Bagian 6 II Kelvin Pov

2112 Words
-Setiap orang punya cara sendiri untuk menyampaikan rasa sayangnya, jadi kalau gue bersikap menyebalkan, mungkin itu cara gue buat nunjukin rasa sayang gue yang gak bisa gue ungkapin pake kata-kata- -Batas Suci- “Bang, nasi goreng jeroan 2 ya, bungkus” “Sip, Mas. Tunggu dulu, antrian masih banyak” “Oke” Aku berjalan ke arah salah satu kursi plastik untuk menunggu pesanan nasi goreng ku siap, sepulang sekolah tadi, mama menelpon minta dibelikan nasi goreng jeroan yang letaknya tak jauh dari sekolah. Berhubung jarang-jarang sekali mama minta sesuatu, jadilah aku belikan saja. Satu untuk mama dan satu untuk papa. Ngomong-ngomong, besok mereka akan pergi ke Malaysia entah untuk berapa lama. Seraya menunggu, aku membuka sosial media, biasalah, anak muda kan memang suka begitu. Saat aku tengah asik mensecrol sosmed, tiba-tiba satu panggilan masuk, dari Nana. Dengan ogah-ogahan aku mengangkatnya. “Apaan?” “Gue mau pinjem laptop lo" “Buat apa? Punya lo sendiri kemana emangnya?” “Lagi ngehang, minta di servis” Aku memutar bola mata malas, “Yaudah, tapi nanti bayar biaya sewa beserta bunganya” “Loyo banget mulutnya, udah ah, pulsa gue abis buat nelpon lo” “g****k, orang lo nelpon pake wifi!” “Hehehe, bye-“ Sebelum dia melanjutkan ucapannya, aku segera memutuskan sambungan telepon secara sepihak. “Mas, udah nih” Aku berdiri, mengeluarkan selembar lima puluh ribuan dari dompet, setelah mendapatkan kembalian aku langsung keluar dari warung tenda nasi goreng tersebut. Namun saat hendak menjalankan motor, aku melihat dua orang melintas didepanku. Reno dan Fiersa. Haaah.. Mengenal mereka cukup lama tak lantas membuatku terbiasa dengan kedekatan mereka berdua. Aku pikir, setelah Fiersa resmi menjadi pacarku, dia akan sedikit menjaga jarak dari Reno, namun nyatanya, tidak. Hubungan mereka masih saja sedekat dulu. Mungkin disini aku yang harus bersikap lebih dewasa dengan membebaskan Fiersa mau berteman dan dekat dengan siapapun asal cewek itu nyaman. Tak mau banyak mikir yang malah akan membahayakan keselamatan ku saat berkendara, aku memutuskan untuk menghentikan semua ini dan pergi dari tempat nasi goreng. Perjalanan dua puluh menit ku tempuh, meski tadi macet untung saja tak separah biasanya. Memasuki jalan Senopati-yep, rumahku memang ada di daerah Senopati, Jakarta Selatan. Tinggal lima menit lagi aku sampai. Rumah bernuansa cream yang memiliki dua lantai itu adalah rumahku. Gerbang depan terbuka, disana ada benz milik mama yang tengah di panasi. Turun dari motor aku langsung masuk ke dalam rumah, “Maaa” panggilku menuju dapur. “Udah pulang, Vin” Aku menatap mama yang menuruni anak tangga seraya memasang anting, “Mama mau keluar?” “Ada arisan, mendadak banget.” “Terus ini?” aku mengangkat kantong plastik berisikan dua bungkus nasi goreng. “Nanti aja deh mama makan, kalo kamu mau, makan aja nggak apa-apa” lanjutnya, mama berdiri didepanku. “Ah, kurang ajar emang. Wangi banget nasi goreng nya” “Yaudah deh, biar nanti di panasin sama bibi. Aku udah makan di sekolahan tadi” “Gitu, terserah sih. Mama pergi dulu kalo gitu, bye bye” “Bye, Ma” Setelah menyerahkan urusan nasi goreng ke bibi, aku naik ke lantai atas menuju kamar. Pintu kamar Nana sedikit terbuka, namun aku tak tertarik mencari masalah dengan cewek itu. Sumpah ya, 18 tahun aku hidup, belum pernah sekalipun aku akur dengan Nana. Selalu saja ada hal spele yang kami ributkan. Baru saja aku mendudukan pantatku di kursi belajar, mendadak pintuku dibuka dengan tidak berperikemanusiaan. “Anj! Ketuk dulu b**o!” makiku pada Nana yang sembarangan masuk. Cewek itu menggigit bibirnya seraya menatapku. “Vin” panggilnya, “Gue.. soriii banget sori, Vin” “Apaan sih?” tanyaku, mendadak perasaanku jadi tak enak. “Aduh, gimana ya ngomongnya” Nana menggaruk rambut panjangnya, “Laptop lo—“ “Lo apain laptop gue?!” Aku segera menerjang ke arah Nana dengan perasaan takut, banyak file yang tersimpan disana. “Nana?!” Sorot  mata takut yang Nana tunjukan tak membuatku merasa iba sama sekali. “Kehapus.” “Apanya yang kehapus?!” “File lo. Gue nggak sengaja” Tanpa menunggu Nana lagi, aku langsung berlari menuju kamarnya dan mencari dimana letak laptopku. Benda itu teronggok di atas ranjang, segera aku mengecek file apa yang dihapus. Saat jemariku asik menggulirkan mouse, dan netraku menatap deretan nama data yang ada, jantungku berpacu dengan sangat cepat. File materi Olimpiade File materi kelas 12 File tugas Video File tugas-tugas Draft konten Catatan Traveler “NANA!!!!” Teriakku penuh amarah, ia menghilangkan banyak file yang ada di laptop ku. Apa yang Nana lakukan?! “Maksud lo apa, hah?!” tanyaku yang sudah tak bisa mengontrol emosi, Nana menunduk, jemarinya meremas celana pendek yang saat ini dia pakai. “Jawab! Apa yang lo lakuin sama laptop gue?!” “Kan tadi udah bilang kehapus pas gue mau mindahin data, gue salah pencet. Aaaa, sori banget, Vin” Nana menyatukan kedua telapak tangannya seraya memejamkan mata. Aku mengusap wajah kasar, “Lo tau File apa aja yang udah lo ilangin, Na! Bisa nggak sih sehari aja nggak bikin gue kesel?!” Cukup, Kelvin. Percuma saja kamu marah-marah toh filemu juga tidak akan kembali. Entah apa yang harus aku lakukan sekarang selain membawa pergi laptopku pergi dari kamar Nana dan membanting pintunya dengan sangat keras. Aku tidak peduli apa yang dirasakan oleh Nana saat ini, yang aku pedulikan hanya satu, aku mau semua file ku kembali. Menuruni anak tangga, aku akan pergi ke rumah Riki, setahuku cowok itu paling paham soal teknologi dibanding denganku. Untung saja untuk pergi ke rumah Riki hanya perlu jalan lima langkah dan sampai. Aku memencet bel, tak lama tante Olin keluar. “Kelvin” “Tan, Riki ada?” “Ada tuh, daritadi ngisengin Sasa terus, pusing tante” Asal kalian tau saja, kedatanganku bukan untuk mendengarkan keluh kesah tante Olin. “Masuk, Vin” Setelah dipersilahkan, aku berjalan masuk dan langsung menuju kamar Riki setelah tante Olin berteriak memberitahukan kedatanganku pada Riki. Di rumah ini tidak ada pembantu karena tante Olin yang mengurus semuanya. “Anjir, lo marah-marah cuma gara-gara file kehapus doang?” tanya Riki setelah mengutak atik laptop ku. “Lo sih nggak tau seberapa penting itu file buat gue” Riki fokus untuk beberapa saat, meski matanya fokus dan tangan kanan nya sibuk menggerakan mouse, nyatanya di tangan kirinya ada semangka yang dimakan sendirian dengan nikmat. “Lo nggak nawarin gue gitu?” Riki menatapku sekilas sebelum kembali menatap laptop. “Cih, kayak sama siapa aja. Kalo lo mau tinggal ambil tuh” “Ya kan pencitraan” “Udah nih” Baru aja aku ingin mencomot semangka merah merona itu, suara Riki menyela kegiatanku. Aku batal mengambil semangka lantas berjalan kembali menuju meja belajar Riki. “Lo cek dulu gih, seharusnya sih udah balik semua” “Gila, gila, kok bisa sih?” “Apa sih yang gak gue bisa?” balas Riki dengan sedikit menyombongkan dirinya. “Ada sih yang lo gak bisa” kataku, akhirnya aku bisa merasakan manisnya semangka punya Riki. “Dapetin Nana, lo nggak bisa tuh” Cowok itu menoleh ke arahku yang saat ini tengah duduk di ranjangnya. “Dalam hal apa dulu?” “Pacar” jawabku singkat tanpa ada yang ku tutup-tutupi. Selama ini aku menyadari kalau Riki menaruh perhatian lebih kepada Nana, hubungan mereka tidak cocok untuk disebut sebagai teman. Hanya orang-orang bodoh yang tidak menyadari betapa suka nya Riki pada Nana. “Nggak perlu menyangkal, semua orang juga tau kalo lo suka sama si nenek rombeng itu. Cuma dia aja yang g****k gak peka sama perasaan lo” timpal ku lagi sebelum Riki menjawab. “Selagi Nana nyaman juga seneng, gue nggak mempermasalahkan status” “Basi” Netraku tak sengaja menatap kamera yang aku beli kapan hari bersama Nana sebagai hadiah ulang tahun Riki. “Tuh kamera belum kepake ya?” “Belum.” “Sabi lah kapan-kapan kita hang out, buat coba kamera mahal” Kita berdua sama-sama terkekeh. Sepiring semangka untuk teman ngobrol tandas, aku memutuskan untuk beranjak pulang. Di depan TV aku berhenti lagi saat Sasa menatapku dengan penuh curiga. “Biasa aja, Sa, natap nya. Jangan kayak orang punya dendam gitu lo sama gue” kataku, mencomot chocochip milik Sasa. “Mas Kelvin ngapain lama-lama di kamar mas Riki” “Benerin laptop nih, lo pikir gue ngapain” “Beneran? Kemarin aku lihat mbak Nana di cium sama mas Riki pas mereka di kamar.” “Weeeh!” Aku spontan berdiri. “Jadi maksud lo, gue sama Riki juga bakalan ciuman di kamar gitu??” Dengan tampang tak berdosa, Sasa mengangguk. “Wah, nggak bener lo, Sa. Gue cowok normal tau, mana mungkin gue nyosor kakak lo” Sasa menutup toples berisi Chocochip nya, dia menatapku penuh minat. “Nyosor itu apa, Mas?” Tanpa aba-aba aku langsung menyerang Sasa, menciumi pipi gembul bocah itu. Habis, dia terlalu menggemaskan. “Mas Kelviiinnn!!!” Aku tergelak saat Sasa berteriak. “Nah, itu namanya nyosor, Sa” “Kak Kelvin! Jangan macem-macemin adek gue ya!” Riki datang seraya menenteng laptopnya. “Cium doang, Rik. Abis gemesin sih” aku mencubit pipi Sasa, tanganku langsung ditepis oleh sang empu. "Lagian lo juga sering macem-macem ke adek gue kan?" Riki menatapku dengan kening berkerut. "Maksud lo?" Sebelum beranjak aku menoleh menatap Riki yang duduk di sebelah Sasa. “Idih, sok gak paham. Lain kali kalo mau nyosor Nana jangan didepan adek lo yang masih bayi ini, kasihan otak polosnya jadi ternodai." kataku panjang lebar. "Masa dia ngira gue sama lo ngelakuin yang iya-iya cuma gara-gara berduaan di kamar tadi" Riki menatapku dan Sasa secara bergantian. -Batas Suci- “Tumben ngajak ketemu, ada masalah?” tanyaku membuka pembicaraan. Malam ini, tiba-tiba saja Fiersa menelponku dan memintaku untuk bertemu. Akhir-akhir ini hubungan kami berdua sedikit merenggang, mungkin karena kesibukanku, atau entah karena ketidakpeduliannya padaku. Fiersa masih diam, menatap kosong ke arah depan. Jagung bakar yang ada di tangannya masih setia berada di genggaman cewek berambut panjang dan berwajah pucat itu. “Fier?” aku memegang pundaknya pelan, Fiersa terhenyak, cewek itu menoleh ke arahku. “Gue lagi mikir, Vin.” Fiersa menjeda kalimatnya. “Apa sebaiknya kita berhenti?” Diam menyelimuti teras rumah Fiersa, kami duduk di undakan anak tangga hanya ditemani lampu taman dan sebonggol jagung bakar. Wedang ronde yang ada di sampingku bahkan belum kusentuh sama sekali. “Kenapa?” Helaan nafas terdengar keluar dari hidung mancung Fiersa. “Nggak ada yang bisa kita pertahankan lagi, Vin. Setahun, kayaknya udah cukup buat gue sama lo menciptakan kenangan-kenangan indah bersama.” katanya masih dengan suara lirih. “Selama ini gue coba bertahan dengan segala kesibukan lo itu, tapi rasa-rasanya gue nggak bisa lagi. Gue sayang sama lo, tapi lo nggak bisa jadi rumah buat gue pulang saat gue lelah” “Nggak bisa di pikirin lagi ya, harus banget putus?” Fiersa menatapku dengan intens, lantas mengangguk lemah. “Oke.” jawabku akhirnya. Satu tahun, Fiersa adalah cinta pertamaku, dia cewek satu-satunya yang bisa membuatku merasakan debaran yang begitu hebat saat tengah jatuh cinta. Dan sekarang, hubungan kami berdua harus selesai begitu saja. Aku tidak akan menangis meski aku sakit hati, aku sayang Fiersa, banget. Tapi apa daya, aku juga tidak bisa memaksa dia untuk terus bertahan kalau pada kenyataannya dia sudah tidak nyaman. “Kita putus baik-baik, kan? Gue harap, kedepannya kita juga akan terus baik-baik” katanya kemudian. “Nggak ada acara blokir-blokiran kontak gitu?” tanyaku dibarengi senyum tipis. Fiersa membalasnya dengan senyum yang tak kalah tipisnya. “Gue tau lo nggak se-childish itu, Vin” Aku mengusap rambutnya. “Apa setelah ini lo akan jadian sama Reno?” “Em, Vin” panggil Fiersa. “Soal Reno, gue mohon sama lo jangan berantem atau cemburu lagi sama dia. Karena sampai kapanpun gue sama Reno tuh hanya sebatas teman, nggak lebih” “Like Nana sama Riki?” Fiersa mengangguk.  “Tapi Riki suka tuh sama Nana, gimana kalo sampai Reno suka sama lo?” Aku menatap lamat-lamat wajah Fiersa hanya untuk menemukan sesuatu yang aneh, namun pada kenyataannya, aku tidak menemukan apapun.  “Kita nggak akan jadian kalo yang suka hanya sebelah pihak” jawab Fiersa tegas. Yah, karena sekarang Fiersa bukan lagi pacarku, jadi terserah saja dia mau bagaimana, mau dekat dengan siapa. “Udah malem, lo istirahat gih. Jangan sungkan kalo mau hubungin gue, siapa tau kangen” “Lo juga hati-hati pulangnya, jangan ngebut” “Sip, good nite, Fier” “Nite, Vin” Fiersa berdiri, “Ini ronde nya nggak diminum?” tanya dia saat hendak masuk. Aku yang sudah nangkring di atas motor menggeleng. “Bawa masuk aja, siapa tau art lo mau, kalo di buang sayang, kan?” “Hm, daaah”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD