Bab 7

1048 Words
Lyra meraup makanannya tanpa ada rasa malu ketika puluhan siswa dan siswi menatap kearahnya aneh. Dirinya kelaparan akibat membersihkan kamar mandi yang cukup menguras tenaganya. Sedangkan Atlas, lelaki itu sekarang pergi entah ke mana. “Santai aja kali makannya nggak ada yang minta kok,” ujar Thea, yang baru saja keluar dari dalam kelas. Sontak Lyra mendongak. Di beberapa titik bibirnya terdapat nasi yang menempel membuat Thea yang melihat itu garuk-garuk kepala. Thea tidak habis pikir dengan tingkag Lyra yang seenaknya sendiri. Lyra bersikap seolah dia bukanlah dari kalangan keluarga yang terpandang. “Lo nggak malu makan dengan cara kaya gitu?” tanya Thea, masih menatap Lyra heran. Lyra menggeleng tanpa suara lalu kembali melanjutkan acara makannya yang sempat tertunda. Lyra tidak sempat memikirkan rasa malu di saat perutnya benar-benar sedang kelaparan. Bahkan gadis itu tidak peduli saat teman atau adik kelasnya menatapnya dengan heran. Yang terpenting sekarang adalah perutnya kenyang tidak keroncongan lagi. karena definisi dalam hidpunya adalah perut kenyang hati bahagia. Jadi, tanpa makan Lyra tidak akan pernah bahagia. “Mahu?” tanya Lyra, suaranya tidak terlalu jelas terdengar karena mulutnya penuh dengan nasi goreng. Thea menelan ludahnya sendiri lalu menggeleng masih menatap Lyra dengan tatapan yang aneh. Thea masih berpikir, tubuh Lyra kecil dan tidak terlalu gemuk, tetapi porsi makannya cukup menguras dompet karena saking banyaknya. Bayangkan saja satu porsi nasi goreng, seblak, bakso, cilok, es teh manis, dan ada beberap jajanan di sekelilingnya. “Lo nggak begah?” tanya Thea. Lyra menggeleng, “Enggak.” “Nggak takut gendut atau obesitas?” “Enggak.” “Nggak takut badan lo penuh lemak?” “Enggak.” “Nggak takut ….” “Aduh Thea! Please deh, Lyra itu lagi menikmati makanan ini jangan ditanya-tanya dulu dong kalau Lyra udah selesai makan baru Thea boleh mengajukan pertanyaan!” Lyra memotong ucapan Thea cepat karena Lyra sudah kesal dengan teman satu kelasnya itu. Pasalnya Lyra tidak suka jika sedang makan tetapi diganggu maka kenikmatan makanan itu tidak akan Lyra temukan lagi. Thea berdecak kesal, dia baru sadar ternyata kemarahan Lyra baru muncul ketika sedang makan tetapi diganggu. Enah memang, tetapi itulah Lyra. Di saat Atlas berucap pedas, tetapi tidak sedikutpun membuat hati Lyra marah atau kecewa. Di saat banyak orang yang membicarakannya di belakang, tidak ada sedikitpun niat Lyra untuk membalas. Akan tetapi, jika sudah menyangkut soal makanan, sampai ke ujung dunia pun si penganggu itu akan dia kerjar lalu di hajar habis-habisan. “Hai, gue boleh gabung?” Suara itu membuat Lyra dan Thea menatap ke sumbernya. Di lihatnya seorang laki-laki tampan sedang menatap Lyra tanpa berkedip. Thea terlihat sedikit risih saat lelaki itu tidak mengalihkan pandangannya karena Thea tahu bagaimana sifat dari lelaki tersebut. “Kenapa?” tanya Lyra, saat dia tahu lelaki yang duduk di depannya tidak berhenti menatapnya. “Kalau makan itu jangan belepotan,” ucapnya, lalu tangannya terulur untuk menghilangkan beberapa nasi yang ada di susut bibir Lyra. “Lepas!” perintah Thea, seraya memukul lelaki itu agar tidak lancang menyentuh Lyra sembarangan. “Thea, jangan galak-galak dong,” ujar Lyra, mencoba memberi peringatan temannya agar tidak main tangan. Lyra yang polos tidak tahu apa maksud Thea bersikap seperti itu kepada lelaki itu. Thea tidak ada niat jahat sedikitpun, dia hanya ingin melidungi Lyra dari lelaki jahat seperti lelaki yang sedang duduk bersama dengan mereka sekarang. “Lo ada masalah apa sih sama gue?” tanya lelaki itu, menampilkan senyumnya yang tengil. Thea semakin geram melihat lelaki itu mengejeknya. Sudah sejak pertama kali Thea masuk sekolah tidak menyukai lelaki itu. Untung saja kelasnya terpisah, jadi selama ini Thea tidak pernah ribut fisik dengan lelaki itu. “Jangan lancang tangan lo!” peringat Thea, dengan nada tegas dan tataman yang tajam. Thea memang tidak memandang bulu jika sudah membenci. Kebencian itu tumbuh bukan atas kesengajaan, kebencian itu terjadi begitu saja saat dia tahu lelaki yang sedang duduk di atas kursi yang sama sering kali mempermainkan perasaan wanita. “Niat gue baik, The. Lo masih anggap gue cowok kurang ajar ya?” tanyanya, lalu terkekeh di akhir kalimat. “Nggak sudah sok polos deh lo. Gue tau niat lo mau deketin Lyra itu apa. Inget, Lyra di bawah pengawasan gue, sekalo lo macem-macem tulang leher lo bakalan patah!” ancam Thea, agar lelaki itu jera tidak lagi mendekati Lyra yang akan menjadi mangsa selanjutnya. “Lo ngomong apa sih?” tanyanya, berlagak tidak tahu apa yang dimaksud Thea. “Edsel Beyrl Daruna, gue tau gimana busuknya lo dari dulu. Jadi, sekarang lo nggak bisa lagi bohong sama gue. Gue bukan cewek-cewek yang pernah jadi mainan lo di luaran sana.” “Amathea Rajendra Mahatma, dari dulu lo itu selalu jadi pusat perhatian cowok-cowok play boy kaya gue. Banyak yang naksir sama lo, tapi nggak ada satu pun laki-laki yang bisa menangin hati lo. Gue yakin suatu saat nanti lo bakal luluh sama gue.” “Mimpi aja terus, nggak sudah bangun!” Lelaki bernama Edsel itu terkekeh pelan. Sebenarnya sudha lama sosok Thea menjadi incarannya. Selain cantik dan pintar, gadis itu juga pandai bela diri yang lebih menantang lagi adalah sifat jual mahal dan ketusnya Thea tidak ada yang bisa menandingi. Di Hingh Silverword School hanya Thea satu-satunya cewek yang tidak pernah luluh dengan para buaya yang ada di sana. “Gue semakin tertantang sama lo. Tapi, sebelum itu, lo tau lah siapa target gue selanjutnya,” ujar Edsel sambil melirik Lyra yang sedang asyik menghabiskan makanan ringannya. Gadis itu hanya diam seolah tidak ada lagi manusia di muka bumi ini. “Sekali lo berani nyentuh dia, lo harus siapin dari sekarang tukang gali kubur sama keranda mayat.” “Tenaga cewek mana bisa sih ngalahin gue.” Edsel berlagak sombong, padahal dia tidak tahu seberapa kemampuan Thea bela diri. “Cantik, gue balik ke kelas dulu ya. Kalau mau cari gue, cari aja di kelas sebelah gue ada di sana,” ucapnya, kepada Lyra. “Oh oke siap.” Lyra mengacungkan ke dua jempolnya dan tidak lupa memamerkan deretan giginya yang putih. “Ra, gue harap lo nggak nurutin permintaan dia.” “Kenapa sih The? Dia baik kok mau berteman sama Lyra. Lyra itu anaknya nggak pernah pilih-pilih teman,” ucapnya. “Pantes lo gampang di begoin,” gumam Thea, lantaran gadis itu kesal. Kepolosan Lyra seperti gadis bodoh pada umumnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD