"Morning," sapa Ratna melihat Amira tengah memasak di dapur. Gadis itu tersenyum ke arah omanya, "Morning too, Oma."
"Masak apa kamu, Dek?"
"Masak nasi goreng seafood, Oma buat sarapan kita," ucap Amira sambil mengaduk nasi goreng yang hampir jadi di atas wajan.
"Isinya apa saja? Om mu alergi seafood. Dia ngga akan bisa makan." Ratna tampak khawatir.
"Oya? Ya ampun Mira ngga tahu Oma. Aduh gimana donk. Udah hampir jadi nih." Amira kelabakan dibuatnya. “Kata siapa aku alergi seafood. Aku udah berobat dan dinyatakan sembuh,” ucap Rangga yang muncul mengagetkan Ibu dan gadis pujaannya.
“Jangan ngawur kamu, Rangga. Dokter Sinta bilang kalau…”
“Mom…Please. I know my body very well. Don’t worry I’ll be fine,” ucap Rangga sambil menatap Amira yang ketakutan. Ia pun duduk di kursi lalu membuka sebuah Ipad yang di bawanya. Ratna memilih duduk di depan putranya yang tengah asik membaca berkas kantor.
Sementara Amira tampak berdiri di dapur dengan cemas. Tanpa sadar ia menggigiti kuku-kuku jarinya. Semua itu tak lepas dari pengamatan Rangga melalui sudut matanya.
“Kamu mau berdiri disana seharian? Mana nasi gorengnya,” ucap Rangga membuat Amira kaget. “Eh… anu Uncle…”
Rangga mengangkat wajahnya dan menatap Amira. Seulas senyum ia berikan untuk Amira. “Mana nasi gorengnya. Aku laper dan harus balik ke kantor lagi untuk rapat.”
“Kamu yakin, Nak kalo kamu udah sembuh?” tanya Ratna cemas.
“Apa aku harus mengulangnya terus, Mom?” tanya Rangga jengah. Syena yang baru datang di buat kebingungan. “what’s going on here?” tanya Syena menatap ketegangan di antara Amira, Ratna dan Rangga.
“Adik mu keras kepala. Amira masak nasi goreng seafood tapi dia kekeuh mau makan. Padahal mama masih inget betul kalau alergi seafoodny parah dan bisa saja merenggut nyawanya. Tapi adik mu maksa mau makan nasi goreng buatan Amira.”
Syena melohok. Tangannya langsung melayang memukul punggung Rangga. “Are you crazy? Loe mau mati gara-gara alergi lo kambuh, hah.”
Rangga memegangi tangan Syena yang terus memukulinya. “Sakit! Loe kira gue kasur kapuk apa di pukulin kenceng-kenceng.” Rangga menyingkirkan tangan Syena.
“Ngga usah ikutan lebay deh. Gue udah berobat selama tinggal di luar. Kalian berdua ngga perlu selebay itu. Lagian gue Cuma makan dikit doank nasi goreng buatan Clara. Kata dokter Phillips dikit doank ngga masalah,” ucap Rangga sambil berdeham.
“Ngga. Elo ngga boleh ambil resiko. Nyawa lo taruhannya. Gila lo ya.”
“Apaan sih ah!” hardik Rangga. Ia mengulurkan piringnya ke arah Amira yang membawa nasi goreng buatannya. Rangga menarik kursi di sampingnya dan memberi kode agar gadis itu duduk di sampingnya.
“Tolong nasi gorengnya, Clara,” ucap Rangga sambil tersenyum ke arah Amira. Gadis itu menatap ibu dan neneknya yang sudah menunjukkan wajah-wajah cemas. Dengan perlahan gadis itu menyendokkan nasi goreng buatannya ke atas piring milik Rangga.
“Thanks,” ucap Rangga dengan senyum lebar. Ia pun mempersilahkan ibu, kakak dan juga Amira untuk segera sarapan. Mereka pun makan dengan hati was-was. Di suapan pertama Rangga terbatuk dan itu membuat ketiga wanita itu memintanya untuk berhenti memakan nasi gorengnya.
“Sorry….Bikin kalian panik. Aku makan kecepatan.” Rangga tersenyum lebar sambil mengunyah nasi goreng buatan Amira. Ia mulai merasakan panas di perutnya. Padahal nasi itu masih ia kunyah di mulutnya tapi reaksi alerginya berjalan dengan cepat.
Rangga pun mencoba menelan nasi goreng buatan sang kekasih hati dengan susah payah. Ia tak ingin keluarganya panik. Apalagi Amira karena bagaimana pun juga gadis itu telah susah payah membuatkan dirinya sarapan.
“Humm… it’s really good, Baby.” Puji Rangga sambil mengacungkan kedua jempol tangannya ke arah Amira yang duduk membeku di sampingnya.
Semburat merah mewarnai wajah cantiknya yang tengah tegang. “Thanks Uncle atas pujiannya.”
Entah mengapa perasaan Amira tak enak melihat Rangga menyantap nasi goreng buatannya dengan lahap. Pria itu memilih beranjak masuk ke dalam ruang kerjanya setelah menghabiskan sarapannya. Tinggallah dirinya, Ratna dang Syena yang masih terheran-heran melihat Rangga yang tampak baik-baik saja memakan nasi goreng seafood.
***
Rangga memuntahkan isi perutnya di kloset. Tubuhnya menggigil hebat dan terasa lemas. Ia memukul tembok kamar mandi ruang kerjanya karena harus memuntahkan nasi goreng buatan Amira. Ia tak berdaya menghadapi alerginya yang tak bisa disembuhkan. Tapi ia juga tak menampik ingin memakan apapun yang di buatkan oleh gadis kecilnya itu.
“Hoeeek…Hoeeek…”
Rangga membungkukkan lagi badannya dan cairan isi perutnya keluar dari mulutnya tanpa bisa ia tahan. Ia menyandarkan tubuhnya di dinding kamar mandi. Pandangannya mulai doble dan berkunang-kunang.
Ia mulai merasakan sesak nafas. Ia juga merasakan gatal di sekujur tubuhnya. Rangga menatap tangannya yang sudah mulai membengkak di beberapa tempat. Ia mencoba berdiri sambil berpegangan pada apapun yang bisa ia jadikan pegangan.
Ia membuka laci meja kerjanya. Tangannya mengobrak-abrik isi laci mencari sesuatu. Rangga sesekali memegangi lehernya yang tampak mulai tercekat. Nafasnya tersengal tapi ia mencoba untuk tenang.
“Are you looking for this?” ucap Amira yang membuat Rangga kaget. Gadis memegang sebuah botol kecil yang berisi obat anti alergi miliknya.
“Ba…by…”
Amira berlari ke arah Rangga. Ia memeluk tubuh Rangga dengan erat. Tangisnya pun tak bisa ia bendung lagi. “Why… why do this, Uncle?” ucap Amira marah dan kesal menjadi satu.
“Because I love you, Clara,” ucap Rangga terbata. Tangannya yang sudah bengkak mencoba menghapus air mata di wajah Amira. “STUPID!!”
Amira segera membawa Rangga berbaring di sofa bed yang ada di sana. Ia mengeluarkan satu butir obat anti alergi milik Rangga dengan tangan bergetar. “Two pills, please.”
Dua butir obat anti alergi telah masuk ke dalam tubuh Rangga. Pria itu merebahkan tubuhnya tanpa melepaskan tautan tangannya dengan Amira. “Apa Oma tahu?” Amira menggeleng.
“Good. Jangan sampai oma dan ibu mu tahu alergi ku kambuh.”
Rangga terbatuk dan mencoba bernafas dengan baik. “I’m sorry. I’m so sorry, Uncle. Gara-gara aku Uncle sampai kayak gini,” ucap Amira yang kembali terisak.
Rangga terduduk dan menangkup wajah Amira dengan kedua tangannya. “Aku yang salah sayang, bukan kamu.”
Amira menggelengkan kepalanya. Belum sempat Amira berbicara, sesuatu yang lembab dan basah menempel di bibirnya. Matanya terbelalak. Tubuhnya mendadak kaku. Rangga menciumnya. Bahkan tak hanya menempelkan bibirnya di bibir Amira, Rangga juga mencoba membelai bibir manisnya untuk membalas ciumannya.
Entah apa yang merasaki otak Amira, gadis itu membuka bibirnya dan membiarkan Rangga menang atas dirinya. Mata Amira perlahan terpejam dan mulai membalas ciuman Rangga. Tanpa sadar Amira duduk di atas pangkuan Rangga. Keduanya terlihat sangat intim. Atmosfer ruang kerja tiba-tiba memanas seiring dengan makin intensnya Rangga dan Amira berciuman.
***
“Oma dan kakak kemana?” tanya Rangga kepada gadis yang tengah berbaring dalam pelukan hangatnya. Jari jemarinya memainkan rambut indah Amira. Sesekali bibirnya mendarat di mulus di dahi Amira. Gadis itu tak banyak protes atas tindakan manis yang dilakukan oleh Rangga.
“Ngga tahu. Mereka pergi gitu aja sehabis sarapan.”
“Terus kamu ngga ikut mereka?”
“Gimana mau ikut. Feeling aku bilang harus samperin Uncle kesini. Dan bener aja Uncle kayak tadi dan itu bikin aku sedih.”
Air mata Amira kembali menetes dan percayalah Rangga ketar ketir melihat gadisnya bersedih. “Please, jangan nangis sayang. Hati ku sakit lihat kamu menangis seperti ini.”
“Makanya jangan bikin hal aneh-aneh lagi.” Gerutu Amira yang disambut senyum lebar Rangga. “I’ll promise you, Baby. Aku ngga akan bikin kamu sedih lagi.”
Amira mengangguk. Ia mengeratkan pelukannya. Rangga membalas pelukannya dan kembali menciumi bibir candu Amira yang menjadi candu baginya.