Chapter 1

3635 Words
Waktu berjalan lambat saat kau berada di tempat yang tak semestinya. Persis seperti yang Sua rasakan. Ia duduk di meja sudut ruangan. Membuat dirinya tak terjangkau dari siapa pun, mengasingkan diri dari orang-orang yang tak pernah ia kenal. Kedua tangannya terlipat di atas meja. Memerhatikan lilin yang mulai meleleh di dalam mangkuk kecil transparan. Satu-satunya hal yang paling ia inginkan, adalah keluar dari gedung ini. Suara musik yang mengalun dari sudut lain ruangan, suara orang-orang mengobrol dan tertawa, pita-pita besar keemasan yang melingkari seluruh dinding ruangan dan segala macam ornamen keemasaan lain yang menyakiti mata, semua itu membuat Sua bosan setengah mati. Tak ada yang menarik perhatiannya kecuali satu hal. Ia mengalihkan pandangan pada sosok laki-laki di seberang ruangan. Hanya beberapa detik sebelum laki-laki itu melakukan hal yang sama dan mata mereka bertemu untuk kesekian kalinya. Ia laki-laki tampan bertubuh atletis. Beralis tebal dan bermata cokelat gelap. Rambut hitamnya ditata rapi, namun beberapa helai rambutnya jatuh tanpa sengaja di keningnya yang putih bak pualam, membuatnya terlihat luar biasa tampan. Sua menyadari ia tak bisa merasa baik-baik saja setiap memandang wajah sempurna itu, sosok yang terlalu sempurna untuk menjadi nyata. Sosok yang sama yang kini resmi menjadi kakak tirinya. Jika dihitung, hari ini menjadi ketiga kalinya ia melihat laki-laki itu. Pertama, ketika ibunya meminta ia menemani menjemput calon suaminya, yang kini menjadi ayah tiri Sua tentu saja. Kedua, ketika ibunya memberi tahu Sua ia akan segera menikah dan mengajaknya ikut makan malam bersama calon ayah dan kakak tirinya yang baru. Perasaan bingung, tak menyangka dan canggung melebur menjadi satu kala itu. Membuat Sua merasa mual dan nyaris tak sanggup memakan apa pun. Dan jelas. Ia belum pernah mengobrol langsung dengan kakak tirinya. Mendadak musik berhenti. Ia memutar kepala mengalihkan pandangan dan menyipitkan mata. Dari kejauhan ibunya tersenyum, tampak lebih muda dalam balutan gaun pengantin mewah. Melambaikan sebelah tangan ke arah Sua, membuat seluruh mata dalam ruangan nyaris menatapnya, ia berusaha membalas senyuman senormal mungkin. Berharap senyum singkatnya barusan tak terlihat seperti seseorang yang sedang menahan buang air. Ibunya kini memegang mikrofon, bersama ayah tirinya tentu. Mereka akan bernyanyi. Sua mengalihkan pandangan kembali pada lilin. Bertanya-tanya kapan semua ini akan berakhir. Ia menghela napas kesal. Bahkan sulit untuk bernapas dalam gaun yang membalut ketat tubuhnya. Ibunya yang memilih gaun ini, dan sekali dalam seumur hidup, Mom -begitu Sua memanggilnya- memohon untuk menurutinya kali ini. Dan di sinilah Sua sekarang. Terperangkap. Terpenjara. Atau kata apa pun yang tepat dengan suasana hatinya. Sua mengalihkan pandangan tanpa mengangkat wajah. Dan meski belasan kali matanya kembali bertemu dengan mata kakak tirinya, ia tidak pernah bosan. Jujur saja ia memang menikmati ketampanan laki-laki itu. Semua hal dalam dirinya adalah pemandangan yang menyenangkan untuk dilihat. Sama seperti sebelumnya, ketika mata mereka bertemu, maka mereka sama-sama langsung memutus pandangan. Memandang ke arah lain. Tetapi kali ini Sua tidak melakukannya. Ia tetap memandang wajah sempurna itu. Merasa sedikit lucu, meski bukan sesuatu yang dapat ditertawakan dengan suasana hatinya saat ini. Setiap kali ia memandang Han -kakak tirinya- ia akan langsung menoleh padanya. Dan setiap kali Sua merasa ingin menoleh, ternyata Han sedang menatapnya. Sua sangat tahu dirinya peka ketika ada orang lain yang menatapnya diam-diam. Ia akan langsung -dengan sendirinya- menolah pada orang itu. Hanya saja untuk yang satu ini, ia masih belum yakin apakah Han benar-benar memerhatikannya. Dan apakah Han memiliki kepekaan yang sama dengannya? Mom menyanyikan lagu yang belum pernah ia dengar. Sua praktis tak tertarik untuk memerhatikan lebih jauh. Ia menunduk memandang layar ponsel yang tergeletak di meja mendadak menyala. Sebuah pesan masuk dari Yoon. Satu-satunya orang yang ia undang untuk menemani Sua di acara ini, tetapi tak bisa hadir karena harus menjenguk sang kakek di rumah sakit. Yoon bertanya tentang pestanya. Sua tak berminat untuk membalas. Ia masih terpaku. Kelewat malas bergerak dalam balutan gaun sialan ini. Seseorang menarik kursi di hapadan Sua dan mendudukan diri tanpa permisi. Tadinya Sua mengira itu Han, tetapi langsung tersadar Han tidak mungkin melakukan hal tak sopan macam itu. Kenapa ia yakin? Ia juga tidak tahu. Hanya yakin saja. Laki-laki itu berdeham. Sua terpaksa mengangkat wajah. Bukan seseorang yang ia kenal, persis seperti yang ia duga. Jika tak ingat kini ia sedang berada dalam pesta pernikahan Mom dan Dad -cukup berat untuk terbiasa memanggilnya begitu- maka Sua akan langsung keintinya dan bertanya dengan kasar. Jadi kali ini, ia balas tersenyum. Sesaat laki-laki itu membeku, seolah takjub hanya karena melihat senyuman Sua. Membuat Sua begitu ingin mencibir dan memandang sinis. Namun sekali lagi, ia menahan diri. "Namamu Sua, benar?" Ia bertanya, terdengar begitu yakin. "Ya," sahut Sua singkat, masih tersenyum simpul. Ia tertawa kecil, menggelengkan kepala. Membuat Sua bertanya-tanya apakah senyumnya membuat laki-laki itu mulas. Sebelah tangannya terjulur, menunjukkan senyuman yang mungkin bagi dirinya memukau. Ia terlihat kelewat percaya diri dan sejujurnya, Sua jadi agak mual. "Aku Tae-Oh, ayahmu mengenal baik keluargaku." Sesaat ragu, Sua memandang tangan itu dengan kening berkerut samar. "Halo." Mereka serentak menoleh, Sua takjub memandang Han -meski biasanya juga begitu- ia berdiri tegak di sisi meja. Wajah Tae-Oh seketika berubah. "Sudah lama tak bertemu, apa kabar?" Tanya Han formal. Apa pun yang sedang Han lakukan, Sua begitu lega karena ia sudah menyelamatkan dirinya. Ia melirik Tae-Oh. Wajahnya masam, tak menyambut kehadiran Han dengan baik. Ia jelas tak berharap Han akan datang. "Yah," ia mengangkat bahu. "Sebaik yang kau lihat." "Kau terlihat kacau." Ungkapan Han membuat Sua nyaris tertawa. Sebagai gantinya ia menunduk dan menyibakkan helaian rambut di kedua sisi wajahnya ke belakang telinga. Ia memang terlihat kacau dan memiliki senyuman yang membuat mual. "Kurasa kau butuh sesuatu, aku bisa menunjukkan sesuatu yang bagus untukmu," Han sama sekali tak tersenyum. Ia sedang tidak berpura-pura bersikap ramah pada Tae-Oh. Sejak awal Sua menyadari Han dan Tae-Oh tidak memiliki hubungan yang baik. Dan melihat reaksi Tae-Oh semakin menguatkan dugaannya. Rahang Tae-Oh mengeras. Setelah keheningan panjang, ia tersenyum, lalu bicara dengan bahasa yang tak Sua mengerti. Ia bangkit dan Han berjalan di sisinya. Kelegaan menjalar ke seluruh tubuh Sua. Han menyelamatkannya. Ia puas sekali. Ia mengikuti punggung kedua laki-laki itu menjauh. Menuju meja prasmanan yang mulai dipenuhi beberapa tamu undangan. Seketika Sua menyadari ia juga lapar. Dan di tempat ini, tak akan ada seorang pun yang akan menawarinya makan. Menyusul Han dan Tae-Oh, katakanlah berjalan sendirian ke sana. Terdengar sangat mengerikan. Sua mengernyit. Mendadak membayangkan kehadiran Yoon di sini. Ia tak akan kelaparan, tak akan semenyedihkan ini. Ia nyaris melonjak saking terkejut dengan kehadiran Han yang tiba-tiba. "Bolehkah?" Sebelah tangannya menyentuh ujung sandaran kursi. "Ya, tentu," Sua mengangkat bahu. Canggung dan gugup untuk pertama kalinya benar-benar berhadapan dengan Han tanpa pengawasan Mom dan Dad. Han meletakkan sebuah penampan perak di pinggir meja. "Kau suka red velvet?" Matanya tepat memandang mata Sua. "Eh?" Sua tersentak bingung. "Oh, ya, tentu." Han meletakkan sebuah piring putih berisi potongan red velvet di hadapan Sua. Lalu segelas sampanye di sisinya. "Kau membawakannya untukku?" Pertanyaan bodoh, Sua langsung menyesal begitu kata-kata itu meluncur dari bibirnya. Han tersenyum dengan cara paling menakjubkan yang pernah Sua lihat. "Aku belum melihatmu makan apa pun." Bibir Sua terasa kaku, sulit untuknya membalas senyuman Han. "Terima kasih," katanya tulus. "Tak masalah," ia menggeleng pelan sambil mengangkat bahu. Sua mendapati dirinya belum mampu mengendalikan diri. Ia masih gugup. Terbenam kaku di kursi yang ia duduki. Apa yang harus ia katakan selanjutnya? Omong-omong ia baru sadar Han tidak membawa apa pun untuk dirinya sendiri. Kenapa ia tak makan? "Maaf untuk yang tadi." Sua mengernyit. Terkejut dengan ucapan Han dan nyaris tak mengerti. Lalu sedetik kemudian ia segera menyadari. "Itu bukan salahmu." Han mengangkat bahu. "Dia memang pengganggu yang menganggu." Keduanya tertawa. "Kenapa kau tak makan?" Sua takjub bisa menyuarakan pikirannya. Han menggeleng. "Aku tak lapar." Sua mengangguk-anggukan kepala. Kini jadi dua kali lebih canggung. Ia harus mengatakan sesuatu. "Laki-laki itu," Sua mengangkat bahu. "Bilang jika ia kolega ayah- maksudku Dad," Sua segera mengutuk diri sendiri, takut menyinggung perasaan Han. Sebaliknya Han tak terusik sama sekali. "Ya, begitulah," Han mengangkat bahu, membuat Sua seketika sadar mereka terus melakukan gerakan yang sama. "Namun bisa dibilang, ia menganggapku sebagai musuh sejatinya." Jadi Sua menyimpulkan bahwa Han juga merasa canggung, mungkin juga gugup. Jika ada orang lain yang memerhatikan mereka bukankah terlihat lucu keduanya terus-terusan mengangkat bahu. Sua tidak sadar Han menunggu jawaban. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri sementara Han masih terus menatap Sua. "Jika kau tidak menyukai sesuatu, kau bisa terus terang mengatakannya." Sua mengangkat wajah. Untuk beberapa alasan ia ingin terus menatap wajah itu. Mengabaikan apa yang barusan Han katakan, ia bahkan nyaris tidak mendengarnya. Han tersenyum untuk terakhir kali. "Baiklah, semoga harimu menyenangkan," ia bangkit dan berlalu. Sua terpana. Bahkan ia menyukai cara Han berjalan. Sejauh ini tidak ada apa pun yang tidak ia sukai dari laki-laki itu. Sebelah tangannya terlipat menyangga dagu. Lalu sebelah tangannya yang lain meraih garpu perak di sisi red velvet yang mendadak terlihat lebih menawan. Sua menghela napas panjang. "Ini kue yang istimewa," dan pandangannya kembali teralih pada sosok Han yang masih berjalan menjauh. Ketika Han berhenti melangkah, kembali bersama ke sekeliling orang-orang yang sejak tadi mengobrol dengannya, barulah Sua berhenti memerhatikan. Sua membenarkan posisi duduknya agar dapat makan dengan lebih nyaman. Sesekali memandang berkeliling untuk memastikan tak ada tanda-tanda Tae-Oh mendekat. Entah karena lapar atau karena kue itu dibawakan oleh Han, rasanya enak sekali dalam mulut Sua. Ia tersenyum puas. Soal Han, mendadak ia teringat. Memiliki masa lalu yang mirip dengannya. Ibunya dan ayah Han sama-sama bekerja di eropa. Mereka mencintai petualangan. Baik Han maupun Sua sama-sama menghabiskan masa kecil mereka di daratan eropa. Berpindah-pindah bersama orang tua tunggal mereka. Barulah ketika saatnya Sua masuk ke sekolah dasar, ia ditinggal Mom dan tinggal bersama kakek dan neneknya di Seoul. Memasuki usia remaja, ia sadar sama sekali tak keberatan tumbuh tanpa figur orang tua. Ia mencintai kebebasan. Dan saat-saat di mana ia bisa mengahabiskan waktu sendirian juga menyenangkan. Sua sendiri, tak pernah menanyakan perihal ayah kandungnya pada siapa pun. Ketika kelas dua SMP. Tanpa sengaja ia mencuri dengar obrolan keluarganya tentang orang tua Sua. Ayahnya, meninggalkan Mom ketika sedang mengandung dirinya. Pergi bersama wanita lain. Jelas alasan kenapa Sua banyak membenci laki-laki yang mencoba mendekatinya. Di luar sana orang mengatakan, cinta pertama seorang gadis adalah ayahnya. Jika memang begitu, cinta pertama Sua hancur tak berarti. Ia praktis membenci ayahnya. Kembali pada Han. Sua sama sekali tidak tahu menahu tentang keseluruhan hidupnya. Mom tidak menceritakan banyak hal. Hanya tentang di mana masa kecil Han dihabiskan dan usia Han yang tiga tahun lebih tua dari Sua. Sua berhenti makan. Selera makannya lenyap dan ia sudah tidak merasa lapar. "Sial, ini memuakkan," ia meraih sampanye dan menghabiskan dalam sekali teguk. Lalu bangkit dan pergi. Ia akan mengatakan pada Mom bahwa ia merasa tak enak badan dan butuh istirahat. Tentu bukan sekarang, ia akan menjelaskannya nanti. Dan meski merasakan Han menatapnya, Sua tak berhenti apalagi menoleh. Ia hanya ingin pergi. *** Pesta telah usai dan Sua tak repot-repot mengingat sebagian besar detailnya. Ia kira tidak akan ada hal lain yang akan mengganggunya hari ini sampai tiba-tiba Mom menelepon. Memberi tahu Sua bahwa Dad akan datang menjemputnya. Ia tak memiliki cukup alasan untuk menolak. Dan kini, mau tak mau, ia menunggu di halte di dekat kampus. Sendirian. Ia melipat ujung lengan kemeja oversived yang ia kenakan. Bergerak tak nyaman di atas sepatu sneakers yang membalut kakinya dan tak bisa berhenti memandang sekeliling. Mengira-ngira dari mana Dad akan datang. Apakah ia akan bersama Han juga? Sebuah mobil hitam menepi. Membuat Sua celingukan. Lalu menyadari siapa sosok di balik jok pengemudi. Itu Dad. Tanpa Han di dalam. Sebelum Sua melangkah mendekat Dad sudah lebih dulu turun, menyapanya dengan ramah dan membukakan pintu untuk Sua. Sua balas tersenyum, berharap tak perlu berpura-pura bersikap ramah. Ia mendudukan diri di jok penumpang dan mulai gugup. Canggung sekali hanya berdua bersama ayah tirinya yang sama sekali belum pernah ia kenal. Dad menanyakan pertanyaan biasa, semacam apa harimu menyenangkan dan hal-hal lain berkaitan dengan kuliahnya. Tidak ada yang spesial. Tetapi Sua tahu, Dad tulus baik padanya. Menit berlalu dalam hening dan Sua tak keberatan dengan itu. Ia merasa lebih nyaman tanpa harus banyak bicara. Oh ya, ia baru saja ingat tentang kejutan yang Mom sebut-sebut di telepon. Sua tak pernah menyukai kejutan dari Mom. Mengingat hal itu membuatnya spontan merasa mual. Firasatnya buruk. "Kau baik-baik saja, Dear?" Suara Dad terdengar cemas. Sua mengangguk. "Aku baik, Dad," berharap Dad tak perlu mencemaskan dirinya. Dan lebih berharap lagi Mom tidak melakukan sesuatu yang aneh. "Kau terlihat pucat," bolak-balik Dad mengalihkan pandangan dari jalan ke Sua. "Aku tak apa, ini biasa terjadi padaku," Sua mengangkat bahu, tak ingin membicarakan hal ini lebih jauh. "Omong-omong bisakah aku tahu apa yang Mom sebut dengan kejutan?" Ia meringis. Sudut-sudut bibir Dad terangkat. Secara keseluruhan ia bisa dibilang Han versi tua. Mereka cukup mirip, sama-sama tampan. Hanya memiliki senyuman yang berbeda. Dan jika diperhatikan lebih seksama. Warna mata Dad jauh lebih terang. Warna cokelat muda yang mengingatkan Sua pada Yoon. "Kau akan tahu," ada nada jahil di balik suara itu. Sua langsung bersyukur sekaligus merasa ngeri. Kali ini Mom benar-benar menemukan belahan jiwanya. "Apakah kau gugup?" Kali ini senyum Dad melebar. Menunjukkan deretan gigi-gigi putihnya. Sua menimbang-nimbang. Haruskah ia jujur pada Dad tentang kejutan-kejutan Mom selama ini? Sejujurnya ia tipe orang yang cukup menyenangkan diajak bicara. "Mom sering memberiku kejutan," sahut Sua akhirnya. "Sepertinya bukan sesuatu yang membuatmu terkesan," ia tertawa. Sua tak bisa tak ikut tertawa. "Mom selalu menggunakan caranya sendiri." Dad mengangguk setuju, bersemangat. "Ya, Seo-Hwa sangat istimewa." Mendengar nama Mom disebut membuat Sua tersenyum. Ia dapat melihat kejujuran di balik mata cokelat terang Dad. Laki-laki itu tulus mencintai Mom. Sekali lagi, ia bersyukur. Laju mobil melambat, Sua baru sadar ia belum pernah datang ke daerah ini. Mobil berbelok memasuki area jalan dengan hutan di sisi kirinya. Pagar besi menjulang sepanjang jalan itu. Bangunan-bangunan mewah, beberapa dengan desain victorian. Lalu gedung-gedung yang mayoritas berdesain klasik. Sua tak membohongi diri ia menyukai tempat ini. Namun sejauh yang ia ingat, apartemen Mom tidak melewati jalanan ini. Apakah mungkin Dad tersesat? Ia melirik ke arah jok pengemudi. Dad terlihat tenang. Mobil melambat dan memasuki sebuah rumah besar bernuansa putih. Pintu pagarnya terbuka dan mobil mereka langsung menuju ke depan garasi. Halaman luas dipenuhi tanaman. Bunga-bunga yang tak Sua tahu namanya. "Kita sampai, Dear," suara Dad menyadarkannya. Sua bergegas melepas sabuk pengaman dan melangkah turun. Dua balon raksasa di kedua sisi pintu dan sebuah banner kecil di atas bertuliskan "Welcome Home" mengingatkan Sua pada rasa mualnya. Seingatnya Mom dan Dad tidak akan menetap di Seoul. Alih-alih memasuki pintu, Dad justru menuntunnya ke halaman belakang lewat jalan setapak kecil di samping rumah. Sua cukup kagum dengan batu-batu bundar besar yang terbenam di tanah, serta rumput yang tumbuh rapi tanpa melewati alur jalan. Ia melonjak kaget ketika Mom menyambutnya, kelewat bersemangat dengan satu tangan memegang pencapit daging terangkat. Pesta barbeque. Hal yang sering ia lakukan bersama Mom. Ah, ia baru menyadari kehadiran Han. Ia sedang merapikan meja. Sebelum Han sempat menatapnya, Sua cepat-cepat mengalihkan pandangan pada kolam renang besar di sisi lain halaman. Nyaris mendominasi halaman belakang yang luas. Ia cukup terkesan. "Duduklah, Dear," Dad menarik sebuah kursi untuk Sua duduki. Sua memandang Han takjub, ia tak memandang Sua sama sekali. Sesaat ia menimbang-nimbang apakah akan duduk di sana atau tidak. Karena jika ya, ia akan duduk berhadapan dengan Han. Namun begitu mengingat Dad yang masih menunggunya, ia langsung bergegas, tak memiliki pilihan lain. Mom duduk di sebelah Han, berhadapan dengan Dad. Sebelah tangan Dad terjulur menyentuh tangan Mom dan keduanya tertawa. Sua memutar bola mata, bisakah adegan ini dihilangkan saja. Belum hilang rasa mual karena melihat kedua orang dewasa di sisinya saling menunjukkan kasih sayang satu sama lain, Mom sudah berceloteh riang tentang banyak hal. Dad menanggapinya dengan antusias. Sua tak ingin mendengar semua omong kosong itu. Jadi ia memutuskan berpura-pura sibuk dengan makanannya. "Sua, Dear," Dad menepuk bahu Sua pelan, membuat Sua terkejut. "Ya?" ia memandang Mom dan Dad yang memandangnya dengan tatapan bingung. "Ada apa, Sua? Kau tak memerhatikan apa yang Mom katakan?" Tak ada kekecewaan di balik suara itu, hanya ada sedikit kekhawatiran. "Maaf, Mom," Sua bergerak tak nyaman di kursinya, melirik Han sekilas yang masih tidak menatapnya lalu kembali pada Mom. "Bukankah kau senang dengan itu?" Mom memiringkan kepala ke satu sisi. "Tentang?" Tanpa sadar Sua ikut memiringkan kepala ke satu sisi. "Kejutan ini," Mom terlihat akan meledak karena terlalu senang. Sua membeku. "Oh, tentu," sahutnya ragu. Pesta barbequenya tidak buruk. Seketika Mom dan Dad menghela napas lega dan kembali berpegangan tangan. "Sudah kukatakan tak akan seburuk yang kita kira sebelumnya," kali ini Mom hanya bicara pada Dad. "Sua dan Han akan menjadi tim yang hebat," ia berseru diujung kalimat. Sua melongo, apa maksudnya? "Aku tak mengerti, Mom," Sua memaksakan untuk tersenyum. Tak ingin membuat Mom kehilangan kebahagiaannya saat ini. Mom memutar bola mata dan tertawa. "Oh, ayolah, dengan kita tinggal bersama mulai sekarang maka kita akan menjadi tim paling hebat di dunia, seperti Mom dan Dad, kau dan Han, lalu kita semua," senyum lebar masih menghiasi wajah itu. Sua merasa udara menipis di sekitarnya. Ia kesulitan bernapas. Ia? Han? Tinggal bersama? Sua mengalihkan pandangan pada Han. Laki-laki itu menunduk, Sua dapat menangkap kegelisahan di balik sikapnya yang berpura-pura tenang. Apakah Han sudah tahu tentang hal ini sebelumnya? Kenapa ia diam saja? Oh, sial. Sesuatu dalam diri Sua berteriak. Ia melirik Mom, namun begitu melihat kebahagiaan di wajah itu, nyali Sua langsung ciut. Demi Tuhan ia nyaris tak ingat kapan Mom terlihat sebahagia itu. Dan kenyataan ini membuat Sua ikut senang sekaligus tersiksa setengah mati. Mendadak Mom menoleh padanya. Sua terperanjat dan tersenyum lebar. Senyum yang terlalu dipaksakan tiba-tiba. "Mom, kukira kau tak akan menetap di Seoul," ia berkata sangat hati-hati, seolah hati Mom terbuat dari kaca tipis yang bisa pecah hanya karena ia tidak sengaja menyenggolnya sedikit. "Anak ini benar-benar tidak mendengarkan," Mom berpura-pura kesal. "Sudah kukatan Mom akan pulang dua atau tiga kali dalam seminggu. Ditambah Dad tidak perlu mengurus bar yang letaknya jauh dalam waktu dekat." Lagi-lagi Sua melongo. Otaknya mendadak berhenti bekerja. "Itu benar, Dear," kata Dad. "Kami akan mengusahakannya, kami janji," ia tersenyum begitu tulus. Tidak diragukan lagi, Sua kembali menciut di kursinya. Belum pernah ia merasa setidak berdaya ini. Seolah ia berhadapan dengan dua malaikat yang tak sanggup ia sakiti. Hatinya pedih sekali. "Dan kau akan punya kamar mandimu sendiri." Sua tak mengerti apa yang barusan Mom katakan, sepertinya ia sudah tuli dan seluruh inderanya mati. Ia membeku di atas kursi sialan itu. *** Pintu terbuka dan tanpa sadar Sua menahan napas. Ia nyaris tak berani menatap ke dalam ruangan. Namun begitu melihat raut wajah Mom yang bersemangat dan kelewat seneng, membuat Sua diam-diam mengerang. Ia memutar bola mata. Melirik sedikit ke dalam ruangan bercat putih. Ia mengerjap, sedikit lega. Okay, tak seburuk yang ia kira. Sua melangkah maju. Berhenti di ambang pintu dan memandang sekeliling. Sebagian dirinya menolak apa yang kini ia lihat. Rasanya mustahil. Untuk sekali dalam hidupnya Mom memberikan sesuatu yang sungguh-sungguh Sua sukai. "Kau menyukainya?" suara Mom di belakang menyeret kesadaran Sua kembali. Ia cepat-cepat menarik napas. Melangkah masuk, kembali memandang berkeliling dan mencoba untuk tak terlihat terlalu takjub. Entah kenapa kenyataan itu membuat Sua malu. "Sangat," kata Sua akhirnya. Seketika kelegaan menjalar keseluruh wajah cantik Mom. Hal pertama yang menarik perhatian Sua adalah rak buku di sisi kanan ruangan. Keberadaannya membuat dinding di belakang nyaris tertutup rapat. Terlebih banyaknya buku di dalamnya membuat Sua seketika merasa lapar, ingin segera melahap semua buku-buku itu. Dan yang paling membuat Sua ingin menjerit adalah kenyataan bahwa Mom tahu selera buku yang Sua sukai. n****+-n****+ karya J.K. Rowling, Stephenie Mayer, Akiyoshi Rikako, Haruki Murakami dan entah apa lagi yang ada di sana. Sebagian besar belum pernah Sua baca. Menit berikutnya Sua pun menyadari, beberapa novelnya di rumah sang nenek sudah dipindahkan ke sini. Ia tak tahan untuk tak mengerang saking senangnya. Lalu, jendela kaca super besar yang menjadi pengganti dinding. Menampilkan pemandangan indah hutan dan kolam renang di halaman belakang. Lagi-lagi Sua menahan napas. Kemungkinan dirinya akan tinggal di ruangan ini selamanya dan tak akan pernah ingin keluar. "Kau tak masalah dengan teddy bearnya?" Mom bertanya hati-hati. "Dad yang memilih itu untukmu." Sua berbalik. Memandang boneka beruang besar merah muda di atas ranjang. Mom tahu seumur hidup Sua tak pernah memiliki boneka, setidaknya setelah ia melewati masa kanak-kanak, bukan karena Sua tak suka. Melainkan terlalu gengsi untuk minta dibelikan. Sua berbalik lagi, kini langsung memandang Mom. "Aku suka, Mom. Aku suka semuanya. Terima kasih," kata Sua sungguh-sungguh. "Untuk Dad juga." Mom tertawa. "Tentu. Jadi nikmatilah waktumu di sini, jika kau sudah siap untuk mengemasi barang-barangmu Mom dan Dad ada di bawah." Sua mengangguk. Ketika akhirnya pintu tertutup dan langkah Mom tak lagi terdengar, Sua mengerang. Ia berlari dan nyaris menabrak rak buku, memeriksa setiap judul dan kebingungan seketika. Mana yang harus ia baca terlebih dulu. Ia berjalan menyamping, rupanya ada banyak n****+-n****+ lain yang belum pernah Sua kenali. Ia mengedikkan bahu, tak masalah. Setelah dipikirkan lagi. Sua rasa belum saatnya untuk membaca apa pun. Ia belum resmi tinggal di sini. Sua berbalik dan menyadari kini ia berdiri di hadapan cermin yang menempel di dinding, tepat di sebelah lemari. Memandang pantulan dirinya yang terlihat bersemangat membuat ia teringat pada Yoon. Ia akan memberitahu temannya yang satu itu dan mengajaknya datang besok. Sua melangkah lebar melintasi ruangan. Menuju sebuah pintu di sudut, sekitar satu meter dari cermin. Sebelah tangannya meraih pegangan pintu. Sementara pikiran Sua pergi, mengira-ngira apakah Yoon akan menyukai kabar ini. Pintu terbuka dan. "Wow, aku punya kamar mandiku sendiri." Sua melangkah masuk. Lalu seberapa terkejutnya Yoon jika Sua mengatakan akan tinggal satu rumah dengan kakak tirinya? Langkah Sua terhenti di depan bath up. Pikirannya kembali teralih. Membayangkan dirinya berendam sambil membaca buku membuat Sua merasa hangat. Kenyataan bahwa ia akan tinggal satu rumah dengan Han tak begitu mengusiknya lagi. Di rumah ini Sua memiliki banyak hal yang sangat ingin ia miliki di dunia. Sejauh ini, ia tak memiliki alasan untuk menolak semua itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD