang untuk pulang..... Dan seketika matanya terlelap.... Fatiah tertidur sekejap ... Sebelum notif ponsel pada pukul dua dini hari, dihari jum'at, menyentak Fatiah dari tidur sesaatnya. “Iah, eyang meninggal dunia.” Satu pesan itu seketika membuat tubuh Fatiah di remas rasa gigil yang hebat. bibirnya bergetar, air matanya bercucuran, tangannya gemetar menerima permintaan otak untuk menuliskan pesan, Inalilahi Wainalillahi Rojiun. Fatiah berjalan dengan tubuh bak ongkahan pohon yang hilang satu sumber kehidupannya, meraih dan mengambil mushaf kecil di dalam lemarinya. Gadis itu tengah bersedih, tengah kehilangan orang yang sangat amat penting baginya. Namun langkahnya tak sampai, tak dapat berlari untuk melihat jasad orang yang ia sayangi untuk yang terakhir kalinya. Tak dapat memeluk, mencium sebagai tanda perpisahan di dunia. Sungguh miris. Eyangnya hadir menyambut kelahirannya di muka bumi ini, tapi Fatiah bahkan tidak bisa hadir itu melepas kepergian eyangnya di peristirahatan terakhirnya. Fatiah tidak bisa berbuat apa-apa akan keadaan. Ia hanya bisa mengirim doa untuk eyang yang amat sangat ia kasihi, amat sangat ia sayangi, agar lancarlah jalannya menuju keabadian. Derai air mata mengiringi setiap lantunan ayat suci yang Fatiah bacakan, rasa-rasanya, Fatiah masih enggan percaya bahwa kenangan yang berputar di kepalanya kini, hanya kenangan yang tidak akan bisa di ulang bersama eyangnya lagi. Kenangan yang kini hanya bisa dikenang tanpa bisa dirasakan kembali. Kenangan yang tetap hidup meski eyang tidak lagi membersamai. “Eyang Fatiah rindu eyang. Eyang, maafin Fatiah gak bisa temenin eyang ke rumah baru eyang. Eyang, Fatiah selalu rindu eyang. Eyang, Fatiah rindu tidur dipeluk eyang. Fatiah rindu tidur di samping eyang. Fatiah rindu mendengar semua cerita eyang. Fatiah rindu bercerita pada eyang mengenai impian masa depan Fatiah. Eyang... Fatiah akan selalu rindu dan rindu eyang. Fatiah mungkin gak bisa datang ke sana, tapi doa Fatiah akan selalu menemani eyang. Eyang.... Fatiah kuat kok, walau matanya masih nangis. Tadi udah sempet berhenti dikit nangisnya, tapi pas ingat kenangan eyang, jadi nangis lagi.... Eyang..... Fatiah berharap kelak kita kembali bersua dalam keabadian di surganya Allah. Eyang, maafkan cucu kecil mu ini. Maafkan Fatiah yang sering membantah perkataan baikmu. Yang sering membuat tekanan darahmu naik karena ulahnya, yang sering diam-diam memakan cokelat favorit mu atau mengusik tidurmu. Eyang, Fatiah rindu eyang. Sangat rindu.... Eyang, sekarang eyang gak akan ngerasain sakit lagi. Eyang bisa tidur nyaman tanpa pempers yang buat eyang risih. Eyang bisa tidur nyaman sekarang, tanpa sulit nafas lagi. Eyang bakal jadi bidadari cantik di surga. Eyang bakal ketemu mbah kangkung nih ciye... Walau di sana udah enak, tapi Eyang jangan lupa datang ke mimpi Fatiah ya, Fatiah pengen liat eyang... Eyang maafin Fatiah ya... Fatiah kangen eyang. Maafin Fatiah yang masih nangis ini eyang, Fatiah sudah coba untuk gak menangis, tapi agak sulit, matanya bandel, kalo kata ustadz di masjid depan, gak papa nangis yang penting jangan meratapi kematian orang, karena itu akan memperberat langkahnya. Jadi In syaa Allah, Fatiah nangis cuman rindu aja, bukan hal ikhlas atas ketetapan Allah. In syaa Allah, Fatiah ikhlas atas kepergian eyang, meski itu terasa amat berat bagi Fatiah. Eyang akan terus hidup di dalam kenangan Fatiah. Eyang... I love u. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD