Pagi-pagi sekali, ponsel Abi berbunyi. Abi meraba-raba kasur sampingnya dengan mata terpejam. Setelah menemukan benda tipis itu, Abi sedikit menyipitkan mata untuk menyesuaikan penglihatannya dengan cahaya layar ponsel. Abi tersenyum saat menemukan dua pesan, salah satunya dari Tante Ana.
Pesan pertama.
M-Banking : Trx. Rek, xxxxxxxxxxxxxxx : CN MASUK KE TABUNGAN ANDA sebesar Rp. 2,000,000,00.
Pesan kedua.
Tante Ana : [Terima kasih, Bi. Lain kali, kita jalan-jalan lagi]
Ah, pagi yang indah sekali untuk Abi. Abi sibuk beguling ke sana kemari di kasur sempitnya. Setelah puas, Abi kembali memejamkan mata untuk melanjutkan tidur.
***
Ami sibuk menata nasi goreng ke dalam dua wadah. Satu untuknya, satunya lagi untuk Abi. Sesekali Ami bersenandung dan tersenyum kecil. Bi Latri yang sedang sibuk menggoreng ayam juga ikut tersenyum melihat nona kecilnya itu. Selesai menata nasi goreng, Ami mendekat pada Bi Latri. “Mbok, Ami boleh bantu?”
“Ndak usah, Non. Ingat terakhir kali Non Ami bantu Mbok masak? Gosong semua.”
Mengingat kejadian itu, Ami meringis. “Iya, deh. Ami bantu nyusun piring aja, ya?”
Tanpa mendapat jawaban, Ami langsung mengambil piring di dalam lemari dan membawanya ke ruang makan. Saat sedang sibuk menata piring di atas meja, terdengar suara seseorang muntah. Ami langsung berlari dan mengetuk kamar mommy dan daddy-nya.
“Dad, Mom nggak apa-apa?” Ami begitu cemas sekali, walaupun ini bukan pertama kali Ami mendengar Mommy Alea muntah, tapi tetap saja Ami khawatir.
Tidak lama, pintu kamar dibuka. Daddy Andrew muncul dengan Mommy Alea dalam gendongannya. “Tidak apa-apa, hanya morning sickness saja.”
“Tapi, Dad, wajah Mom pucat sekali.”
“Ami, semua ibu hamil pasti seperti ini.” Mommy Alea menyentuh pipi anak sulungnya. “Lebih baik kita langsung sarapan saja, ya?”
Menghela napas, Ami mengangguk sebagai jawaban. Mereka sama-sama menuju ruang makan. Kebetulan Alan dengan seragam SMP-nya sudah duduk tenang di kursi, satu tangannya memegang sendok, sementara tangan yang lain memegang ponsel. Alan itu kelas satu SMP, tapi kelakuannya seperti cowok dewasa, bahkan Alan lebih cocok jadi kakak daripada Ami.
“Alaneal Johnson, fokus makan saja!”
Kalau sudah Daddy Andrew menyebut nama panjangnya, mau tidak mau Alan melepaskan benda tipis itu. “Okay, Dad.”
Ami sudah duduk di samping Alan. Ami mengambil roti dan mengoleskan selai cokelat sedikit banyak. Karena Ami sama dengan Alea, penyuka makanan manis-manis. Sayangnya, Ami hanya mewarisi selera makan saja, tapi tidak dengan kepintaran. Alan-lah yang mewarisi kepintaran Alea dan Andrew. Adiknya itu begitu serakah, tidak menyisakan sedikitpun untuk Ami.
“Tumben Kakak makan roti, biasanya makan nasi?” tanya Alan.
“Lagi pengen aja.”
“Iya, sih, mau makan roti atau nasi, Kakak tetap saja bodoh!”
Ami melotot pada Alan. Saat akan memukulkan sendok ke kepala Alan, suara Daddy-nya menegur terdengar sangat dingin sekali. “Ami, Alan! Apa seperti itu di depan makanan?!” Daddy Andrew meminum kopi dengan santai, tapi tatapan tajamnya tertuju pada kedua kakak-beradik itu.
“Maaf, Mom, Dad?” Ami dan Alan menunduk.
“Lain kali jangan diulang lagi?” Mereka berdua mengangguk sebagai jawaban.
Selanjutnya, sarapan hanya terdengar dentingan sendok saja. Mommy Alea hanya menatap suami dan anak-anaknya dalam diam dan tidak ikut campur karena apa yang dikatakan Daddy Andrew benar. Tidak boleh berbicara saat makan adalah semboyan yang paling harus diingat sampai mati.
Alan lebih dulu menyelesaikan makan, setelah itu disusul Ami. Mereka berdua beranjak lalu menyalami Daddy Andrew dan Mommy Alea bergantian. Sementara di depan rumah, Mang Sapri sudah siap dengan mobil yang akan mengantar mereka ke sekolah. Setelah Alan dan Ami masuk, dengan perlahan Mang Sapri melajukan mobil.
Alan tidak menggunakan sepeda, karena jarak sekolah Alan lumayan jauh. Sedangkan Ami dilarang oleh Daddy Andrew maupun Mommy Alea. Pernah waktu kelas dua SMP, Ami ke sekolah menggunakan sepeda, bukannya sampai sekolah, Ami malah sampai ke rumah sakit karena terserempet motor. Ami itu sangat ceroboh, kadang berjalan saja dia bisa tersandung, apalagi menggunakan alat transfortasi pribadi, bisa-bisa tinggal almarhum saja.
Mobil berhenti di depan gerbang SMA Cendekia. Ami membuka pintu mobil, sebelum melangkah, Ami mengulurkan tangannya pada Alan. “Pamitan dulu sama Ami.”
Dengan ogah-ogahan Alan menyambutnya. “Sebenarnya gue yang lebih cocok jadi kakak.” Anak terong seperti Alan juga pakai bahasa gaul.
“Tapi Ami lahir duluan dari Alan. Jadi, Alan harus terima kenyataan itu.”
“Iya-iya. Hush, sana! Nanti gue terlambat!”
Ami hanya mencebikkan bibir. Ami langsung berbalik membawa kakinya memasuki gerbang sekolah sambil berpikir keras. Sebenarnya Alan itu adik Ami bukan, sih? Kok Ami selalu dijahati sama dia?
“Woi, Kak. Jangan dekat-dekat sama cowok, mereka semua berbahaya!”
Semua pemikiran-pemikiran buruknya langsung buyar mendengar teriakan Alan. Ami menoleh dengan senyum lebar sambil melambai-lambaikan tangannya. “Iya, Alan.” Tapi bukannya Alan dan mobil yang ditemukan Ami, melainkan jalanan yang kosong. Ami menggaruk kepalanya, salah tingkah karena itu.
Tatapan demi tatapan menghujami Ami membuat pipinya memerah. Bergegas Ami mempercepat langkahnya, berharap langsung sampai di kelas.
Sekitar sepuluh menit, akhirnya Ami bisa mendaratkan bokongnya di kursi. Tadi Ami beberapa kali hampir salah masuk ruangan, Ami benar-benar lupa kalau gedung IPS berada paling ujung.
Kelas begitu ramai, wajah-wajah asing begitu banyak dan di antara semua itu Ami belum berkenalan. Ami hanya tahu Nadira saja. Tapi kenalannya itu belum datang, sehingga Ami merasa tersisihkan sendiri.
“Ehm!”
Ami sedikit terkejut mendapati seseorang berdehem dan bangku sebelahnya di duduki oleh cowok berkacamata dan rambut berwarna coklat keemasan. Tidak hanya sampai di situ, cowok itu juga mengulurkan tangan pada Ami, tapi Ami malah menatap bengong tangan dan wajahnya bergantian.
Cowok itu salah tingkah, dia berdehem lagi dan mengusap tengkuknya. “Gue ngajakin lo kenalan.”
“Ah, Ami kira apaan.” Cepat-cepat dia menyambut. “Salam kenal ...” Sesaat Ami berpikir lalu menatap cowok itu lagi. “Eh, nama kamu siapa, ya?”
“Justin Pradipta.”
“Salam kenal, Justin.” Ami melepas jabatan tangan mereka dan tersenyum tipis. Setelahnya, Ami terus memandangi Justin tanpa berkedip.
“Kalau lo?” tanya Justin balik.
“Apanya?”
“Nama lo siapa?”
“Panggil saja Ami.”
“Oh, oke,” Justin mengangguk mengerti, sedetik kemudian Justin bertanya lagi, “Lo ngapain mandangin gue?”
“Karena wajah Justin aneh.”
Mata Justin langsung melotot. Yang benar saja, ganteng-ganteng gini dibilang aneh. “Bagian mana yang aneh?”
“Semuanya. Terutama rambut, warna mata dan cara Justin berbicara.”
Dari sini, Justin bisa menangkap maksud Ami. “Gue berdarah campuran. Mata ini turunan dari daddy gue, kalau cara bicara, itu karena gue masih baru di Indonesia.”
“Woah ...” Ami terkagum-kagum mendengar penjelasan Justin. “Keren! Ami baru kali ini lihat bule.”
Ah, Justin mengangguk-angguk mendengar jawaban Ami. Sebenarnya aneh juga, di Indonesia juga banyak bule, tapi kenapa cewek di depannya ini tidak tahu?
“Permisi, apa masih lama mengobrolnya?” Justin dan Ami kompak menoleh, Nadira berdiri di samping Justin sambil bersidekap.
“Sudah selesai, kok.” Justin bangkit. Dia melirik Nadira dari atas kepala sampai ujung kaki setelah itu kembali ke tempet duduknya.
“Siapa dia?” tanya Nadira yang baru mendaratkan bokongnya di kursi.
“Justin. Baru tadi Ami kenal sama dia.”
“Jangan tertarik sama cowok itu. Dilihat dari penampilan, dia tipe bermulut manis.”
“Emang Dira pernah rasain mulut Justin?”
Hampir saja Nadira dibuat mengumpat oleh Ami. Dua hari baru kenal, Nadira dapat menyimpulkan kalau Ami itu bodoh. “Itu istilahnya untuk cowok yang suka merayu cewek.”
Ami membulatkan mulutnya kemudian mengangguk-angguk tanda mengerti. “Kalau cowok bermulut pahit seperti apa, Dira?”
Nadira tarik lagi kata-kata Ami bodoh, sebenarnya Ami bodoh banget.
***