Bab 6

1594 Words
Rutinitas pagi Lyra seperti biasanya, menunggu Atlas di depan pintu apartemen lelaki itu karena ingin berangkat ke sekolah bersama. Sepertinya Lyra tidak kapok dengan ucapan Atlas yang selalu terlontar pedas, buktinya gadis itu tidak pernah menyerah. Sudah berdiri lebih dari tiga puluh penit lamanya, tetapi Atlas tidak juga keluar. Berkali-kali Lyra mengetuk pintunya, tetapi tidak ada sahutan sedikit pun dari sang pemilik apartemen. Meskipun tidak ada kepastian, Lyra tetap setia menunggu di sana sampai jam hampir saja pukul tujuh tepat. Berkali-kali Lyra menghela napasnya kasar, mencoba mengusir rasa bosan yang sejak tadi melanda. Ingin pergi meninggalkan Atlas, tetapi dia takut nanti Atlas akan terlambat. Saat Lyra asyik bergelut dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba saja ponselnya berdering menandakan ada telepon masuk. “Iya Thea, kenapa?” tanya Lyra, nadanya terdengar ceria meskipun hatinya tidak. “Lo di mana?” tanya Thea di seberang sana. “Lagi di depan pintu apartemen Atlas, emangnya kenapa?” “Ngapain lo di sana?” “Lagi nungguin Atlas.” “Lo nggak sadar ini jam berapa?” tanya Thea, sepertinya muali gemas dengan Lyra. “Tau kok, hampir jam tujuh kan?” “Terus lo ngapain masih ada di sana, lima belas menit lagi bell masuk nanti lo terlambat bisa dihukum.” “Yang penting nanti dihukumnya sama Atlas. Lyra nggak pa-pa kok, ikhlas.” “Terserah lo, dasar keras kepala!” lalu Thea mematikan sambungan teleponnya secara sepihak. Lyra menatap layar ponselnya dengan kening mengkerut. Gadis itu bingung dengan sikap temannya yang tiba-tiba saja berubah sensi. “Thea kenapa sih? Nggak jelas banget. Padahal Lyra nggak pa-pa,” gumam gadis itu, sembari memasukkan kembali benda pipih itu ke dalam tasnya. Tidak berselang lama pintu apartemen milik Atlas terbuka lebar dan munculah sosok yang selama ini Lyra tunggu kedatangannya. Seragam putih abu-abu yang berantakan selalu menjadi ciri khas Atlas saat ingin berangkat sekolah. “Ihhh Atlas, bajunya berantakan. Sini Lyra rapihkan.” Lyra membenarkan kerah baju seragam Atlas dengan penuh kesabaran. Atlas hanya diam, karena dia tahu percuma saja melarang Lyra si gadis keras kepala. “Ettt, lo mau apa?” tanya Atlas, saat tangan Lyra bergerak turun untuk memasukkan baju Atlas ke dalam celana. “Baju Atlas berantakan banget, Lyra mau masukin,” ucap Lyra, tatapan matanya terlihat sangat polos sekali. “Lo nggak tau akibat dari perbuatan lo itu bakal fatal?” tanya Atlas. “Fatal? Memangnya Lyra membuat kesalahan apa?” Pertanyaan polos yang terucap dari bibir mungil Lyra membuat Atlas frustasi. Apakah Lyra sepolos itu? Tanya Atlas di dalam hati. Sungguh di luar dugaan gadis di depannya itu. “Terserah lo deh, gue capek ngomong sama lo.” Lalu Atlas melenggang pergi begitu saja meninggalkan Lyra yang sudah rela menunggunya di depan pintu. “Atlas, tungguin Lyra!” gadis itu berari, mencoba mengejar langkah Atlas agar tidak tertinggal. Di apartemen itu terlihat sangat sepi, wajar saja karena jam sudah menujukkan pukul tujuh tepat pasti orang-orang yang menghuni gedung apartemen itu sudah berangkat ke kantornya masing-masing. Akhirnya setelah berlari sampai membuat napas teregah, kini Lyra bisa menyamai langkah Atlas. Senyum di wajahnya tidak pernah pudar ketika sedang berdekatan dengan sosok laki-laki ke dua yang sangat di cintainya. “Kenapa lo?” tanya Atlas, memandang Lyra aneh karena tidak berhenti menampilkan senyumnya. “Lyra bahagia,” jawabnya, senyumnya semakin lebar saat Atlas menatapnya. Meksipun tatapan itu datar, tetapi Lyra sangat bahagia bisa mendapatkan tatapan itu lagi. “Bahagia kenapa?” Atlas semakin heran. Lyra mengangguk, lalu menjawab, “Iya, bahagia. Karena hari ini Lyra masih beri napas untuk melihat Atlas berangkat sekolah dengan keadaan sehat,” jelas Lyra, ucapannya terdengar sederhana di telinga Atlas. Bahkan lelaki itu tidak pernah merasakan apa yang Lyra rasakan saat ini setelah mamanya tiada. “Basi!” lalu Atlas mempercepat langkahnya sehingga membuat Lyra kembali tertinggal di belakang. “Loh, kok Lyra ditinggal lagi sih? Atlas, tunggu!” Lyra kembali berlari mengejar Atlas yang sudah berada jauh di sana. Dengan rasa terpaksa, Atlas mau memboncengkan Lyra sampai ke sekolah. Suasana di sana sudah sangat-sangat sepi, tidak ada lagi anak murid yang berkeliaran keluar kelas. Ya, Lyra dan Atlas terlambat. Kesekian kalinya untuk Atlas dan pertama kalinya untuk Lyra. Gadis itu rela nama baiknya tercemar hanya karena ingin berangakt sekolah bersama dengan Atlas. Murid baru yang harusnya menjaga nama baiknya, tetapi tidak dengan Lyra. Menurut Lyra asal dihukumnya bersama Atlas dia tidak akan pernah sedih. “Kita di hukum ya Atlas?” tanya Lyra, senyumnya tidak pernah luntur di wajahnya. Akhirnya mimpinya terwujud dihukum bersama dengan Atlas. “Kenapa lo bahagia banget dihukum?” tanya Atlas, masih menatap Lyra heran. “Atlas jangan kepo. Udah ayo kita bersihin toiletnya sebelum jam istirahat.” Lyra mulai mengambil alat tempur untuk membersihkan toilet kamar mandi. Selama mengerjakan hukuman itu tidak ada rasa kesal di dalam hatinya, justru kebahagiaan itu sekarang yang gadis itu rasakan. Bisa berdua bersama dengan Atlas di sana dalam waktu yang cukup lama, setidaknya sampai jam istirahat tiba. Sedangkan Atlas, lelaki itu sudah bosan sekali mengerjalan hukumannya yang tidak pernah berubah. Di dalam hatinya selalu menggerutu, percuma saja bayar sekolah mahal-mahal setiap bulannya kalau sekolahan tidak kuat membayar gaji tukang bersih-bersih toilet. “Atlas.” Kegiatan Atlas yang sedang menyikat lantai kamar mandi menjadi terhenti saat suara yang paling dia benci masuk ke dalam gendang telinganya. Lelaki itu menoleh, menatap Lyra dengan tajam. “Kenapa?” tanya Atlas, dengan suara dan wajah yang datar. “Nggak pa-pa, mau lap keringat Atlas aja,” jawab Lyra, lalu gadis itu mengusap keringat yang ada di kening Atlas. Lelaki itu terdiam beberapa saat. “Lo nggak jijik?” tanya Atlas, kemudian kembali pada kegiatannya yang sempat tertunda beberapa saat. Lyra menggeleng, “Nggak, kenapa harus jijik? Bekas makanan Atlas pun Lyra doyan kok.” “Lo apa sih yang nggak doyan?” Lyra tertawa dan gelak tawa itu membuat Atlas semakin bingung. Lelaki itu berharap Lyra tidak kesambet setan yang ada di dalam kamar mandi. “Kenapa lo?” tanya Atlas, kembali menatap Lyra yang sedang jongkok di sampingnya. “Lucu aja. Ternyata Atlas tau ya kalau Lyra itu suka banget makan.” Tawa itu dilanjutkan kembali oleh Lyra sampai gadis itu puas. Selama Lyra tertawa, Atlas tidak peduli, lelaki itu memilih melanjutkan kembali kegiatannya. Kini suasana di dalam kamar mandi itu hening yang terdengar hanyalah suara sikat yang bergesekan dengan lantai kamar mandi. Lyra yang tidak terbiasa membersihkan kamar mandi tangannya terlihat kemerahan dan pinggangnya mulai terasa panas. Namun, gadis itu tetap melanjutkan hukumannya karena menurut dia sebuah hukuman itu adalah sebuah hutang yang harus diselesaikan secepatnya. “Kenapa lo?” tanya Atlas, tubuhnya bersandar pada pinggiran pintu kamar mandi. Lyra mendongak mendapati Atlas sedang berdiri di sampingnya. Gadis itu memperlihatkan tangannya yang merah akibat memegang sikat terlalu lama dan ditambah lagi sabun yang digunakan kandungannya cukup keras. “Makanya jangan sok mau nemenin gue. Akibatnya lo nyiksa diri sendiri kan,” ucap Atlas. “Tapi Lyra nggak pa-pa.” “Kenapa lo batu banget sih dibilangin? Tangan lo itu nggak biasa pegang sabun kaya gini yang ada malah nanti melepuh dan gue lagi yang susah,” omel Atlas. Lyra kembali menatap Atlas, dari tatapannya tidak ada penyesalan sama sekali karena telah membantu Atlas menjalani hukuman. Atlas saja sampai bingung sebenarnya perasaan Lyra itu terbuat dari? “Apa?” tanya Atlas, nadanya sedikit menaik. Lelaki itu bukan kesal di tatap oleh Lyra, melainkan hanya heran saja. Lyra menggeleng, “Nggak pa-pa. Lyra merasa baik-baik aja kok, jadi Atlas nggak usah khawatir ya.” “Siapa juga yang khawatir sama lo? Gue Cuma nggak mau lo ngerepotin gue nantinya. Mentang-mentang kita satu apartemen terus lo manfaatin gue gitu? Jangan harap gue bodoh!” “Siapa yang mau manfaatin Atlas sih? Emangnya selama ini kalau galon di tempat Lyra habis, Lyra minta tolong sama Atlas? Enggak kan? Lyra minta tolong sama abang-abang yang di bawah kok. Terus kalau kran di kamar mandi Lyra mati, emangnya Lyra minta tolong sama Atlas? Nggak juga kan? Lyra selalu manggil Abang-Abang yang ngerti masalah kran air. Terus kalau pembalut Lyra habis, memangnya Lyra minta tolong sama Atlas buat beliin di bawah? Enggak pernah kan? Lyra selalu beli sendiri ke bawah. Terus, Lyra manfaatin keberadaan Atlas di mana?” dengan polosnya Lyra menyebutkan kejadian-kejadian yang ada di apartemen selama dia berada di sana. Lyra memang terkadang manja, tetapi di situasi tertentu dia akan menggunakan otaknya untuk bertahan hidup. “Terus kenapa setiap pagi lo nebeng motor gue? Emangnya di ponsel lo nggak ada aplikasi ojek online?” “Lyra nggak berani, Mama sama Papa nggak akan pernah izinin Lyra buat naik ojek online. Pengen sih biar nggak ngerepotin Atlas setiap hari. Pernah dulu kejadian Lyra naik ojek, eh abang ojeknya bikin Lyra nggak nyaman dan mulai dari sana orang tua Lyra nggak ngebolehin lagi,” jelas Lyra, masih dengan wajahnya yang polos. “Ya udah iya lo boleh nebeng motor gue setiap pagi. Dari pada nanti ada apa-apa sama lo dan nyokap bokap lo tau kita tetangaan dan satu sekolah bisa panjang urusannya. Gue, gue juga nanti yang repot.” Senyum Lyra merekah seperti bunga di pagi hari yang baru saja terkena sinar matahari. Senyumnya yang manis mampu menghangatkan perasaan siapa saja yang melihatnya. Kebahagiaan tidak harus muncul dari hal-hal yang mewah, seserhana ini membuat hati Lyra bahagia. “Makasih Atlas. Lyra semakin sayang deh sama Atlas,” ujar Lyra, masih dengan senyum yang sama. Atlas merinding saat Lyra menyatakan sayang kepadanya. Di dalam hati Atlas bertaya-tanya, apakah dia tidak tahu posisinya seorang perempuan itu harus menjaga citranya agar tetap terlihat baik? “Terserah lo.” Lalu Atlas pergi kembali mengerjakan hukumannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD