Chapter | 3.2

2145 Words
     "Berhenti! Jangan sekali kau menyentuh nenekku."      Haruskah seperti itu ujung kata yang terucap tanpa belas kasih? Tapi apa kesalahan yang Nessa lakukan dengan pria asing yang tak membutuhkan waktu atau persetujuannya akan pernikahan ini?      Nessa menghapus buliran bening yang akhirnya menyerah. Mengalah untuk tetap melakukan kesedihan. Udara di ujung hari berusaha menyembunyikan warna mewah keemasan ketika langit mendekap matahari terasa sejuk. Di luar mansion begitu banyak cibiran panas suara burung hendak menghampiri sangkarnya. Lantunan suara kesengsaraan tetap bertahan dalam senja di tepi danau buatan keluarga Ford,      "Menatap matahari terbenam harus dari balkon paling atas nona." Nessa membanting lamunan. Menoleh kearah Paul yang berdiri tegap.      "Em... Aku tidak tahu. Sejak kapan kau berada di situ?" Ucap Nessa mengubah posisi. Menekuni jejak menghampirinya.      "Semenjak itu menetes." Paul mengarahkan jari telunjuk di sela mata yang berair.      Nessa mengusap secara terang butiran halus buah kesedihan. Ia melingkarkan kedua tangan pada tubuhnya, menahan lilitan hawa dingin menusuk tulang dan batin.      Paul memutar arah matanya tertuju pada raut nampak menyembunyikan sendunya, "mari lihat matahari terbenam?" Paul merentangkan satu tangan. Ujung jemarinya menunjuk pada pintu belakang mansion.      Tentu Nessa bersemangat untuk melihat karya seni terindah milik penguasa alam. Terpaku pada perbuatan semesta ketika ia benar-benar mengagumi. Sembari membenahi serpihan yang berserakan pada hatinya, Nessa mengikuti arah Paul menuju balkon paling ujung. Sesekali Nessa urung menikmati tingkat keindahan alam dan hidupnya. Ya, nama bayi besar Gege begitu memikat. Bukan! Terpikat untuk merobek warna matanya. Tak ada barang atau lukisan yang mampu menandingi d******i gaya matahari itu bersembunyi. Merunduk malu dan memilih langit sebagai selimutnya,      "Bisa lebih jelas dan leluasa jika anda melihatnya dari atas sana nona!" Paul menunjuk. Seraya mempersilahkan Nessa berjalan didepannya.      "Kau pemimpin pemandangan ini Paul!" Senyum manis Paul terurai. Ia berjalan lebih dulu dan mengawasi jejak Nessa dibelakangnya.      "Nyonya Charie senang melihat matahari terbit dan terbenam di atas sini." Paul menepuk batas dinding balkon.      Memang benar! Suasana anggun penuh ketenangan, dengan hawa kehangatan melindungi tulang belulang begitu terasa menenangkan. Nessa nampak senang menatap cahaya oranye begitu menakjubkan. Meski tak memperjelas warna merah atau kuning, namun intensitas matanya nampak jernih. Meski hanya sekejap. Perjalanan panjang menatap pria monster nampak lama, sangat lama tanpa Nessa tahu akhirnya,      "Kau sudah lama bekerja di keluarga ini?" Nessa mgembuka awagl perbincangan, Paul tersenyum dan menyipitkan mata menangkap cahaya matahari.      "Sejak aku masih bayi nona." Nessa meringis kecut, ucapan itu cukup menghibur.      Paul memutar arah tubuh membelakangi hal indah, "mendiang ayahku adalah orang kepercayaan keluarga Ford," Paul menempatkan kedua sikunya di dasar akhir batas dinding, "dan sekarang aku menggantikan posisi beliau."      Tampak berfikir! Nessa menatap lekat wajah kaya akan senyuman,      "Awalnya aku menjaga kesehatan dan semua keperluan nyonya Charie, tapi saat ini aku berganti tugas." Nessa memerhatikan tangan mengendurkan lilitan dasi.      "Tugas untuk menjaga hewan peliharaan?" Jawab Nessa singkat. Ia tak perduli akan tawa lirih Paul.      "Anda bukan hewan nona! Tapi perhiasan." Sontak Nessa tak mengerti akan ucapan itu.      Lagi, Nessa mendengar Paul begitu puas akan tawa atau hanya meluapkan rasa lucu yang sama sekali tak memiliki kelucuan,      "Maaf nona, aku sangat suka bercanda. Jika menyinggung perasaan maka maafkan aku." Paul membungkuk. Entah tingkah itu membuat Nessa mengangkat kedua sisi bibirnya.      "Kau itu berlebihan! Bangun!" Satu kali, Paul mampu membuat gadis kecil yang satu bulan penuh tak menunjukkan keramahan melalui gerak tawa ekspresif.      "Ingin melihat seluruh bangunan mansion?" Tawar Paul ketika Nessa berhenti menatapnya.      Bangunan kuno yang memiliki benteng kuat dan penjagaan ketat di sekitar area mansion serta danau, beberapa pelayan pribadi terlihat memegang kendali seluruh ruangan dengan layar tipis tergenggam erat. Nessa mengedarkan jemari lentik mengikat habis rambut panjangnya. Membentuk ekor kuda yang menarik perhatian Paul. Sesaat gelisah karena pelayanan yang istimewa menulitkan Nessa menatap pigura besar di dalam ruang keluarga Ford. Kilatan warna kekuningan itu hasil ukiran bahan besi membentuk sebuah rantai melingkar di antara sisinya, rupa foto tiga dimensi mengelabui mata Nessa akan daya tariknya. Nessa mendaratkan tatapan pada dua anak kecil beserta tiga orang dewasa mengenakan busana adat khas Eropa,      "Itu adalah keluarga besar Ford!" Nessa merasakan degup akan kejut dari ucapan Paul.      "Mengapa hanya berlima?" Tak mengerti! Ya, Nessa melihat wajah Paul penuh tanya.      "Dua anak kecil itu adalah tuan Gerald dan adiknya nona Jennifer Akeela Ford," Paul menunjuk pada sosok anak kecil berambut cokelat terang dan pirang berada tepat di barisan depan, "dia adalah putra tunggal keluarga Ford, Jonathan Rhys Ford dan istrinya nyonya Margaretha Ford." Satu laki-laki dewasa memeluk pinggang wanita yang berstatus belahan jiwanya.      "Dan ini adalah nyonya Charissa Himawan Ford." Lanjut Paul teramati oleh mata Nessa.      Nama itu nampak tak asing! Ya, nama khas milik negaranya. Nessa terdiam ketika Paul menilik kembali rautnya yang bimbang,      "Nyonya Charie berasal dari Indonesia."       Nessa mengangguk. Entah kepalanya terlalu fokus hingga letaknya lebih menyamping,      "Aku baru sadar jika Grandma Charie orang Indonesia." Paul berdehem sembari membenarkan letak pigura.      "Beliau sudah puluhan tahun berada di Eropa." Meski mengetahui asal usul Gerald, namun tentang detail kehidupan masih mengambang di pikiran Nessa.      "Tuan besar Ford...," Nessa tak menyamani ucapan Paul yang terjeda.      "Tuan besar Arnold Neuer Ford yaitu suami nyonya Charie sudah lama tiada." Sedikit langkah Nessa mendekati wajah hangat keluarga yang begitu bahagia.      "Di mana orang tua Gerald dan adiknya? Mereka berada di sini?" Paul melepaskan diri dari rengkuhan jas.      Tersenyum! Paul menyampingkan bahan beludru pada lekukan tangannya, "foto itu diambil satu bulan sebelum mereka meninggalkan dunia ini tiga puluh tiga tahun silam."      No trust! Kepala Nessa terpenuhi bayangan orang asing yang ia kenal melalui gambaran. Seakan berada dalam angan, Nessa merasa pedih ketika menatap raut ramah keluarga Ford. Tersenyum tanpa paksaan dalam rengkuhan kehangatan kasih sayang. Nessa memerhatikan raut Gerald yang teduh, tersenyum menampilkan gigi kecilnya dan merangkul pundak Jennifer penuh rasa kepedulian,      "Jadi keluarga Ford hanya Grandma dan Gerald?" Nessa menatap lekat raut ceria dengan perubahan auranya.      "Ya, tuan Gerald satu-satunya pewaris tahta keluarga Ford." Nessa menggigit kecil bibir tipisnya. Hatinya seakan perih.      "Oh... Apa aku terlambat memberikan sambutan kepada tamu baru kita?" Lantang suara wanita terdengar menyentak kan pendengaran Nessa.      Paul menoleh kasar. Ia melirik kembali wajah cantik Nessa,      "Apa yang kau lakukan disini?" Sergap Paul menghalangi jejak kaki wanita seksi berambut blonde.      Keseksian kali wanita itu menghempaskan tangan Paul, ia melebarkan kedua tangannya,      "Hai istri muda?" Nessa terbelalak dengan pelukannya.      "Aku Monique Isabelle. Panggil saja Belle, mudah bukan?" Tak mengerti mengapa wanita itu tertawa lantang.      Merasa geram akan kelancaran sikap Belle terlalu menerangkan kemauan, Paul menyeret pinggang ramping Belle,      "Kita akan berjumpa lagi, aku akan melayani pria kurang ajar ini." Kecupan manis terurai melalui telapak tangan Belle.      Paul menekan tubuh seksi itu pada dinding ruangan dapur. Menoleh jikalau seseorang melihatnya,      "Jaga sikapmu!" Belle menampik jari telunjuk mengarah wajahnya.      "Kau pikir kau itu siapa hah? Jangan sombong karena Gerald sangat percaya padamu Scholes." Manik mata yang saling bertemu. Menekan penglihatan yang adil.      "Ini hanya sesuai prosedur yang kau buat bukan? Kau hanya butuh uang darinya, dan tugasmu menjaga nyonya Charie." Belle melipat kedua tangan di perutnya.      Mantan pendamping hidup seorang Gerald yang tak sengaja masuk kedalam dunia mewah keluarga Ford, menjebak lalu menghakimi martabat Gerald itu meraih kerah kemeja Paul,       "Selama ini aku tidak pernah macam-macam, aku hanya ingin mengenal istri muda itu." Paul menyingkir dari raut betina kotor milik Gerald.      "Semuanya sudah berakhir Belle! Kau hanya pelayan disini. Dan lihat apa yang kau kenakan? Lepas, atau Gerald akan memotong leher mu." Paul mengoyak ringan rok ketat Belle dan pergi dari sisi penyerang asal Polandia.      "Ada lagi?" Belle meneliti kuku panjangnya, menatap Paul berhenti di ambang pintu.      "Jauhi wanita itu atau kau akan mendapat masalah besar!" Paul berlalu begitu cepat. Belle menghentakkan kakinya, mengepal tangan berusaha meredam ucapan Paul. Sialan! Ia mulai melepas satu persatu balutan busana seksinya, melanjutkan perkataan Paul dan mengganti kostum. [...]      Suasana anggun malam hari tak semenarik saat-saat tubuh wanita tua yang Gerald sayangi mampu meraih tangannya ketika berjalan. Tertawa lepas ketika ia menggoda bahkan menggendongnya. Berdansa sembari menikmati lilin kecil di meja makan. Kemesraan seorang nenek yang begitu berharga baginya telah sirna ketika hal menyedihkan menguraikan tragedi. Benarkah itu musibah? Entah, Gerald mengusap wajahnya meningkatkan kualitas hidup yang sunyi dan meremang. Terutama ketika ia secara terang melihat Charie terjatuh dan meremukkan semua tulang ekornya.      Cairan bening fermentasi serealia itu tertuang dalam bentuk gelas panjangnya. Gerald mengamati tiap gelembung kecil yang berusaha naik ke permukaan dan musnah. Tak hanya tersenyum kecil seperti manusia tak wajar, Gerald menenggak habis dengan kecapan lidah merasakan kenikmatan wine.      Bentuk kotak mengganjal dalam saku jasnya ia tarik. Membuka karton berisi rokok namun ia urung menikmatinya. Jari-jarinya memainkan korek api Zippo, membuka kemudian menutup untuk melihat percikannya,      "Kenapa secepat itu kalian pergi? Lihatlah betapa menariknya hidup sendiri tanpa ada yang mengusik." Lirih. Gerald bergumam pada dirinya yang menyedihkan.      Gerald membuka kembali tudung korek apinya, menutup dengan kecepatan detik. dan pendengarannya tertuju pada jejak sepatu melangkah cepat.      Cahaya lampu mengemasi sisi bayangan wanita tak asing di ekor mata Gerald itu tengah memutar tubuh nampak kebingungan. Matanya enggan beralih namun gerakannya seolah melambai untuk di sapa,      Apa aku harus memberi mu peta agar kau tidak tersesat?" Nessa mencari. Meneliti suara di balik minimalnya cahaya.      'Dia? Laki-laki tua kejam itu lagi? Kenapa hidup aku harus ketemu penyebab hilangnya cita-citaku? 'Nessa melenguh dalam batin, ia hanya berdiam diri enggan menanggapi sapaan atau bahkan hinaan Gerald,      "Kemari!" Istri kecil yang selalu menerapkan degup jantung terdiam tanpa melihat Gerald. Rasa panas akan ucapan siang itu masih menggenang dalam kerongkongan. Nessa enggan mematuhi ataupun sekedar rutin mendengarkan. Sosok jelita yang tengah menempatkan dirinya pada kelokan jalan hidupnya kini merebut rasa tenang Gerald. Sedikit menanti namun berlalunya Nessa tanpa suara, benar-benar menderum kan batin Gerald,      "Berhenti!" Sekian suara itu menakutkan. Nessa memerhatikan sekilas mata yang masih menyimpan gemuruh akan kejahatan.      "Aku hanya mencari kamar mandi." Oh my God! Ah sial, Nessa membodohi dirinya.      Terang perkataan itu menerjang langkah Gerald tercipta. Sembari memainkan korek api, ia menikam manik mata akan kepolosan istri kecilnya,      "Ide bagus!" Nessa mengerjap. Menelan ludah bahkan ingin musnah tanpa jejak.      Gerald menarik pinggang ramping istrinya, mendekati wajah cantik itu meski malas untuk sekedar bertukar sapa,      "Tidak mau!" Gerald merenyuk lembut pangkal paha yang terasa penuh dalam cengkeraman.      "Ada acara makan malam bersama Grandma, dan nampaknya kau akan terlambat." Penglihatan Nessa meremang akan bisikan pelan mampu menghitung abjadnya.      Helai yang begitu lancang menghalangi wajah ia singkirkan, satu persatu Gerald membelai lembut hingga ujungnya,      "Koridor di belakangmu itu adalah kamar kita, aku sudah menyiapkan gaun untukmu Honey." Pelan, nampak begitu hati-hati Nessa merasakan tangan Gerald merayap hingga lekukan pinggang.      Kelembutan itu bukanlah wujud nyata kasih atas dasar ketulusan. Ya, Nessa bersiap meratap atau bahkan menerima semua perlakuan khusus Gerald,      "Seperti biasa, jangan terlambat sedetikpun. Dan jaga sikapmu didepan nenekku, mengerti!" Sentuhan lembutnya berakhir ketika Gerald mengecup ujung hidung mancung Nessa.      Hawa menguasai benak kebencian dalam bencana masih mengendap dalam hati Gerald. Wajah cantik itu takkan pernah terbebas dari ancaman bahkan luapan kedengkian Gerald saat ini. Bahkan esok, lusa dan hari dimana ia akan menemukan titik akhirnya,      "Selama ini aku selalu menjaga sikapku. Tapi anda tidak pernah menerimanya dengan semua peraturan anda." Gerald menoleh dan menghentikan jejaknya atas perkataan Nessa.      Senyum tipis menghiasi langit wajah terpenuhi bulu di rahang seakan mengintimidasi. Nessa tak menyadari akan kejujurannya,      "Aku tahu! Tapi sayangnya aku tidak pernah bisa menyukai semua sikap manis mu, little wife." Entah kata-kata mutiara monster didepannya mampu meremukkan perasaan Nessa.      "Aku tahu! Meski anda melihatku meregang nyawa, tetap takkan mengubah kebencian anda." Nessa mengukuhkan diri untuk bertahan dalam balutan semu pernikahan, "dan aku tahu! Seumur hidup aku tidak akan pernah memiliki uang seratus milyar rupiah, meski aku menjual tubuh beserta organ ku." Entah itu kekuatan atau sebuah kebodohan. Nessa berlari menuju kamar, mengusap air mata yang menetes tersibak udara.      Hampir tak memiliki tenaga untuk menghindari tiap bidikan mematikan. Bertahan hingga tetes keringat beserta darahnya. Atau bersikap manis tak bisa dikehendaki. Nessa beringsut lamban ketika pintu kamarnya tertutup. Ya, sangat rapat agar penyiksaan itu mengurung dirinya sekalipun, membiarkan mati kelaparan beserta dahaganya,      "Kenapa kau sangat membenciku? Untuk apa kau menikahi ku? Hanya untuk mencaci dan menunjukkan betapa rendahnya orang miskin sepertiku?" Lirih, samar suara Nessa tercekat ketika merebahkan diri tepat disamping pintu kamar. Memeluk suhu tubuhnya hingga terisak.      "Aku tidak menyesal terlahir di dunia ini tuhan. Tapi aku menyesal kenapa aku masih belum mengerti jika aku hanya manusia kotor." Nessa tak perduli dengan jamuan malam yang akan membuatnya hancur ataupun mati.      Nessa menatap tingkap ruangan memancarkan cahaya rembulan. Menatap seluruh lingkaran itu dengan ekor mata yang telah banjir oleh butiran halus yang hampir mengering.      Ucapan itu. Percakapan pada dirinya sendiri, serta suara tertahan oleh jangkauan kesedihan menusuk rongga menyimpan jantung Gerald. Ia meraba pelan panel pintu, menahan agar tak membuka atau membantingnya. Tidak! Gerald menyatukan giginya. Menunjukkan struktur rahang yang menajam,      "Makan malam ini bukan kemauan ku. Jangan harap jika aku akan memaafkan mu saat nenekku kecewa. Keluar dalam tiga puluh menit atau tidak sama sekali." Gerald mengedarkan pandangan dan berjalan menjauh.      Gerald melangkah berat dari penderitaan yang tak ia mengerti. Benar-benar Sulit untuk Gerald memahami mengapa batinnya bergetar dan pedih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD