Bagian 5 II Nana Pov

2010 Words
-Cara mengatasi kesepian? Tonton semua video Youtube gue sama Trasquad! Gampang, kan?- -Batas Suci- Mungkin bagi sebagian orang punya kakak laki-laki yang umurnya tidak jauh beda dengan kita adalah hal yang paling di inginkan. Bisa jalan-jalan berdua, berkeluh kesah, dijadikan ojek, dan juga ladang cuan kalo lagi jajan. Tapi please deh, kenapa aku bukan salah satu dari sebagian orang itu? Menurutku, punya saudara laki-laki, apalagi seperti Kelvin adalah kesialan abadi. “Giliran mau di tebengi aja, ngilang! Anying emang” umpat ku yang saat ini ada di atas jok motor. Boncengan dengan kang ojol yang sedari tadi cerita dari A sampai Z tentang kehidupan masa SMA sampai dia punya anak, dan ya, aku tidak peduli. Riki, hari ini bolos lagi. Tuh anak keseringan bolos sekolah, lama-lama nasib nya juga mengkhawatirkan. Ingat dulu aku pernah menegurnya karena dia sering bolos, dan jawaban dia malah begini.. “Lo sekolah ujung-ujung nya buat cari kerja, kan, Na? Nah, tujuan lo cari kerja juga agar dapet cuan. Apa yang gue lakuin ini hanya mempercepat tujuan, nggak masalah kalo gue bolos, yang penting gue dapet cuan” Si anying emang! Yang ada di otaknya hanya cuan dan cuan, tidak ada yang lain. Lima menit setelah misuh-misuh di atas motor, akhirnya sampai juga di sekolah. Aku melepaskan helm berwarna hijau itu dan menyerahkannya kepada kang ojol. “Bayar pakai È-Pay ya, Mas” “Siap, Neng. Jangan lupa bintang limanya!” “Iya!” balasku setengah berteriak. Seraya berjalan kinda cepat, aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. s**l, pukul tujuh tepat. Aku menoleh ke belakang dan gerbang sedang di tutup oleh satpam sekolah. “Untung banget nggak telat.” Menambah kecepatan langkah, tiba-tiba saja aku kebelet pipis. “Aaaa..njing! Kenapa malah kebelet sih, mana jam pertama pelajaran bu Susi lagi” mau tak mau aku mengubah rute yang semula menuju kelas kini menuju kamar mandi. Saat melewati lorong, netraku tak sengaja menatap sosok yang sepertinya tengah berdebat di samping loker. “Kelvin, sama siapa tuh?” aku ingin mendekat, namun panggilan alam ini sudah tak bisa ditahan lagi, akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan langkah. Bodo amat sama cewek yang tengah bersama Kelvin tadi. -Batas Suci- Cklek! Aku melongok ke dalam kelas, belum ada guru, aman. Melebarkan daun pintu, aku tersenyum cerah ke arah teman-temanku. “Selamat pagi, bestaaaaiii!!!” sapaku seraya merentangkan tangan. Bukan menjawab, mereka justru menatapku dengan tatapan horor, perlahan senyumku memudar. Perasaanku jadi tidak enak, sepertinya ada yang tidak beres. Aku menatap teman yang duduk didepan bangkuku dia tengah melotot, melotot tak jelas. “Apaan sih?” tanyaku masih bingung. "NANA!!” Aku memejamkan mata, kaget anying! Refleks aku menoleh dan mendapati bu Susi tengah menatapku dengan tatapan, saya-siap-menghukum-kalau-kamu-tidak-segera-menyingkir-dari-hadapan-saya. Aku meringis, menampilkan deretan gigi ku yang rapi. Semoga tidak ada cabai yang nyangkut disana.  “Eh.. ibu..” Aku menggeser tubuh, lantas membungkuk seraya mempersilahkan bu Susi lewat. “Ibu mau lewat? Silahkan, perlu saya bawakan bukunya, bu?” “Dari mana saja kamu jam segini baru masuk kelas?!” Mendapatkan semprotan seperti itu, aku kembali membuka-menutup mataku. Menahan kesal lantaran aku bisa merasakan setitik jigong bu Susi mendarat mulus di pipiku. “Da-dari toilet, bu. Tadi pengen pipis” “Alasan atau sungguhan?” tanya bu Susi lagi seraya membenarkan letak kacamata nya yang melorot. “Sungguhan, bu. Nggak percayaan amat sama saya” aku menjawab sebari hendak berjalan menuju bangku. “Mau kemana kamu?!” bu Susi menahan tas ranselku, s****n! “Duduk, bu. Kan kelas mau di mulai, kalau saya berdiri disini terus nanti mereka pada protes, saya menghalangi papan tulis” Bu Susi meraih bahuku dan membuatku menghadap ke arah teman-teman sekelas yang saat itu tengah menatapku. “Kamu telat lima belas menit masuk kelas, sebagai hukuman, ucapkan undang-undang dasar 45, dan setelah itu kamu bisa duduk” Aaaaaa!! Terkampret-k*****t si bu Susi ini! “Tapi, bu. Ibu juga baru masuk kelas, kok nggak dihukum?” Bangsol! Ingatkan aku untuk memplester mulutku setelah ini. Tatapan super tajam bu Susi membuatku langsung menundukan kepala. “Undang-undang dasar negara Republik Indonesia, tahun seribu sembilan ratus empat puluh lima, pembukaan. Bahwa, sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan…………………………………………Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia” Seluruh kelas menahan tawa saat aku benar-benar mengucapkan UUD 45, yang untung saja aku hapal di luar kepala. Bu Susi akhirnya mengangguk, “Kamu boleh duduk” “Nggak sekalian sampai istirahat, bu? Nanggung banget loh tadi” Anj!! Ini mulutku kenapa nggak bisa di rem sih?? “Kamu mau emangnya?” “Nggak, bu, enggak” Bu Susi menggeleng-gelengkan kepala. “Lain kali jangan sampai terlambat, Na. Hargai waktu.” “Lebih baik terlambat daripada bolos, bu” Guru berusia 44 tahun itu menggeleng-gelengkan kepalanya lagi, lantas dia mulai pelajaran. Aku tersenyum tipis saat kedua temanku langsung menoleh ke belakang. “Gila lo, Na” ujar salah satu dari mereka. Rosa. “Nggak ngotak mulutnya kalo lagi ngomong” timpal satunya lagi yang punya wajah bak pinang dibelah dua. Risa. “Biarin ah, itu guru-guru sesekali emang harus di ajak main” “Palelu main!” mereka berdua kompak memakiku. Sementara aku hanya tertawa cengengesan. “Rosa. Risa. Nana. Kalau mau arisan jangan disini! Di luar sana!” -Batas Suci- Setelah 4 jam mati bosan di kelas, akhirnya bel istirahat berbunyi. Aku segera menutup buku dan langsung berdiri tepat setelah bu Susi melangkahkan kaki keluar dari kelas. “4 jam pelajaran bu Susi, nggak ada satu materi yang nyantol di otak gue” kataku. Rosa dan Risa kompak menoleh ke arahku. “Kebiasaan. Padahal kak Kelvin pinter banget loh, Na. Masa lo kayak gini sih” “Meskipun gue satu gen sama dia, komposisi otak kita beda” “Halah, alesan aja lo. Banyakin belajar makanya, Na, jangan nge-dugem terus” Aku menjatuhkan bokongku ke bangku lagi. “Ye, suka-suka gue dong. Lagian, kalian kalo gue ajak ngedugem juga ayuk-ayuk aja tuh” Keduanya lagi-lagi kompak, nyengir kuda ke arahku. “Udah ah, gue laper. Kantin yuk” “Kuy!” Rosa mengepalkan salah satu tangannya ke udara. “Eh, Na. Si Riki kenapa bolos mulu dah, sibuk banget kayaknya tuh anak” kali ini Rosa yang bertanya, dia ada di sebelah kiriku, sementara kembarannya ada di sebelah kanan ku. Mata ku menyipit, menatap ke arah depan sebelum menjawab pertanyaan Risa. “Sibuk banget dia mah. Sering begadang juga makanya suka bolos” “Nggak ditegur sama mama-papa nya ya?” Riki itu,.. bebas. Dia benar-benar bebas melakukan apa yang dia mau. Om Guntur dan Tante Olin tidak pernah mempermasalahkan setiap kegiatan Riki. Mau dia bolos, rajin sekolah, atau hidupnya cuma haha hihi doang dan jadi beban keluarga sepenuhnya. “Nggak. Dia bebas” jawabku singkat. Dulu, aku pernah bertanya ke tante Olin, kenapa dia begitu membebaskan Riki. Dan tante Olin hanya menjawab. “Yang tau baik buruknya setiap tindakan itu ya cuma orang yang bertindak, Na. Tante nggak mau ngelarang ini itu hanya karena menurut tante itu salah, Riki mau ngapain aja terserah, itu hidup dia, hak dia.” “Tapi kalo Riki salah jalan?” “Resiko, Na” “Tapi bukannya orang tua seharusnya mengarahkan ya, Tan?” Tante Olin saat itu tersenyum manis, lalu menjawab. “Betul sekali, mengarahkan, bukan memaksakan kehendak. Kalo ditengah jalan Riki kebingungan sama jalan yang sudah dia ambil, disitu peran tante sama om diperlukan, mengarahkan dia” "Dan kalau Riki nggak mau, yaudah, lagi-lagi itu hak dia. Yang penting, tante sama om sudah menjalankan tugas kami sebagai orang tua yang baik."  Sore itu, aku dan tante Olin banyak melakukan deep talk, aku sendiri jarang melakukan hal ini dengan Mama karena kesibukan yang tidak bisa diganggu gugat. Alhasil, setiap aku ingin menemukan cahaya di gelapnya malam, aku lari ke rumah tante Olin. “Lo sendiri udah lama temenan sama Riki, Na?” suara Rosa menyentak lamunanku, aku menoleh ke arah dia sebelum akhirnya menjawab. “Lumayan, dari SMP” “Dan kalian bertahan sama status temenan itu? Kalian nggak ada drama saling suka? Kejebak friendzone?” Rosa bertanya dengan menggebu-gebu, langkah kaki kita sampai di kantin. Setelah menemukan bangku kosong, kita duduk disana. “Gue sih nggak ada rasa apa-apa sama dia. Ya sayang, tapi sebagai teman, no more, no less” “Riki?” “Nggak tau” lagi, aku menjawab dengan singkat. Selama ini, setahuku Riki juga fine-fine aja sama status teman, dia nggak pernah menuntut apa-apa dari gue. Pokoknya, punya temen kayak Riki tuh sebuah berkat yang dikasih tuhan buat gue, disamping karma karena punya kakak macam setan, ya si Kelvin itu. Ibu kantin datang menawarkan menu makanan, pilihanku jatuh pada seblak dan es jeruk, sementara Rosa dan Risa memilih untuk makan bakso. Aku menatap Risa yang tatapannya entah tertuju pada siapa. “Lihatin siapa sih, sampe segitunya” kataku. “Tuh, temen sekelas kita. Udah beberapa minggu masuk sekolah, tapi kayaknya dia belum punya temen. Masa sendirian terus” “Perlu gue samperin nggak?” tawarku. Namun sebelum mendapatkan jawaban, aku sudah berdiri dan berjalan ke arah cewek yang duduk sendirian di pojok kantin. Tanpa izin dari cewek itu, aku duduk di depannya, menopang wajah menggunakan kedua tangan. “Hai” sapaku, menyungsung senyum manis. “Sendirian aja, gabung yuk sama temen-temen gue” lanjutku seraya mengerlingkan bola mata. Cewek itu nampak gugup. “Gu-gue, nggak deh, makasih” “Ih, gue nggak suka di tolak, ayok!” tanpa seizin dia aku membawa mangkuk berisi mie ayam dan gelas berisi air putih ke bangkuku. “Eh, eh!” dia mengikutiku. Cara cepat memaksa orang adalah mengambil barangnya sebagai pancingan. Aku meletakan makanan itu diatas meja. “Nah, gini kan enak. Lo nggak kesepian apa duduk sendiri terus” Cewek berambut panjang itu menatapku dan kedua temanku dengan bingung. “Kalian mau apa dari gue?” Sial, dia kira kita tukang bully apa. Aku mendongak, menatap wajahnya yang sedikit chubby. “Temenan sama kita, gimana?” “Na!” Risa memegang lenganku, aku hanya menaikan alis sebagai jawaban atas ketidaksetujuan Risa. “Oh ayolah, kita kan satu kelas, kenapa nggak temenan aja daripada lo sendirian sih?” "Tapi gue anak beasiswa, biasanya nggak ada yang mau temenan sama anak beasiswa kayak gue kalo nggak buat dijadiin babu. Dan gue, nggak sudi buat jadi babu, tujuan gue sekolah disini buat belajar, bukan jadi babu" Aku yakin bukan hanya aku yang melongo melainkan si kembar juga saat mendengar ucapan panjang lebar yang diucapkan oleh cewek pendiam itu. Demi tuhan, aku memang bukan orang suci dan selalu baik, tapi kali ini niatku pure karena ingin berteman, bukan menjadikan dia babu.  "Lo ngira kita bakalan jadiin lo babu hanya karena lo anak beasiswa?" Rosa yang sepertinya tipis kesabaran langsung tersulut emosi.  "Ros, udah. Jangan emosi" Risa melerai emosi saudara kembarnya. Aku menengahi. "Gini ya, gue belum tau nama lo, btw. Kita nggak ada niatan buat jadiin lo babu atau semacamnya. Lagipula, kita berteman juga nggak mandang status sosial, mau lo anak dari kalangan jetset atau anak pemulung sekalipun, kita nggak peduli. Niat kita cuma berteman sama lo" "Ralat. Niat lo." Rosa menatapku dengan tajam. "Udah, nggak usah dengerin, Rosa emang dikit emosian, aslinya dia baik kok" Setelah berupaya cukup keras untuk meyakinkan cewek itu, akhirnya aku berhasil. “Nama lo siapa?” selalu aku yang mulai pembicaraan lebih dulu, karena sepertinya cewek chubby itu sangat pemalu. “Bia” “Hai, Bia. Gue Nana, ini Rosa dan satunya Risa. Gue kalo bedain mereka pake t**i lalat sih, di pipi Rosa ada t**i lalatnya” “Kok lo bisa lihat, Na? Kan udah gue tutup pake foundation!” Rosa menyela galak seraya menatapku dengan tajam. “Yee, orang kelihatan jelas gitu kok, ya nggak, Bi?” aku menyenggol lengan Bia, sementara dia hanya mengangguk saja seraya mengaduk-aduk mie ayam nya. Sepertinya, cewek itu sudah tak nafsu makan karena ulahku yang suka memaksa, dan mungkin sedikit drama perdebatan untuk memulai sebuah pertemanan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD