| Pagi Hari
Desahan pagi hari menggema di ruang kamar mereka yang luas. Seprai kusut dan bantal yang berserakan di lantai bukti kalau baru saja terjadi aktivitas menggemparkan yang membuat porak poranda isi kamar.
Hampir setiap pagi mereka melakukan aktivitas rutin yang mereka bilang olahraga pagi. Ketika orang lain mencari keringat dengan berlari kecil di udara segar, mereka memilih berkeringat dan berebut udara hingga tubuh mereka basah. Susah untuk membedakan lagi, mana keringat mana saliva.
Setelah aktivitas panas mereka usai, keduanya melepas lelah dengan saling memeluk. Val tidur di lengan kiri Gio yang kekar sementara tangan Gio bebas meraih tubuh Val dan menyentuh titik-titik kesukaannya.
“Berapa kali?” bisik Gio lembut di telinga Val. Wanita itu tersenyum mendengar pertanyaan yang hampir selalu dilontarkan suaminya setiap mereka selesai bertukar kehangatan.
“Apa itu penting? Ini bukan yang pertama kali, Sayang.”
Lelaki tampan itu mengecup kening istrinya. Wanita terkasih yang dia perjuangkan sepenuh hati hingga mereka menikah enam bulan lalu.
“Buat aku …, ya. Aku selalu ingin membuat kamu enak, Sayang.”
Val terkekeh. Dia tahu betul suaminya. Seolah bisa memberinya lebih dari sekali membuat dia merasa hebat dan menjadi lelaki yang membanggakan.
“Yes, you always do! Kamu tahu betul mana yang enak buat aku.”
“Aku hapal tubuh kamu, Sayang.” Gio mencari bibir Val yang sudah dia cintai sejak mereka dipertemukan dalam situasi yang menyesakkan dulu. Sekarang dia boleh berbangga hati karena hanya memiliki bibir itu untuk dinikmatinya sendiri.
“Dan aku juga paling mengerti hati kamu,” kecupnya lagi. Kemudian dia membalikkan posisi dan mencumbui istrinya sekali lagi.
Lagi … dan lagi. Seolah bagi mereka berdua tidak pernah ada kata bosan dan berhenti untuk saling merindukan. Meski Gio disibukkan dengan kerjaan kantornya sejak Papa mengundurkan diri sebagai presdir, sebisa mungkin dia meluangkan waktu untuk mengirim pesan pada istrinya. Sekadar bertanya, apa yang sedang dia lakukan hari itu.
Demikian juga dengan Val. Meski tugas kuliahnya sudah mulai menumpuk, setiap kali Gio menghubungi, dia akan membalasnya cepat-cepat. Hatinya selalu dipenuhi cinta dan keinginan untuk selalu berduaan dengan suaminya. Kadang jika kuliahnya hanya setengah hari, Val pergi ke kantor Gio untuk mengajaknya makan siang. Jika Gio keluar kantor lebih cepat, dia menjemput Val lalu mereka hang out dulu sebelum makan malam dan pulang.
Sebahagia itu hidup untuk mereka berdua.
“Kayakna malam ini aku pulang larut lagi,” kata Gio ketika dia selesai mandi. Memandang pada Val yang sedang membungkukkan tubuh mengganti seprai mereka yang lagi-lagi bernoda. Damn! I wanna do it again!
“Ngapain? Nggak clubbing, kan?” tanya Val malas. Beberapa hari ini dia selalu terlelap sendirian tanpa melihat wajah Gio seperti yang biasa dia lakukan. Tapi cukup terobati karena ketika dia membuka mata di pagi hari, suaminya sudah terlelap di sampingnya.
“Nggaklah, Sayang. Mana mungkin aku berani lagi. Kamu sudah cukup buat aku. Nggak habis-habis.” Gio menarik pundak istrinya sehingga mereka berhadapan sekarang. Diusapnya pipi Val dengan perasaan teramat sangat bahagia.
“Aku mau kita gini terus tiap hari. Perasaan kita nggak berubah. Kamu tetep hot buat aku dan aku tetep jadi satu-satunya buat kamu.”
“I will, Hun. And hope you too.” Val berjinjit dan mengecup bibir suaminya. “Sekarang kamu pake baju dulu gih, sebelum ada ronde-ronde selanjutnya.”
“Emang kenapa? Aku nggak keberatan kok kalau kamu yang minta.” Gio meraih pinggang Val dan menarik istrinya mendekat. Mengendusi telinga istrinya dan meniupinya hingga Val kegelian. “I love your smell.”
Wanita itu terkekeh dan melepaskan diri. “No, Beb. Aku ada kuis hari ini. Jangan bikin isi otakku berserakan gara-gara terus menerus mendesah, udah cape-cape aku ngisinya semalem.” Val buru-buru melepaska diri dan berlari ke kamar mandi sebelum Gio menangkapnya. Melihat kelakuan istrinya, Gio hanya bisa terkekeh pelan.
Setelah mengeringkan rambut dan merias tipis wajahnya, Val menyusul Gio ke bawah. Di tangannya ada dasi yang belum Gio pasang di kemejanya. Sudah tugas Val untuk memasangkan dasi di kemejanya setiap hari.
“Morning, Ma!” Val mengecup pipi mama mertunya. “Morning, Pa!” Dia juga mengecup pipi papa mertuanya, lalu duduk di samping Gio yang sudah asyik dengan nasi goreng di piringnya.
“Kuliah sampai jam berapa hari ini, Val?” tanya mamanya. Dipandanginya rambut Val yang lembap. Sama seperti Gio, mereka mencuci rambut lagi pagi ini. Setiap hari cuci rambut, apa nggak cape ya? Dasar anak muda.
“Belum tahu, Ma. Ada kuliah tambahan karena dosennya minggu kemarin nggak masuk jadi ditambah jam hari ini. Cuma ya gitu, kadang jadi kadang enggak. Maklum, dosen terbang, Ma. Terbang sana terbang sini.” Dosen udah kayak superman aja sibuknya.
Dosen makul satu itu memang seorang konsultan terkenal yang sering bepergian ke luar daerah dan luar negeri. Waktunya padat sekali tapi ilmunya juga bermanfaat sekali. Yang diajarkan sama dia bukan teori tapi langsung kondisi nyata yang bakal ditemui pada dunia kerja nanti.
“Enak kali ya jadi dosen gitu. Sekali-kali ngajarnya tapi duitnya berlipat-lipat. Mau juga aku kalau bisa. Ada lowongan nggak di kampus kamu, Sayang,” ujar Gio tiba-tiba. Gini-gini juga, meski dia berengsek dulunya, tapi Gio lulusan master di luar negeri. Jabatannya sebagai Presiden Direktur di usia 30-an rasanya cukup untuk membuktikan kalau dia punya kualifikasi yang cukup untuk menjadi seorang pengajar.
Sayangnya tidak begitu dengan pikiran Val. Mendengar niatan Gio, wanita itu meletakkan sendok dan garpunya lalu menoleh galak pada suaminya. “Iya, enak banget. Mana mahasiswi di tempat aku cakep-cakep lho. Minat?” tanyanya dingin sambil mengetuk-ngetukkan garpunya di piring. Berani macam-macam, barang kamu aku tusuk-tusuk pake garpu. Kira-kira begitu pesan yang ingin disampaikan Val.
Melihat garpu dan ketukan-ketukan yang dilakukan Val, Gio menelan ludah. Menyesal dia mengatakan hal seperti itu tadi. Niatnya cuma menggoda Val tapi sepertinya wanita jangan digoda kalau menyangkut masalah kepemilikan.
“Ngg, nggak jadi? Lebih enak jadi presdir,” katanya pelan.
“Apa nggak cukup jadi presdir yang karyawannya pada pake baju kekecilan? Apa masih kurang?” sindir Val membuat Gio tersedak.
Istrinya memang sering protes tiap kali berkunjung ke kantornya. Karyawati di perusahaan suaminya seksi-seksi dan mereka suka sekali pakai baju kurang bahan. Meski sudah kena terguran berkali-kali tetap saja diulang terus. Peringatan berlaku paling lama tiga hari, habis itu balik lagi melanggar. Kalau ditegur alasannya macem-macem. Dari yang katanya sayang baju udah dibeli nggak kepakai, nggak punya uang buat beli baju baru, sampai yang tersinggung karena dikira dibilang gendutan.
Akhirnya manajer personalia menyerah dan memilih membiarkan mereka, karena kerjanya juga bagus. Yang penting mereka nggak pakai bikini ke kantor. Tapi kalau ketatnya sudah kelewatan sampai kancingnya pada menonjol atau sampai hot pant mereka kelihatan, baru diambil tindakan dan dipulangkan hari itu juga. Dan potong uang absen!
Kedua orang tua Gio geleng-geleng kepala kalau melihat mereka mulai bertingkah. Gio yang dewasa memang cocok disandingkan dengan Val yang segar. Gio bisa mengayomi Val dan Val bisa mengimbangi kedewasaannya dengan tidak bertingkah childish atau manja seperti wanita seumurannya.
“Perusahaan cabang kita katanya ada masalah ya, Gi?” tanya Papa mengalihkan fokus dari masalah rumah tangga pasangan muda itu.
“Mmm, iya, Pa. Dikit. Makanya saya sering ngelembur beberapa hari ini. Ada masalah stok yang sering telat kirim.”
“Kok bisa? Biasanya nggak pernah terjadi.”
“Kontainer numpuk nunggu giliran bongkar di pelabuhan, Pa. Abisnya gudang kita penuh.”
“Kok, bisa? Apa nggak laku lagi?” tanya Papa. Sarapannya sudah selesai dan sekarang dia lebih tertarik ngobrolin perusahaan sama Gio.
“Nggak, Pa. Cuma emang ada kendala distribusi aja karena ada perbaikan jalan jadinya lambat bongkar.”
“Kalau gitu oper aja atau jual satu kontainer sekaligus. Nggak usah bongkar lagi.”
“Saya juga sudah memutuskan begitu, Pa. Cuma belum ada jawaban dari calon pembeli. Padahal udah kasih keringanan waktu p********n juga.”
“Coba sesekali kamu inspeksi langsung kantor cabang itu, Gi. Jangan percaya gitu aja laporan dari bawah.”
“Saya berencana begitu. Mungkin minggu depan.”
Val tidak suka mendengar ini. Kalau sudah inspeksi artinya Gio bakalan pergi dinas ke luar kota. Dan dia nggak akan ketemu sama suaminya ini berhari-hari.
“Ke luar kota?” bisiknya pada suaminya.
Lelaki itu menoleh dan tersenyum lembut. Tangannya mengusap rambut Val berkali-kali. “Sebentar saja, kok. Aku bakal kembali sebelum kamu merasa kangen.”
Mana bisa begitu, ditinggal lembur saja Val sudah gundah gulana meriang setiap detik. Ini sampai ditinggal berhari-hari. Sejak menikah, Val belum pernah ditinggal Gio lama-lama. Apa lagi sampai berhari-hari.
“Jangan pasang muka begitu, Sayang. Ini demi masa depan kita juga, kok. Dan juga anak-anak yang bakal lahir dari perut kamu.” Diusapnya pipi Val lembut untuk menenangkan perasaan istrinya. Kalau menuruti kata hati, Gio mau saja membawa Val ketika dia sedang inspeksi cabang.
Tapi Gio sadar banget kalau itu nggak akan bagus untuk reputasi dirinya sebagai presdir. Karena bukannya kerja, dia pasti bakal kerja berdua saja sama Val di kamar.
Melihat tatapan mereka berdua, rasanya udara di meja makan menjadi panas. Sepertinya mereka juga nggak peduli ada siapa saja di sekitar mereka. Dan saat wajah keduanya semakin dekat, Mama dan Papa merasa kikuk. Papa batuk-batuk dan Mama buru-buru membawa piring bekas makannya ke wastafel.
Duh feromon … kenapa juga harus meledak-ledak seperti ini?©