“Pergi lagi? Tapi kamu baru pulang semalam!” protesnya ketika paginya, suaminya itu bilang kalau dia akan keluar kota lagi hari ini.
“Maaf, Sayang, tapi aku nggak pulang. Tepatnya, aku kabur. Pekerjaan kami belum selesai dan hari ini aku harus kembali ke sana. Kamu sabar ya, Sayang, ini demi masa depan kita berdua juga,” rayu Gio sembari mengecup bibir merah istrinya yang masih sedikit bengkak setelah dia menghabisinya semalam.
“Hhh, kalau harus pergi lagi kayak gini, ngapain kamu pulang? Aku sudah menyusun rencana kalau kamu pulang, tau nggak!”
“Iya, iya, simpan saja rencanamu dan tunggu sampai aku benar-benar menyelesaikan pekerjaanku, oke?” Lagi, Gio mengecup bibir istrinya. Dia harus pergi sekarang. Kalau nggak bergegas, dia bakalan terlambat dan harus mengulur waktu lebih lama untuk berjauhan dengan Val.
“Pagi, Ma, Pa!” sapa Gio ketika menuruni tangga. Dikecupnya pipi mamanya yang sedang menyusun bunga segar di jambangan.
“Kapan kamu pulang? Kok, kami nggak sadar?” tanya Papa yang sedang nonton berita pagi.
“Lewat tengah malam, Pa. Sekarang harus pergi lagi.”
“Lho, kok cepet sekali? Kenapa bolak balik begini?”
“Kasih jatah batin dulu buat istri, Ma,” katanya sambil tersenyum jenaka. “Sudah, ya, Ma, Gio pergi dulu. Yuk, Pa!” katanya setengah berlari menuju luar rumah.
“Nggak sarapan dulu, Gio!” teriak mamanya.
“Sarapan di mobil saja sambil jalan. Dah Mama!” teriaknya sambil melambai.
Tak berapa lama setelah mobil Gio terdengar meninggalkan halaman rumah, Val berari kecil menuruni tangga.
“Val pergi, Ma,” katanya sambil mencium pipi Mama cepat. “Dah, Papa!” pamitnya lalu berjalan cepat keluar rumah.
“Kamu nggak sarapan, Val?” tanya Mama heran.
“Nggak laper, Ma,” jawab Val tanpa menoleh. Tadi Mama sempat melihat muka Val yang murung.
“Pa, apa mereka berdua habis berantem? Kok, pada buru-buru pergi gitu, sih?”
“Kan, tadi Gio bilang kalau abis kasih jatah buat Val. Masa kalau berantem begituan, sih, Ma?”
“Papa kayak nggak tahu saja, ya mungkin berantemnya abis begituan. Val ditinggal lagi, pasti dia kesal, Pa.”
Papa manggut-manggut. “Apa keputusan Papa buat pensiun itu salah, ya, Ma? Gio luar biasa sibuk. Melebihi Papa dulu.”
“Tapi Mama enjoy aja sih waktu sering ditinggal Papa, yang penting kartu kredit sama ATM penuh. Tapi kalau Val, dia masih muda sekali, Pa. Dan kayaknya dia nggak begitu tertarik sama ATM Gio.”
“Mungkin kita perlu bikin anak satu lagi, biar ada yang bantu Gio nanti,” kata Papa genit sambil mematikan TV.
“Nggak usah macam-macam, sudah tua. Nanti sakit pinggang lagi karena salah goyang.”
Tapi Papa nggak peduli dan dia berdiri lalu mendekati Mama. Papa mencium pipi Mama penuh perasaan lalu bersiap melewatinya.
“Yuk, Ma!” ajaknya.
Muka Mama sudah berubah pink karena malu. Seumur segini masih juga bisa blushing.
“Ke-kemana, Pa?” tanyanya berusaha meyakinkan kalau perasaannya nggak salah.
“Sarapan, dong, Papa sudah lapar. Kalau tahu anak-anak nggak sarapan bareng, buat apa Papa nunggu lama.”
Mama menelan ludah, ternyata perasaannya salah.
***
Kepagian Val tiba di kampus. Belum banyak orang dan kedua temannya juga nggak kelihatan. Setelah Gio meninggalkannya, dia merasa kesal sekali dan memutuskan pergi ke kampus untuk menghilangkan suntuk. Suasana kampus yang sepi nggak membuat perasaannya membaik. Malahan dia tambah nggak enak hati. Tapi jam segini dia harus ke mana? Mall juga belum buka. Paling tukang jual sarapan yang ramai karena pada gelar dagangan. Akhirnya dia memutuskan duduk di bangku batu yang ada di taman depan gedung.
“Maaf, gedung 10 di mana, ya?” teguran seseorang membuat Val mengangkat wajahnya dari buku yang terbuka tapi nggak dia baca sama sekali.
“Itu, di depan situ gedung 10,” tunjuk Val pada gedung di sisi kanannya. Gedung tempatnya biasa menerima materi kuliah. Diperhatikannya sekilas lelaki muda yang tersenyum dan bilang terima kasih ini.
Dari penampilannya dia seperti mau melamar kerja. Apa dia dosen baru? Karena ada satu dosennya yang pensiun baru-baru ini.
“O, ya, apa kamu punya hobby baca buku terbalik?” tanya lelaki muda itu. Val memandanginya nggak paham, merasa aneh dengan pertanyaan lelaki itu.
“Itu,” tunjuknya pada buku di pangkuan Val. “Buku kamu terbalik dan dari tadi saya perhatikan, kamu cuma mendesah saja. Apa buku terbalik itu bikin emosi pembacanya lebih terasa?” Pertanyaannya terdengar serius tapi lelaki ini seperti sedang menggoda Val.
Val memandangi wajahnya lekat. Lumayan juga, bibirnya tipis, menggoda. Matanya berbinar karena dia sedang mengerjai Val sekarang. Secara keseluruhan, dia lelaki yang menarik. Hanya saja dibanding Gio, mungkin lelaki ini lebih pendek walau masih lebih pendekan Val.
“Mmm, saya …” Val nggak tahu harus membalas apa. Dia memandang buku di pangkuannya dan membalikkannya. “Jelas lebih terasa emosinya karena membaca buku terbalik itu susah. Dan saya mendesah karena putus asa,” sahutnya sambil menutup buku itu.
“n****+ klasik. Saya suka n****+ klasik. Mungkin kita bisa membahas intisari n****+ itu kapan-kapan. Tapi saya harus ke gedung 10 sekarang,” katanya sambil menangkupkan kedua telapak tangannya di depan wajah.
Val menggeleng pelan ketika lelaki itu meninggalkannya. “Dasar aneh, yang ngajak dia diskusi juga siapa? Kok, kayaknya dia merasa aku yang ngajak terus dia berusaha menolak. Dih, makin banyak aja cowok geeran di muka bumi.” Val merinding geli dan memandangi punggung lelaki itu yang menghilang ke dalam gedung.
Perutnya berbunyi dan Val memutuskan mencari makan di warung kecil yang banyak terdapat di seberang kampus. Sudah lama dia ingin nggak makan di sana, sejak bukan lagi anak kos. Lalu pikirannya mendadak teringat Gio. Tadi dia pergi sebelum sarapan. Apa suaminya itu sudah makan? Ketika semalam dia memeluknya, lelaki itu seperti kehilangan bobot beberapa kilo.
“Ah, doamat. Dia juga nggak peduli aku dah kenyang apa belum,” gerutunya. Masih kesal karena ditinggal Gio lagi.
***
“Hey, hootie! Mau dengar kabar gembira nggak?” seru Poppy sambil berlari kecil ke arah dua temannya yang sedang memesan semangkuk bakso di kantin.
“Perasaan kamu sering banget lari tapi kok nggak kurus-kurus, ya?” ledek Mai. Val cuma terkekeh mendengarnya.
Berada di antara mereka mengembalikan moodnya. Untuk sejenak dia melupakan Gio dan rasa kesalnya.
Poppy merengut. Kalau lagi sok manja gini, dia kelihatan imut dan ngegemesin.
“Kalian mau denger gosip ter-hot, nggak! Eh, aku mau juga dong baksonya. Yang beranak ya!” katanya sambil menarik kursi dan duduk di hadapan kedua temannya.
Mai bergidik geli mendengar pesanan Poppy. “Bakso aja pesennya yang beranak, ya pantes aja lemakmu berkembang biak bebas. Yang biasa aja kenapa?”
“Nggak kenyang porsinya. Eh, mau denger nggak gosip terbaru?” desaknya lagi sambil mencondongkan tubuh ke arah mereka.
“Gosip apaan? Perasaan nggak ada yang terbaru. Apa ada update si Nia jadi di unboxing nggak sama Rico?”
“Izzz, itu nggak tahu! Tapi kalau iya, pasti udah heboh, sih. Tau sendiri Nia, baru dicolek Rico aja udah disko chachacha dia. Ini lebih heboh dari cerita anak tingkat tiga yang jualan video mesuum dia!”
“Geblek! Kalau gosip level gini, aku suka!” Mai ikut mencondongkan diri. Seolah mereka akan membahas rahasia BIN yang nggak boleh sampai didengar orang. Nggak sadar, Val juga ikut mencondongkan tubuhnya.
“Jadi … tadi aku denger di fakultas kalau jurusan kita kedatangan dosen baru. Penggantinya Pak Suparmo yang pensiun itu!”
“Terus! Terus!”
“Yak kiri, Gan! Puter balik! Balas!” seru Poppy tiba-tiba.
“Kok jadi markir, sih Py? Mobilnya aja nggak ada!” kata Mai kesal. Val terkekeh melihat keributan dua temennya.
“Elu, tuh yang kayak Kang Parkir pake terus terus segala. Gue, kan berasa jadi mobilnya, sotoy!”
“Ah, kamu mah baperan! Kamu bukan mobil tau, tapi bus!” Mai tertawa sampai tubuhnya menyandar di kursi.
‘Pluk!’
Botol kecap melayang dan jatuh di pangkuan Mai.
“Nggak jadi ajalah gosipnya!” Poppy pura-pura mau pergi saja.
“E-eh, jangan. Udah terlanjur kepo! Sini-sini ngemil dulu!” Val menggeser mangkok baksonya ke depan Poppy. Dirayu makanan, gimana nggak meleleh hati Poppy, Bang! Gadis subur itu langsung menyuap sebuah bakso dan mengunyahnya cepat.
“Jadi … demi Val, aku bakal tetap nyebarin gosip ini. Ini tentang kelangsungan hidup perkuliahan kita. Karena setelah ini, kelas yang ditinggalkan Pak Parmo bakalan penuh. Nggak kayak biasanya yang banyak anak bolos karena kuliahnya ngantukin.”
“Lho kenapa?” tanya Val ingin memastikan.
“Soalnya gantinya Pak Parmo itu dosen muda yang gantengnya MasyaAllah dan dia itu baru pulang dari luar negeri. Muda, ganteng, dan tajir. Dan kabar paling hotnya …” Poppy mencondongkan tubuhnya. “Dia itu duda! Hot duda gaess! Hot duda.”
Teriakan tertahan terdengar dari arah Mai, sementara Val mengernyit karena nggak paham apa hebatnya dengan informasi barusan. Apa bagusnya seorang duda?©