| Emily

1187 Words
Mama mengabarkan berita kehamilan Val pada Papa saat mereka makan malam. “Wah, harus dirayakan kalau begitu. Kenapa nggak bilang dari tadi? Kita kan bisa makan malam di luar kalau tau. Papa lihat Gio juga sudah segeran. Pasti kamu bahagia banget, kan Gio. Akhirnya bisa juga bikin Val hamil.” Gio memang berseri-seri. Meski dia masih lelah karena ulah Val tapi berita kehamilan istrinya bikin dia nggak bisa berhenti tersenyum. Memang beda rasanya ketika bisa menghamili istri sendiri. Bukan saja karena bakal dapat keturunan, tapi Gio juga merasa sempurna jadi laki-laki. “Kamu harus jaga kehamilan kamu itu, Val. Masih muda soalnya. Dan … apa kamu masih mau lanjut kuliah?” “Untuk semester ini saja, Pa. Setelah ujian semester, Val berniat cuti.” “Asal jangan kecapean dan mikir terlalu keras. Kalau nilai kamu jelek pun kamu masih bisa kerja di perusahaan Papa.” Val tersenyum. Dia tahu maksud baik Papa supaya dia nggak terlalu mengkhawatirkan kuliahnya. “Val pengen ngerasain jadi mahasiswa, Pa. Bukan mencari gelar, inget itu dong, Pa. Kita kan udah pernah bahas,” kata Gio mengingatkan kembali. “Iya, iya, Papa ingat. Papa cuma khawatir Val kecapean saja. Ini cucu pertama Papa soalnya.” “Ini juga anak pertama Gio kali, Pa.” Mereka berdua terkekeh. “Kalau gitu, kapan kita bakal merayakan momen ini?” tanya Papa lagi. Diliriknya Mama yang sedari tadi diam. Meski wanita itu terlihat bahagia dan senyum-senyum terus dari tadi, tapi Papa tahu kalau Mama memendam sesuatu. “Nanti saja kalau sudah empat bulan. Pamali merayakan sesuatu yang masih muda sekali. Kita nggak mau kenapa-kenapa sama kandungan Val, kan?” kata Mama mengingatkan. “Mama benar, nanti saja mungkin Pa. Sekalian syukuran.” “Baiklah kalau gitu. Nanti kita bikin acara yang meriah kalau kehamilan Val sudah empat bulan. Pokoknya, Papa beneran bahagia malam ini. Bayangkan! Papa bakal jadi Kakek! Ternyata kita sudah setua itu, Ma! Rasanya baru tahun lalu kita menikah.” Spontan Mama mencubit Papa. “Papa ini ada-ada saja. Tiap pagi kan ngaca, masa nggak lihat uban udah numpuk gitu?” “Hahaha! Enggak ingat kalau sama uban. Abisnya waktu cepat sekali berlalu. Anak-anak juga cepat sekali besarnya. Dan kita berdua sudah semakin tua. Tapi bagi Papa, Mama masih tetap secantik waktu kita bertemu pertama kali.” Papa mengambil jemari Mama dan menciumnya. Membuat pasangan suami istri di hadapan mereka jengah melihatnya. “Panas, nih, Val. Ambil makananmu kita makan di teras samping saja, yuk!” ajak Gio sambil mengangkat piringnya. Dia nggak terlalu lapar karena bahagia, tapi dilihatnya piring Val masih penuh dan Gio tahu kalau wanita hamil itu harus makan banyak jadi dia nggak tega menyuruh Val udahan makannya. “Tapi …” Val kelihatan keberatan karena dia masih mau nambah. Rasanya perutnya nggak punya dasar dan sudah diisi banyak pun nggak terasa apa-apa. “Sudah, ikut aku saja. Dari pada jadi obat nyamuk di sini.” Gio meraih tangan Val dan menyuruhnya bergegas, Papa terkekeh memperhatikan mereka yang menjauhi meja makan. “Tadinya Mama bermaksud memberi tahu Gio soal Emily,” kata Mama tiba-tiba ketika dilihatnya Val dan Gio sudah menghilang. “Tapi nggk jadi, kan?” tanya Papa khawatir. Dia takut kalau berita soal Emily bisa mempengaruhi kondisi Val. Mama menggeleng. “Keburu Val teriak ngasih tahu kalau dia hamil. Bukan Mama nggak senang dengan kehamilan Val. Itu juga hal yang paling Mama tunggu. Tapi … Mama masih khawatir sama Emily? Dia gimana di luar sana? Sendirian. Apa dia masih hidup?” Mama mulai terisak. “Ssst, sudahlah, Ma. Jangan mulai lagi. Nggak enak kalau Gio llihat,” katanya sambil berusaha menghapus air mata istrinya. Mama mengangkat wajahnya. “Emily itu anak kandung kita, Pa! Kenapa Papa kelihatan nggak peduli sama dia?” “Ma, bukan Papa nggak peduli, tapi memang belum ada kabar tentang anak kita. Bahkan Papa rajin mencari info dari rumah sakit siapa tahu ada berita soal mayat perempuan. Dan Papa harus bersikap biasa seolah nggak terjadi sesuatu. Beberapa kali Gio curiga kalau Papa pergi atau Papa nanya soal rumah sakit.” “Tapi Gio tetap harus tahu, Pa.” “Iya. Papa juga setuju kalau Gio harus tahu. Apalagi sekarang Val hamil. Papa nggak mau terjadi sesuatu sama kehamilannya itu. Entahlah, perasaan Papa nggak enak. Papa merasa, Emily berada di sekitar kita dan mengawasi kita.” Mereka berdua berpandangan dengan rasa khawatir. Mama juga merasakan hal yang sama. Akhir-akhir ini dia merasa seolah ada yang mengawasinya di rumah ini. Tapi setiap kali dia melihat ke arah pandangan itu, tidak ada siapa-siapa di sana. Mungkin ini karena dia terlalu khawatir pada nasib anak perempuannya itu. Tanpa mereka ketahui, seseorang sedang menguping dari dinding pembatas ruang makan dengan dapur dalam. Tubuhnya menggigil merapat ke dinding. Kehebohan di meja makan beberapa saat lalu membuat kemarahannya menggelegak. Berita kehamilan Valerie bukanlah berita baik untuknya. Dia sama sekali nggak menginginkan ada makhluk lain yang akan tumbuh dari benih Gio. Kalaupun Gio mau punya anak, anak itu haruslah anak dari rahimnya. Lelaki itu bisa menyemai benihnya sebanyak apa pun di sana dan dia dengan senang hati akan memberikan tubuhnya untuk lelaki itu. Sayangnya Gio tidak menyadari kehadirannya dan semakin hari, dia semakin muak mendengar suara-suara dari kamar Gio dan Val hampir setiap malam. Diam-diam dia sering menguping di depan pintu kamar mereka hanya untuk mengetahui apa yang mereka lakukan tiap malam. “Ema!” panggilan tertahan mengejutkannya. “Kamu ngapain di situ. Mau diusir sama Nyonya dan Tuan?” Wanita yang memanggilnya itu menarik tubuh wanita yang menguping agar menjauh dari dinding pembatas. Sewaktu-waktu bisa saja nyonyanya datang dan memergoki kalau penghuni di rumahnya ini ternyata sudah bertambah tanpa disadari. “Aku cuma mau dengar mereka lagi ngobrolin apa. Orang kaya kalau ngobrol selalu enak didengar,” katanya dengan wajah polos. “Karena dunia mereka beda sama dunia kita. Apa yang mereka lakukan dan katakan terdengar lebih hebat bagi kita. Apalagi kamu, yang baru pertama melihat dari dekat kehidupan orang kaya, pasti terkagum-kagum, kan?” tanyanya pada wanita yang kini ikut masuk ke dalam kamar. Ema mengangguk. “Makasih Mbak Winda sudah mengizinkan aku tinggal di sini diam-diam. Aku jadi nggak kelaparan lagi.” “Iya, tapi kamu nggak bisa selamanya tinggal di sini Ema. Lama-lama pasti ketahuan juga kalau kamu bukan saudaraku. Dan lama-lama pasti bakal ada yang ngadu sama nyonya.” Ema tersenyum. Dia memang nggak berniat tinggal selamanya di sini. Apalagi hidup sebagai babu. Bukan takdirnya untuk hidup sengsara seperti itu. Sengaja dia pingsan di depan rumah ini supaya ditolong salah satu pelayan dan diizinkan masuk. Dan dia sungguh beruntung ketika pelayan bernama Winda menemukannya dan jatuh iba sehingga membawanya masuk diam-diam. Bukan itu saja, bahkan Winda mengatakan kepada para pelayan kalau dia adalah kerabatnya yang mau mencari kerja di Jakarta dan memohon pada mereka untuk merahasiakan keberadaannya. Sungguh luar biasa kemampuannya memanipulasi pikiran orang-orang. Bahkan dokter muda di rumah sakit saja bisa dia kelabui. “Mbak Winda jangan khawatir. Rencanaku, besok atau lusa sudah mau keluar dari rumah ini.” Apa yang dicarinya di rumah ini sudah dia temukan. Kotak perhiasan Emily. Dengan bekal barang berharga di kotak itu, dia bisa muncul ke hadapan keluarganya dengan lebih berkelas.©
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD