Keterkejutan Yoon persis seperti yang Sua duga. Dalam beberapa hal seperti antusiasme, Yoon sangat mirip dengan Mom. Terlebih begitu Sua menunjukkan foto saat acara pernikahan, foto ketika Mom, Dad, ia dan Han bersama. Yoon memekik luar biasa keras. Ia mengenali Han pada detik pertama Sua menunjukkan foto itu, membuatnya menyesal setengah mati tak memakai penutup telinga.
"Astaga Han Kim, bagaimana bisa kau tidak menceritakan apapun padaku," sembur Yoon masih dengan volume di atas rata-rata.
Sua mendesah. "Kau tak bisa hadir, ingat?" Sahutnya malas.
Yoon menggeleng keras. "Bukan," ia nyaris berteriak.
Sua meringis, bertanya-tanya dalam hati apakah jendela kaca kamarnya akan pecah dengan volume suara Yoon.
"Maksudku, kau tidak mengatakan kakak tirimu adalah Han Kim," mendadak Yoon memelankan volume suaranya dan mengerut di tempat.
Sua nyengir semakin lebar. Yoon pasti baru mengingat bahwa Han Kim yang ia sebut-sebut kini berada dalam rumah yang sama dengannya. Tapi mengingat betapa luasnya rumah ini, dan kamar Han yang berada di area depan lantai satu, Sua rasa kemungkinannya kecil Han bisa mendengar Yoon sekali pun ia berteriak-teriak. Itu pun jika saat ini Han sedang berada di kamar tidurnya.
"Dia tak akan mendengar, kan?"
Sua mengangkat bahu sambil diam-diam menahan tawa, membuat kekhawatiran semakin terpatri jelas di wajah oval Yoon.
Yoon mengangkat bahu. "Kenapa tak kau katakan?" Ia berusaha bicara dengan suara normal.
"Aku tak mengerti, memangnya apa yang salah dengan Han?" Katanya dengan suara keras yang disengaja, membuat Yoon melotot sekaligus ingin balas berteriak.
Yoon memeluk teddy bear merah muda di ranjang Sua erat-erat. Jelas menahan diri untuk tidak meneriakkan apa pun yang akan ia katakan. "Kau tak mungkin tak mengenal Han Kim, dia kakak tingkat kita!" Sedetik kemudian Yoon memutar bola mata. "Oh ya, mungkin saja karena itu kau."
Sua menggeleng, masih tak mengerti. Namun ucapan Yoon tentang kakak tingkat itu menarik perhatian Sua lebih dari yang ia kira.
"Mereka sangat populer," mata sipit Yoon melebar, sesaat terlihat seperti akan menelan Sua hidup-hidup.
"Mereka?" Kali ini Sua tak dapat menutupi ketertarikan dari nada suaranya.
"Han Kim, kau tahu dia tampan, tinggi, tetapi dia nomor dua," kata Yoon ringan.
Sua mengernyit, ia tak suka mendengar Han memiliki julukan nomor dua.
"Kau harus melihat si nomor satu, aku pernah melihatnya sekali," Yoon mendadak menahan napas membuat Sua ikut tercekat. "Dia seperti tokoh anime yang keluar dari komik. Aku sampai tidak bisa bernapas saking terkejutnya, dia luar biasa tampan."
Yah, Sua memercayainya. Ia bisa melihat sendiri Yoon menahan napas sedemikian rupa membuat Sua mengira temannya yang satu itu terkena serangan jantung.
"Lalu si nomor tiga," wajah Yoon dua kali lebih cerah, matanya berkilat penuh semangat.
"Si nomor tiga," Sua mengulangi sambil mengangkat bahu.
Yoon tidak mengacuhkan Sua dan melanjutkan. "Dia pujaan hatiku, Ben, keturunan korea dan jerman. Mata birunya yang benar-benar biru, seolah kau bisa tenggelam ke dalam mata itu."
Sua tak bisa tak tertawa. "Oh ayolah, seberapa dalam mata biru anak itu, dua meter? Tiga meter?"
Yoon tak peduli. Ia memeluk teddy bear Sua penuh sayang. Alih-alih jijik Sua justru melihat sesuatu yang lain. Yoon jatuh cinta pada Ben? Sua menggeleng keras. "Ngomong-ngomong kenapa mereka mendapat julukan itu?"
Yoon menutar kepala memandang Sua, lagi-lagi menatapnya jijik seolah tak mengetahui apa pun tentang kakak tingkat mereka adalah sebuah dosa besar. Tetapi sebaliknya Sua justru takjub, bagaimana bisa Yoon mengetahu begitu banyak hal padahal mereka belum satu bulan masuk di kampus itu.
"Entahlah, aku hanya mengatakan apa yang orang lain katakan. Begitulah mereka menyebut Han dan gangnya," Yoon terlihat tak yakin, namun tak mengenyahkan tatapan jijik dari matanya.
Sua bergeming. Penilaian orang lain terhadap mereka bertiga sungguh jahat. Ia membenci orang-orang macam itu, menilai hanya berdasarkan fisik. Sungguh dangkal sekali. Sua mendengus mengejek. Mengalihkan perhatiannya kembali pada Yoon yang kini terlihat melamun.
"Ada apa?"
Yoon menyeret kesadarannya kembali. Menatap Sua linglung. Lalu seolah baru menyadari kehadiran Sua di sana. "Oh, aku hanya berpikir jika aku sering datang ke sini seberapa banyak kemungkinan aku bisa bertemu dengan Ben."
Sua tak yakin apa hal itu yang benar-benar Yoon pikirkan. Tapi ia tidak menanyakannya, ia tahu Yoon akan bercerita jika ia ingin. Sua mengangkat bahu sebagai jawaban. "Sejauh ini bahkan aku belum bertemu dengan Han," ia jujur. Ia memang belum bertemu dengan Han dan baru menyadari hal ini, apakah ini bukan sesuatu yang aneh?
"Aneh," Yoon berkomentar.
Sua bergeming.
Mendadak Yoon terlihat bersemangat. "Apakah Han suka berenang?"
Alis Sua bertaut heran. "Kena-"
"Kau bisa melihatnya dari sini, bukan," Yoon menunjuk jendela dengan dagu.
Sua mengernyit, ia dapat menangkap sorot ganjil dari balik mata Yoon. "Astaga, dasar m***m," Sua melempar bantal pada Yoon yang kini tertawa terbahak-bahak. Alhasil mereka menghabiskan sepanjang sore dengan perang bantal.
***
Sua duduk di samping jendela, memandang ke dalam kolam renang yang tampak gelap. Sebelah tangannya memegang buku yang terbuka tanpa benar-benar membacanya.
Malam kedua yang tenang di rumah ini. Obrolan sore tadi bersama Yoon membuat Sua menyadari beberapa hal yang kini terasa mengusik. Lucu jika Han sengaja menghindar, jadi Sua menepis pemikiran itu jauh-jauh. Lagipula mengingat kembali beberapa waktu lalu, Sua sendiri yang begitu sibuk dengan dunianya yang baru. Selama di rumah ia selalu membaca buku di kamarnya. Ia juga tidak bisa memasak, ia praktis tidak memiliki alasan untuk menggunakan dapur. Ia selalu makan di luar bersama Yoon. Sejauh ini Sua belum memiliki alasan untuk keluar dari kamarnya.
Sua mendesah. Menjadi kakak beradik dengan Han tidak mewajibkan dirinya untuk menjadi dekat dengannya. Sua meringis, itu konyol. Tepat ketika Sua akan bangkit, terdengar suara keras dari bawah. Sesaat kemudian ia dapat melihat seseorang muncul dari bawah air. Sua mengernyit, jantungnya berdegup dua kali lebih cepat dari semestinya. Apakah ada seseorang yang menyusup? Ini gila!
Sebelum Sua sempat melakukan apa pun, sosok Han muncul dari bagian dalam rumah. Tertawa bersama satu sosok lain. Seketika kelegaan menjalar ke seluruh inci bagian tubuh Sua. Bukan orang gila yang menyusup hanya untuk berenang di malam hari yang dingin. Sua menggeleng-gelengkan kepala, merasa bodoh sekali.
Detik berikutnya ia tercekat. Ia kembali memandang ke bawah. Laki-laki yang barusan melompat ke kolam renang mulai berjalan ke tepi. Ia tak dapat melihat wajahnya dengan jelas. Sua cepat menyadari, jika ia tak menyingkir dari tempatnya duduk, seseorang bisa menyadari keberadaannya. Sungguh sial, tepat ketika Sua bangkit Han mendongak. Mata mereka bertemu. Sua segera menyingkir sebelum kedua temannya mengikuti arah pandang Han.
Sua duduk di tepi ranjang. Memeriksa d**a dengan sebelah tangan. Jantungnya semakin berdegup kencang. Kenapa? Ia bertanya-tanya meski mengetahui jawabannya sendiri. Melihat Han ketika sedang tertawa mampu membuatnya terkena serangan jantung. Sua mendengus. Bukan salahnya jika ia bereaksi begini. Wajah Han entah berapa kali lipat lebih memukau saat tertawa. Dan barusan Han menatap Sua dengan senyuman yang masih tersungging di bibirnya. Sua menggeleng keras. Tak ingin berpikir yang tidak-tidak.
Mendadak Sua menahan napas, persis seperti yang Yoon lakukan sore tadi. Bukankah itu mereka? Yang Yoon sebut-sebut sebagai si nomor satu dan tiga. Sua melempar pandang ke jendela. Mengingat reaksi Yoon membuat rasa penasaran Sua bangkit. Ia ingin tahu seperti apa laki-laki yang membuat Yoon jatuh cinta. Sua bergidik ngeri, kata-kata itu membuat lidah Sua ngilu.
Kini ia menimbang-nimbang, apa ia perlu berpura-pura melakukan sesuatu di bawah, mungkin ke dapur untuk mengambil makanan atau apa pun. Dan ya, jika ia menceritakan hal ini pada Yoon, mungkin ia akan memutuskan untuk menginap di rumah Sua selamanya. Sua tertawa geli. Tetapi kemudian menyadari satu kenyataan yang tiba-tiba terasa pahit. Han sudah melihatnya. Akan aneh jika Sua yang sebelumnya tak pernah menunjukkan batang hidung di sekitar rumah tiba-tiba muncul. Mungkin Han akan menganggapnya genit atau semacamnya.
Sua menghela napas. Merangkak naik dan bersandar pada Mr Brian, boneka teddy bear merah mudanya, sore tadi Sua memutuskan untuk memberinya nama itu. Awalnya Yoon memprotes karena warna Mr Brian merah muda. Namun akhirnya setuju karena segera ingat dengan Brian O'conner, tokoh kesukaan Yoon dalam film Fast Furious. Secara keseluruhan Yoon tak terlalu menyukai film laga. Ia hanya ikut menonton karena Sua menyukainya.
Mengingat Yoon lagi membuat Sua terpikirkan satu hal. Bagaimana rasanya jatuh cinta itu? Sua tak yakin apakah ia pernah benar-benar menyukai seseorang sampai membuat dirinya terlihat seperti Yoon tadi.
Sua mengernyit, mendongak memandang jendela. Mungkin beberapa hal seperti jatuh cinta dan semacamnya tak berlaku bagi Sua. Hidupnya tidak mengenal omong kosong itu. Sua merasa tubuhnya mengejang dan rahangnya mengeras. Ia bangkit. Melepas gelang spiral dari pergelangan tangan dan menggunakannya untuk mengikat rambut. Sesaat memandang pantulan dirinya dalam cermin, melepas pakaian dan menghilang di balik pintu kamar mandi. Ia ingin berendam air hangat, itu membuatnya merasa lebih baik dalam keadaan apa pun.
Sua membenamkan dirinya sebatas hidung lalu memejamkan mata. Perasaan itu datang, perasaan yang belum pernah ia rasakan beberapa hari terakhir. Kesepian. Untuk pertama kalinya di rumah ini. Sua mengingat Mom dan Dad, ia juga jarang bertemu mereka. Sua tak tahu pasti ke mana mereka pergi, tapi mereka pantas mendapatkan waktu untuk berdua saja. Untuk berbulan madu atau apalah. Sua mengangkat kepala dari dalam air dan menarik napas. Itu benar, seharusnya Mom dan Dad menghabiskan waktu berkualitas berdua layaknya pengantin baru. Bukannya malah bolak balik ke tempat wisata terdekat dan memaksakan diri untuk pulang dan menemui ia dan Han.
Sua meringis begitu menyadari pengorbanan Mom dan Dad. Ia masih ingat raut wajah keduanya saat pulang larut kemarin malam. Begitu menyesal. Mereka menemui Sua langsung di kamarnya, saat itu ia sedang membaca buku, belum mengantuk sama sekali. Tetapi mereka mengira Sua sudah akan tidur karena sudah memakai piyama dan bersantai di ranjang. Dad terlihat begitu menyesal tak bisa menemani Sua hari itu. Membuat Sua bertanya-tanya apakah Dad mengira ia masih berusia lima tahun.
Yah, Sua menyadari, mungkin keputusan mereka membuat ia dan Han tinggal serumah membuat mereka merasa bersalah di lain sisi. Sua tahu pasti, ia jelas bisa membaca kekhawatiran di balik penyesalan Mom. Takut membuat ia mau pun Han justru merasa tak nyaman.
Samar terdengar suara ketukan pintu. Sua terkesiap. Lambat-lambat terdengar suara Mom memanggilnya. "Aku di sini, Mom," sahut Sua keras-keras.
Terdengar pintu terbuka dan langkah Mom yang berisik berhenti di depan pintu kamar mandi. "Kukira kau sudah tidur," katanya di depan pintu.
"Belum sama sekali, ada apa, Mom?" Sua nyaris berharap Mom masuk saja agar ia tidak perlu berteriak-teriak.
"Mom membawa makan malam spesial, kau akan bergabung, kan?" Kali ini suara Mom terdengar bersemangat.
Sua berpikir sejenak. Bukankah di bawah ada teman-teman Han. "Aku.. Sudah makan bersama Yoon," Sua menahan napas.
Hening sejenak. "Oh.. Baiklah."
Sua tak bisa mengabaikan kekecewaan di balik suara itu. "Aku akan bergabung lima belas menit lagi, jangan habiskan semuanya, Mom, kau tahu porsi makanku banyak."
Mom tertawa. "Sungguh? Baiklah, Mom akan menunggu."
Sua mendesah. Bingung juga pada dirinya sendiri. Beberapa waktu lalu ia bahkan berencana untuk turun agar dapat melihat teman Han, tetapi saat ini hal itu justru mengganggunya.
Lima belas menit berlalu terlalu cepat. Sua mengerang. Ia melangkah lambat-lambat. Dan ketika mendapati hanya ada Mom dan Dad di meja makan, Sua menyadari dirinya kecewa. Sebenarnya apa yang ia inginkan?
"Hai, Dear," Dad menyapa dengan bersemangat. "Han baru saja pergi untuk mengantar teman-temannya pulang."
"Oh," Sua menarik sudut-sudut bibirnya membentuk lengkungan senyum. Kebetulan sekali ucapan Dad menjawab pertanyaan yang ia pikirkan.