“Jauh juga ya warungnya.” Fatiah bergumam pelan.
Sinar matahari yang terik membuat Fatiah melebarkan langkahnya dengan gerakan cepat. Tiba-tiba ponsel Fatiah, yang sengaja dia bawa di dalam saku jaket, berdering.
Fatiah merogoh sakunya, mencari benda pipih yang terus bersuara, memecah keheningan komplek yang seperti tidak berpenghuni.
“Ini siapa sih? “Dahi Fatiah berkerut saat melihat nomor tidak dikenal di layar ponselnya.
“Tapi kayaknya ini nomor...”
Alih-alih mematikan panggilan, jari Fatiah dengan lancang bergerak mengangkat lambang telepon berwarna hijau karena dorongan rasa kepo yang mendarah daging.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Iya, siapa? “
Fatiah sengaja mengalihkan kameranya ke jalan.
“Billa ada di mahad, kan? “
Sudah Fatiah duga.
“Billa apa kabar ?”
“Kenapa gak langsung tanya ke Billa-nya aja ?” ketus Fatiah. “Maaf ya, saya lagi gak di mahad.”
Fatiah mematikan panggilan sepihak. Dan karena aksinya itu berkali-kali orang itu terus meneleponi Fatiah.
“Nih orang maunya apa sih!” Fatiah menghentakan kakinya, dongkol. Perjalanan makin terasa panjang karena kesal.
Dan lagi ponsel Fatiha bersuara nyaring, tapi kali ini bukan dari ‘pacar' Billa yang menyebalkan tapi dari Billa.
“Assalamualaikum, Bil,” sapa Fatiah dengan nada kesal yang masih terbawa.
“Waalaikumsalam,” sahut Billa.
“Ada apa Bil? “
“Kamu di mana? “
“Ini aku di jalan.”
“Jalan? “
“Iya ke warung.”
“Oh.”
Fatiah yakin di seberang sana, Billa mencari cara untuk membuka topik yang menjadi alasan kenapa dia menelepon Fatiah tiba-tiba.
“Mau bicara soal itu...”
“Ha? “ Di seberang sana Billa tanpa kaget, namun hanya sebentar sebelum berdeham dan mengatakan iya.
“Iya dia dari tadi neleponin aku. Mungkin dia gak terima soalnya kamu putusin dia. Kamu udah bilang alasan kenapa kalian putus? “
“Hem...belum.”
“Oh,” mulut Fatiah membulat. “Pantas dia neror aku. Kamu blok nomor dia ya? “
“Hem, maaf yah, Iah. Seharusnya aku gak kasih nomor kamu ke dia.”
“Iya gak papa kok.”
“Tadi dia nanya apa aja.”
“Biasa nanya kabar sama nanya kamu di mana.”
“Oh... Iah kamu kapan pulang ke mahad? “
“Besok sore.”
“Kamu blok aja dia,” kata Billa di seberang sana. Tanpa Billa katakan juga, Fatiah sudah berniat untuk memblok orang annoying seperti itu.
Fatiah menoleh ke belakang, insting diperhatikan orang membawanya melalukan hal itu.
Kadang Fatiah sangat salut dengan kemampuan hebat ini yang dimiliki semua orang ini, padahal di belakang punggung mereka tidak ada mata tapi saat ada yang memperhatikan tanpa alasan orang akan menoleh, sama seperti yang Fatiah lakukan sekarang.
Tapi tidak ada siapa pun di belakang Fatiah. Lebih tepatnya di jarak yang dekat. Sedangkan di jarak yang jauh, jalan yang dia lewati tadi, Fatiah melihat ada pemuda-pemuda yang duduk berjongkok di depan motornya. Ada satu pemuda ya g melihat ke arahnya.
Fatiah menajamkan matanya, dia tidak bisa melihat dengan jelas sesuatu yang jauh tanpa kacamata.
“Kok aku gak liat ya pas lewat tadi? “ Fatiah bergumam. Ada rasa lega memenuhi dirinya. “Ada untungnya gak pake kacamata. Coba kalo liat tadi, bisa-bisa putar arah gak jadi ke warung. “
“Nanti baliknya lewat jalan lain aja deh. Gak masalah jauh, yang penting gak lewatin rombongan cowok.”
**
“Iah, bengong aja dari tadi.”
“Siapa yang bengong...,” Fatiah mengucek pelan matanya. “Gara-gara begadang semalam nih jadi ngantuk.”
“Kalian jadi semalam begadang? “
“Iya.”
“Nonton drakor? “
“Iya, biasalah. Kebiasaan kalo udah nonton satu episode suka keterusan, mereka pintar banget mainin alurnya. Rencana cuman mau nonton satu episode aja, jadi nonton sampai tamat.”
“Siapa aja semalam yang nonton bareng ? Aku ngantuk banget gak sadar ketiduran.”
“Mbak Rani, Lingsi sama Lail.”
“Lail juga ikut? Tumben-tumbennya.” Billa terkekeh, pasalnya Lail paling anti drakor.
“Iya, keracunan mbak Rani.”
“Aneh-aneh aja.”
Fatiah menumpukan tangannya di meja. “Ngantuk banget Bill, kira-kira ada jam kosong gak ya nanti? “
“Kayaknya pelajaran PPKN kosong deh, soalnya kelas sebelas tadi juga kosong.”
“Tapi sebelum jam PPKN, jam biologi dulu, kan?”
“Iya.”
“Ya Allah, nambah deh ngantuk.”
Billa terkekeh. “Pindah duduk ke belakang aja sama aku.”
“Gak deh.” Fatiah menggeleng pelan meski sangat mengantuk Fatiah sangat anti duduk di belakang. Bukan karena dia murid golongan pintar nan rajin, hanya saja Fatiah memegang sebuah prinsip yang entah ia adopsi dari mana, kalo dia sangat anti duduk di belakang.
“Ti-ati loh tiba-tiba ketiduran, hahaha...”
Fatiah meringgis. “Doain ya, sob.”
“Hahaha..berasa mau jihad ya, bun.”
“Asli, Bun, no kaleng-kaleng.”
“Udah ah, mau balik ke bangku bentar lagi bu Risma masuk. Selamat berjuang sobat magerqu.”
“Semangat !” Fatiah menggempal tangannya, ala-ala pahlawan negara yang gagah nan kokoh namun langsung layu setelah Billa pergi.
“Huft....” Fatiah mengucek pelan matanya, berharap ada keajaiban atau serbuk Tinker Bell yang langsung membuat matanya kembali menyalak. Fatiah menyesal begadang semalam.
“Eh...eh, bu Risma datang.” Pengumuman singkat yang membuat Fatiah langsung menegakkan kepalanya yang sejak tadi bak bunga yang layu.
“Selamat siang anak-anak,” sapa bu Risma seperti guru pada umumnya, berwibawa dan bersemangat meski muridnya tidak demikian. Efek istirahat sudah membuat mata-mata mereka layu siap tidur di jam-jam rawan.
“Sekarang buka bukunya, kita lanjutin pembahasan pekan kemarin tentang tumbuhan.”
“Nak, kemarin pembahasan sampai mana? “tanya bu Risma.
Beruntung Fatiah sudah sigap meletakan buku catatan di atas meja. “Halaman 147, Bu.”
“Oh berarti hari ini kita bahas tentang hormon auksin ya?”
“Iya, Bu...,” jawab murid serempak.
Jawaban yang di dasari ikhlas karena ingin menjawab dengan segenap lubuk hati. Semi ikhlas, untuk mengamankan nilai dan prediket siswa aktif atau hanya sekedar formalitas, ikut-ikutan saja. Dan Fatiah berada di antaranya Ikhlas, formalitas.
“Dan sebelum ibu masuk ke materi selanjutnya ibu bakal ngulang materi kemarin dulu.”
“Jadi seperti yang kita ketahui bahwa bukan cuman hewan dan manusia saja yang butuh cahaya. Tumbuhan juga butuh cahaya. Cahaya merupakan sumber energi utama yang sangat penting bagi proses fotosintesis pada tumbuhan.”
“Meski cahaya merupakan bagian faktor luar, tapi kehadirannya sangat berpengaruh. Ibarat kartu memori, kecil tapi sangat penting. Apalagi buat ponsel yang daya penyimpannya kecil, itu penting banget.
“Kira-kira gitu pentingnya cahaya dalam berpengaruh kehidupan tumbuhan. Menurut studi yang dilakukan, tumbuhan tidak dapat bertahan hidup untuk jangka waktu yang lama jika tidak ada cahaya, sebagai energi utama.”
“Oke sekarang kita bahas hormon auksin,”kata bu Risma.
Mata Fatiah sudah tinggal dua watt, menuntut Fatiah untuk segera memejamkannya. Tapi Fatiah tidak akan mungkin menuruti kehendak tidak baik matanya itu, Fatiah mengalihkan rasa ngantuknya dengan sibuk mencoret-coret di buku. Tapi rasa ngantuk itu masih belum juga reda.
“Nah di sini ada yang unik nih anak-anak...”
“Meski cahaya itu sangat penting untuk tumbuhan tapi ada sebuah fakta bahwa umumnya cahaya dapat menghambat pertumbuhan meninggi. Hal ini disebabkan karena cahaya bisa menguraikan hormon Auksin yang ada pada tumbuhan.”
Fatiah mendongka, semi tertarik pada pembahasan bu Riska, kata Auksin terdengar puitis di telinga Fatiah. Bak bohlam menyala di atas kepalanya, Fatiah langsung mendapatkan ide untuk menulis cerita pendek dari kata auksin.
“Salah satu percobaan Darwin tentang pengaruh sinar terhadap Auksin dan pertumbuhan.
“Pertama, konsentrasi Auksin yang tinggi di bagian yang tidak terkena sinar, akan mempercepat pembelahan dan pembentangan sel batang ataupun koleoptil. Jadi batang lebih cepat tinggi dibagian gelap. “
“Yang Kedua, pertumbuhan sel yang lebih banyak di bagian kurang sinar, menyebabkan batang menjadi bengkok ke arah cahaya. Sehingga terlihat seolah tanaman tumbuh mengikuti arah cahaya.”
“Dari percobaan tersebut dapat kita ketahui bahwa Auksin akan berkerja lebih baik di bagian yang tidak terkena sinar. Kehadiran Auksin membuat batang menjadi bengkok seolah mengikuti cahaya, yang pada kenyataannya tumbuhan bengkok karena adanya cahaya yang menghambat tumbuh laju auksin.”
“Jadi hormon auksin bisa dikatakan seperti orang yang lebih nyaman berada di belakang layar, tidak suka cahaya, tidak suka sorotan, sukanya di tepat yang gelap dan jarang dijangkau mata,” gumam Fatiah, ala-ala anak sastra yang suka melambaikan segalanya dengan kias-kiasan.
“Menarik...tapi....” kalimat Fatiah terhenti, seolah tersangkut di tenggorokannya sendiri.
“Kasihan hormon auksin, selalu salah diartikan. Apa salahnya kalo dia gak suka cahaya? Dia gak bisa tumbuh di dengan yang penuh silau cahaya, dia hanya auksin yang ingin tumbuh di tempat yang membuatnya nyaman. Tumbuh tinggi sendirian..”
Fatiah tertegun. Nasibnya dan hormon Auksin sangat sama.
Cahaya dan gelap.
Mereka semua cahaya sedangkan dia, dia adalah hormon auksin yang malah akan tumbuh tinggi setelah menjauh dari cahaya. Fatiah hanya tidak ingin terhambat semua kesilauan cahaya yang membutakan matanya sama seperti ibu, ayah dan mbaknya.
Fatiah tidak ingin silaunya cahaya membuatnya buta akan cahaya sesungguh-Nya, membuatnya lupa akan tujuan utama seorang manusia di dunia, menjadi khalifah, pemimpin. Pemimpin, setidaknya atas dirinya sendiri, bukan menjadi boneka berhiaskan cahaya. Boneka yang nampak indah namun tidak memiliki daya, terlalu lemah di hadapan kertas bernama rupiah.
.
.
“Wah, pejuang kita ternyata tangguh banget ya, bertahan dari terpaan tidur di jam biologi.” Billa menepuk-nepuk pelan bahu Fatiah, berlagak sangat bangga pada sahabatnya seolah telah memenangkan perang dunia ke dua.
Fatiah terkekeh sesaat sebelum menjatuhkan kepalanya di tumpukan tangannya sendiri.
“Jam kosong, kan? Aku mau tidur. Entar kalo tiba-tiba ada guru masuk, tolong bangunnya,” kata Fatiah, letih, lemas, lemah bak anak kurang darah.
“Dengan satu syarat.”
“Syarat? “Fatiah bergumam tidak jelas di dalam tumpukan tangannya.
“Iya syaratnya kamu bantuin aku dulu balikin buku ke perpustakaan dulu. Setelahnya kamu bisa tidur dengan NYENYAK,” kata Bila sengaja menekan kata nyenyak sebagai pertimbangan menyulitkan untuk Fatiah tolak.
“Bentar doang, kan? “
“Iya bentar doang.”
Fatiah bangkit dari kursinya.
“Ya bawa juga kertas ya.”
“Buat apa dah? “
“Buat bukti udah balikan buku. Soalnya kartu perpustakaan aku habis makanya pake kertas dulu aja, yang penting ada tanda tangan pengurus perpus.”
“Pake kertas apa? “tanya Fatiah yang masih mode ngantuk berat.
“Itu yang di atas meja kamu, eh, tunggu dulu, ini cerpen ya? “Billa mengambil selembar kertas itu dan membacanya.
“Auksin,” gumam Billa. “Kamu nulis ini pas pelajaran bu Risma tadi? “
Fatiah mengangguk seadanya, bawaan ngantuk mendominasi matanya.
“Udah yuk, langsung ke perpustakaan aja, aku udah ngantuk berat. Bawa aja kertas yang itu, di belakangnya masih ada kertas kosong.”
“Oke.”
**