Haikal sejak tadi hanya mengetuk-ngetuk pelan pulpennya di meja, otaknya sedang buntu, tidak tahu harus menuliskan apa di selembar kertas putih yang sebentar lagi akan di kumpul.
“Nulis cerpen apa, Kal?” tanya Dzawin, sama nelangsanya dengan Haikal.
Haikal mengangkat bahunya, tanda belum tahu.
“Duh, susah ya, mana ada cerpen yang harus ada unsur sainsnya. Membanggongkan sekali,” gumam Dzawin, frustrasi.
“Tapi yang lain kok kayaknya lancar jaya aja ya...,”kata Haikal.
Haikal diam-diam mengedarkan pandangnya ke penjuru kelas, setelah melihat bu Imelda sedikit melonggarkan pengawasnya karena terdengar dering di ponselnya. Semua murid terlihat tampak khidmat dengan kertas dan pulpennya, tanpa lancar jaya menuangkan ide mereka bahkan Dzawan pun juga.
“Dzawan..ststs...”
“Lo kayaknya udah mau selesai ya buat cerita pendeknya ?”
“Belum sih, baru paragraf awal nih.” Dawan menunjukkan kertas miliknya.
“Tapi kayaknya Lo gak kesulitan, gue liat Lo senyam-senyum.”
“Iya, gue barusan dapat cara dari anak kelas, biar kita bisa nulis cerpen yang ada unsur-unsur sains nya.”
“Caranya? Kan gak boleh liat di google.”
“Lo bawa buku biologi kan? “
Haikal mengangguk pelan.
“Nah, buka aja buku itu, terus cari deh hormon atau istilah yang cocok buat cerita Lo. Maksudnya kayak sesuatu yang bisa di kiasin sama cerita yang Lo buat. Contohnya gue, gue buat cerita tentang seorang koki amatiran, gue pake istilah fotosintesis. Jadi ceritanya koki itu lagi belajar masak untuk menghasilkan hal istimewa.”
“Kenapa Lo ambil fotosintesis? Apa hubungannya sama proses masak si koki?”
“Ya, karena fotosintesis kan proses masak yang terjadi pada tumbuhan. Jadi si koki belajar buat sabar dalam memasak supaya bisa menghasilkan masakan yang enak dan berkualitas kayak tumbuhan.”
“Oh gitu.” Haikal mengangguk pelan.
Di bagian kepalanya sedang terjadi proses pencernaan penjelasan yang Dzawan berikan, tapi nampaknya lebih banyak yang tidak tercerna dari pada tercerna. Haikal masih bingung soal satu dan dua hal.
Haikal ingin kembali bertanya, tapi gagal, karena tiba-tiba bu Imelda melempar tatapan ke seluruh penjuru kelas.
Haikal kembali membalikkan tubuhnya ke depan.
“Ngapain buka buku biologi? “tanya Dzawin.
“Nyari ide.”
“Kita sekarang kan di suruh ngarang cerita bukan cari jawaban biologi.”
“Iya kata Dzawan di sini ba
“Hormon apa yang cocok buat cerita gue?” gumam Haikal, matanya menyusuri semua penjelasan yang ada di buku tebal itu.
“Ya cerita Lo tentang apa dulu? “
“Gak tahu,” jawab Haikal singkat, padat nan jelas.
“Gimana sih Lo.”
“Emang Lo dah dapat ide cerita? “
“Udah dong,” Dzawin tersenyum bangga. “Gue mau buat tentang perbedaan yang menyatukan.”
“Sainsnya apa? “
“Gue pake pelajaran tentang, sifat kutub. Kutub positif dan kutub negatif sifatnya saling tarik menarik, jadi perbedaan yang malah buat mereka menyatu gitu. Itu juga alasan kenapa Allah gak menjadikan manusia satu ras.”
Haikal tanpa sadar bergumam kagum atas ide yang Dzawin dapatkan, tapi di satu sisi dia murung lantaran dirinya belum juga menemukan ide apa yang cocok untuk cerpennya.
“Auksin...” Mata Haikal terhenti pada kata itu.
Entah kenapa angin seperti memanggil Haikal untuk menoleh ke arah pintu. Tatapan Haikal terpaku di sana. Akan ada orang yang lewat, terlihat dari bayangan yang lebih dulu terlihat di dinding depan kelas.
Dan tiba-tiba,
“Aw! “ Haikal meringgis pelan, terkena penghapus papan tulis yang sekarang tergolek di lantai setelah menghatam setengah dahinya.
“Astagfirullah, nak..” bu Ilmeda bangkit, berjalan cepat menuju Haikal. “Maaf, nak, tadi ibu gak sengaja ngelempar penghapus soalnya tadi ibu liat ada kecoa terbang di bawa kaki ibu.”
“Iya bu, gak papa.” Haikal tersenyum kecil, mengusap pelan kepalanya agar bu Imelda tidak merasa terlalu bersalah.
“Maaf ya, nak. Kamu bisa ke UKS, kepala kamu pasti sakit.”
“Gak usah, Bu. Dahi saya gak kenapa-napa.”
Bu Imelda tersenyum lega. Kembali ke kursi kebesaran guru di depan.
Dzawin menyenggol pelan Lengan Haikal setelah bu Imelda pergi. “Beneran gak sakit tuh dahi?”
Haikal melepas ringgisan yang sejak tadi ia tahan. “Sakit lah. Sakit banget. Hataman bu Imelda kuat banget.”
Dzawin tertawa tanpa suara. “Lagian Lo malah bengong aja sih, padahal teriakan bu Imelda kenceng banget tadi.”
Haikal spontan menoleh ke ambang pintu lagi. Orang yang lewat jelas sudah berlalu lama.
“Kal, Lo gak kenapa-napa, kan?” tanya Dzawan berbisik dari belakang.
Haikal tidak menjawab, pandangnya fokus ke ambang pintu.
Dzawan dan Dzawin saling bertukar pandangan, bertukar pendapat tanpa suara mengenai hal buruk yang mungkin terjadi karena benturan di kepala Haikal tafi.
“Haikal,” panggil Dzawin, mengetes.
Haikal masih tidak merespon.
Dzawin menggeleng-geleng diikuti raut sedih khas aktor opera sabun.
“Kasihan mana masih muda,” gumam Dzawan, menepuk pelan bahu Haikal.
Haikal tersadar dan refleks menoleh.
“Kal, penghapus itu gak buat kepala Lo cedera kan? Lo gak geger otak, kan? Coba sebutin nama gue siapa?” kata Dzawin.
Haikal menatap bergantian dua kembar somplak ini.
“Muka kalian berdua kenapa di jelek-jelekin gitu?”
“Astagfirullah, akhi. Gak baik ngomong gitu.” Dzawin menggeleng dramatis.
Beruntung bu Imelda sedang fokus pada ponselnya sehingga interasi ketiganya tidak tepantau mata tajam bu Imelda.
“Lagian kalian, apa-apa sih, lebay banget. Gue cuman kena penghapus papan tulis, bukan habis ciuman sama truk. Pake acara geger otak segala, gak logis banget, katanya orang terpelajar gitu...”
Dzawin cekikikan. “Astagfirullah ukhti, eh akhi, sensitif banget, lagi ke datangan matahari ya?”
“Matahari? “Dzawan membeo.
“Iya, kalo cewek kan datang bulan, kalo cowok datang matahari .”
“Menurut gue lebih cocok ke datangan bintang deh, kan teman bulan itu bintang,” sahut Dzawan.
“Tapi gak cool kalo bintang, enak matahari membara gitu, cocok buat cowok.”
“Iya juga ya.”
Haikal memutar bola matanya, percakapan absurd apa ini.
“Kalian ganggu gue aja, gue belum dapat ide nih mau nulis apa.”
Haikal kembali mentafakuri kertas putih yang bersih tanpa gersang akibat kelemotan yang terjadi di bagian perotakkannya.
“Eh, nama kamu siapa yang tadi gak sengaja ibu lempar penghapus?” bu Imelda menatap Haikal.
“Haikal, Bu,” sahut seluruh siswa cepat dan kompak. Seolah pertanyaan tadi merupakan pertanyaan rebutan di ajang cerdas cermat siapa cepat dia dapat. Lebih cepat dari Haikal yang baru hendak mengangkat kepalanya untuk menjawab. Akhirnya Haikal hanya bisa mengangguk-ngangguk aneh, membenarkan.
“Oh iya, Haikal, tolong bantuin ibu ambil buku ibu yang ketinggalan di perpustakaan ya, sekalian kamu juga bersihin wajah kami yang tadi kena penghapus.”
Haikal menoleh pada Dzawin.
Dzawin mengisyaratkan bahwa di dahi Haikal ada hitam-hitam bekas serbuk spidol.
“Tolong ya, nak.”
Haikal tentu saja akan mengangguk iya, meski tugasnya belum selesai dan jam bahasa Indonesia akan segera berakhir. Haikal pasrah.
“Tugas cerpen kamu udah selesai? “ tanya bu Imelda.
Kali ini Haikal langsung menjawab sebelum keduluan siswa yang sangat inisiatif itu.
“Belum, Bu.”
“Ya udah, khusus kamu ibu bakal tunggu tugas kamu sampai jam pulang. Dan buat yang lain, buruan selesai, bel bunyi langsung kumpul.”
Wajah Haikal yang sendiri tadi kusut masat, seketika cerah bak ada pelangi. Terang benderang. Haikal langsung melangkah keluar kelas dengan perasaan riang gembira seperti dora tanpa boots.
.
.
“Eh, Fatiah, kertas cerpen kamu ketinggalan di perpustakaan tahu.”
Fatiah menguap, menjatuhkan dirinya di bangkunya. “Ya udahlah gak papa.”
“Gak mau kamu ambil ?”
“Gak. Aku udah ngantuk banget. Mau bobok. Kalo kamu mau ambilin aku sangat-sangat berterima kasih, kalo gak mau juga gak pa-pa. Lagian itu cuman cerpen doang.”
Fatiah menopang wajahnya, lesu.
“Tapikan itu karya kamu, gimana kalo di ambil orang?”
“Ya udah gak pa-pa aku mah ikhlas wal afiat.”
“Gimana kalo cerpen kamu dibuat buat kejahatan.”
Fatiah terkekeh pelan, atas pemikiran absurd Billa yang terlalu keseringan nonton drama korea bergenre thailer.
“Emang seberapa bahayanya sih secarik kertas berisi cerita pendek? Gak akan buat dunia jungkir balik juga.”
“Iya juga sih.” Billa ikut terkekeh atas pemikiran anehnya.
Fatiah kembali menutup mulutnya yang menguap dengan lancang. Tangan Fatiah yang semula menopang dagu berubah menjadi bertumpuk di atas meja menenggelamkan wajahnya. Dan tidak lama, terdengar dengkuran pelan, pertanda Fatiah sudah terlelap dalam tidurnya.
Hanya dalam waktu lima menit.
Billa menggeleng-geleng takjub dengan kelakuan sahabatnya itu.
Billa beranjak dari bangku sebelah Fatiah, kembali ke tempat duduknya di belakang. Kali ini Billa tidak mau mengganggu rasa kantuk Fatiah.
.
.
Haikal sudah mengambil buku milik bu Imelda di perpustakaan, langkahnya lalu beranjak ke kamar mandi siswi untuk menghapus noda spidol di dahinya sekaligus membasuh wajahnya agar terasa lebih segar.
“Seharusnya tadi ke kamar mandi dulu, baru ambil buku bu Imelda,” gumam Haikal merasa kerepotan untuk mencuci muka karena adanya buku bu Imelda, takut terkena cipratan air.
“Haikal...Haikal....gini aja gak kepikiran.” Haikal berdecak pelan. Haikal mengedarkan pandangnya di seluruh kamar mandi berukuran lumayan besar, dengan dua kaca di depan wastafel dan lima bilik toilet.
“Taruh di bahwa sini dulu deh, dari pada kena air. Bisa-bisa nilai gue jadi taruhan.”
Haikal meletakkan buku bu Imelda di dekat pintu, yang menurut Haikal posisi teraman, jauh dari cipratan air dan juga terlindungi dari jangkauan mata siswa yang masuk.
Haikal mencuci muka dan tiba-tiba ada panggilan alam, yang mengharuskan Haikal ke bilik toilet.
Saat Haikal di dalam bilik, Haikal mendengar ada yang masuk ke kamar mandi. Ada sekitar dua orang, mereka bercerita sembari menghidupkamn wastafel.
“Gila sih, pas pelajar bu Risma gue ngantuk banget. Tapi pas jam kosong gini, mata gue jadi terang lagi.”
“Sama. Hawanya berat banget.”
“Btw tadi kita belajar apa sih? “
“Hormon apa ya, hormon auksin kalo gak salah.”
“Gimana tuh? “
“Hormon auksin tuh ibarat orang yang lebih nyaman di belakang layar, gak suka cahaya, kek gitulah, gaulnya kek nolep gitu.”
“Kata Lo tadi gak perhatiin penjelasan bu Risma, tapi Lo kok tahu? “
“Itu dari kertas tadi.”
Haikal selesai dengan urusannya. Dia membuka bilik, dan bersamaan dengan itu, dua siswa tadi juga telah selesai dengan urusan mereka yang hanya membasuh muka dan berbalik keluar kamar mandi.
Haikal menunduk hendak mengambil buku bu Imelda yang masih baik-baik saja di sana, tapi tiba-tiba kakinya tergelincir tanpa sebab, membuat Haikal terduduk di lantai dengan b****g yang mendarat duluan.
Beruntung tidak ada orang di sana, setidaknya Haikal hanya menahan rasa sakit tanpa rasa malu yang bisa mendarah daging.
Akhir-akhir ini Haikal seolah mendapat banyak paket cobaan, ban pecah, kena timpuk penghapus dan sekarang kepelset. Dan semua itu selalu diawali ...
Mata Haikal menangkap selembar kertas yang terdapat di lantai tidak jauh dari buku bu Imelda. Tangan Haikal terjulur mengambil kertas itu, hanya sekadar memuaskan rasa penasaran tentang isi dari kertas itu.
“Auksin...”
Kening Haikal berkerut, berpikir sejenak. “Auksin itu hormon tumbuhan, kan? “Haikal bermonolog sendiri.
“Iya, auksin itu hormon yang ada pada tumbuhan, tadi gue baca kok,” Haikal manggut-manggut, menjawab dan menyetujui argumennya sendiri.
Mata Haikal lalu menyusuri kertas berisi banyak kata itu. Dan seketika senyum cerah kembali memenuhi wajah Haikal. Haikal langsung memeluk kerat kertas itu, seolah baru saja menemukan berlian yang tidak akan pernah ia lepaskan lagi.
Pintu kamar mandi terbuka.
Dua siswa masuk, Haikal tidak sadar, efek terlalu bahagia.
Siswa yang masuk terperanjat setengah kaget mendapati Haikal duduk di lantai yang semi basah, sembari senyam-senyum memeluk selembar kertas. Keduanya lalu memutar langkah, tidak jadi masuk ke dalam kamar mandi.
“Kesurupan kali,”
Haikal tersadar setelah mendengar kalimat itu. Haikal memperhatikan dirinya yang kalo di liat-liat emang terlihat aneh, buru-buru Haikal bangkit, mengambil buku bu Imelda dan segera keluar dari kamar mandi.
“Pak, di kamar mandi cowok kayaknya adanya ada yang kesurupan.”
“Iya, Pak, kita berdua liat dia duduk di lantai, senyam-senyum sendiri gitu.”
“Ya udah kalo gitu, ayo kita liat.”
Haikal langsung menutupi wajahnya begitu ia berpapasan dengan dua siswa tadi dan pak guru yang sekarang berjalan ke arah kamar mandi.
Haikal menghela nafas lega. Dia hampir saja dicap orang aneh sepenjuru sekolah karena secarik kertas yang membuatnya bahagia bukan kepalang.
“Alhamdulillah.”
“Otak ada kabar gembira, kita gak jadi kerja rodi buat cerpen.”
“Karena udah ada cerpen ini.”
“Makasih banget buat orang baik yang nulis cerpen ini. Kalo kita ketemu entar gue kasih cokelat deh. In syah Allah, kalo gue ingat.”
**