“Dira, mau temenin Ami ke kelas XII IPS 1?” Bel istirahat sudah berbunyi satu menit yang lalu. Saat ini, Ami sudah siap dengan tas kecil yang berisi bekal dan tumbler minum untuk Abi dan dirinya.
“Mau ngapain?”
“Mau ngasih bekal buat Kak Abi. Soalnya Ami sudah janji sama dia.”
“Sebenarnya hubungan lo sama dia apaan, sih?” Nadira memfokuskan pandangannya pada Ami.
“Ami pengen pacaran sama Kak Abi, tapi kata Kak Abi, Ami bukan tipenya. Jadi, kemarin kami berdua memutuskan untuk jadi teman.”
“Gila lo!” Nadira tidak habis pikir dengan Ami. “Terus, bekalnya ada berapa?”
“Ada dua. Untuk Ami dan Kak Abi.”
“Lah, ngapain lo ngajakin gue?”
“Nemenin Ami jalan. Ami ‘kan malu kalau sendirian.”
“Setelah nganterin lo, gue ngapain?”
“Dira lapar?” tanya Ami balik.
“Lapar,” jawab Nadira cepat.
“Nah, kalau Dira lapar, habis nganterin Ami, Dira ke kantin aja.”
Tangan Nadira sangat gatal ingin menoyor kepala Ami. Tapi, Nadira urungkan dan lebih memilih menjawab dengan kesabaran level 30. “Ami, lo nggak kasihan kalau gue capek bolak-balik?”
“Jadi, sebenarnya Dira mau apa? Mau ikut Ami sama Kak Abi makan bareng? Ami nggak pa-pa, kok, kalau bagi bekal sama Dira.”
Lagi-lagi tangan Nadira hanya terkepal, sangat ingin sekali menjambak Ami tapi Nadira pergunakan untuk mengusap d**a. Itu lebih baik daripada menganiaya. “Oke, gue temenin lo. Nggak pa-pa bolak-balik,” putus Nadira akhirnya. Demi kebaikan bersama, biarlah yang pintar seperti dirinya berkorban.
Senyum Ami terbit, segera Ami menarik Nadira ke luar kelas. Tangga menuju lantai dua dan tiga berada di samping kelas X IPS 5, mereka melewati dua ruangan lebih dulu.
Karena ini jamnya istirahat, tentu saja koridor dan tangga dipenuhi oleh siswa/siswi baik dari kelas X, XI, maupun kelas XII yang berbondong-bondong menuju kantin.
Sayangnya, di antara puluhan atau ratusan siswa/siswi itu, Nadira tidak menemukan kakak kelas yang dimaksud Ami tadi. Padahal Nadira berharap kalau berpapasan di koridor atau tangga, sehingga Nadira tidak perlu capek lebih banyak lagi.
Mereka berdua sudah menginjak koridor lantai tiga, Nadira ngos-ngosan menormalkan pernapasannya. Sedangkan Ami, gadis itu juga berkeringat tapi tidak seheboh dirinya. Malah Ami sibuk mengintip di kelas yang bertuliskan XII IPS 1.
“Udah, masuk aja.” Nadira gemas, di dorongnya badan Ami.
Ada lima orang yang tersisa di ruangan itu, Ami yang hampir terjatuh jadi salah tingkah dipandangi mereka. Ami menggenggam erat tas bekal dan tersenyum canggung.
Abi, Ace, Gino, Susan, dan Meta memandangi Ami. Empat dari mereka terlihat bingung, satu lainnya terlihat masa bodo dan tidak peduli.
“Nyari siapa, Dek?”
Tatapan Ami jatuh pada cewek rambut bergelombang, wajahnya penuh riasan seperti orang dewasa. Dia juga yang ada di samping Abi, bergelayut manja. Abi juga balas merangkul cewek itu. “Ami nyari Kak Abi.”
Ace berjalan mendekati Ami. “Apa yang kamu bawa?” Matanya menatap lekat wajah mungil Ami yang hampir menangis.
“Bawa bekal. Satu buat Ami, satu buat Kak Abi.”
Ace mengangguk paham. Segera Ace menoleh dan mendapati Abi bermesraan dengan Meta, Ace menghela napas melihat sahabatnya itu. “Susan, Gino, Meta. Lo bertiga ikut gue ke kantin.”
Tanpa banyak bicara, Gino dan Susan keluar lebih dulu, sedangkan Meta masih tidak bergerak dari Abi. “Kalian duluan aja, gue masih pengen sama Abi,” jawab Meta.
“Tidak bisa, Ta. Abi ada perlu.”
Mendengus keras, akhirnya Meta mau beranjak. Sebelum keluar, Meta melemparkan tatapan sinis pada Ami. Ami hanya menunduk, meremas kedua tangannya.
“Kakak ke kantin dulu, Ami?”
Ami mendongak kemudian melemparkan senyum pada Ace. “Makasih, Kak. Eh, Kakak kalau turun, bareng, ya, sama teman Ami. Dia sendirian di luar.” Awalnya Ace bingung, tapi dia memilih mengangguk dan beranjak keluar kelas.
Perlahan Ami mendekat ke tempat Abi duduk, Ami hanya berdiri di samping meja dan menatap Abi takut-takut. “Ami boleh duduk di samping Kak Abi?”
Tanpa mengalihkan tatapan dari layar ponsel, Abi mengangguk. “Ya.”
Dengan gerakan hati-hati, Ami duduk di samping Abi. Ami mulai mengeluarkan botol air minum lebih dulu, setelah itu bekal untuk Abi dan untuk dirinya. “Kak, ini bekalnya.”
Aroma nasi goreng menguar, secepat kilat Abi meletakkan ponsel di samping tumbler dan langsung menyuap satu sendok. “Enak banget.”
“Enak, kan? Ami juga suka.” Seperti Abi, Ami juga menyuap satu sendok nasi goreng ke mulutnya.
“Lo sendiri yang masak?”
“Bukan. Yang masak itu Mbok Latri, dia sudah kerja dari Ami belum lahir, loh.”
Abi mengangguk-ngangguk sebagai jawaban, pandangannya sesekali beralih menatap nasi goreng dan Ami bergantian. “Kenapa lo nggak belajar masak?”
“Ami nggak disuruh ikut masak. Soalnya kalau Ami masak, pasti dapur kacau.”
Satu suapan terakhir, Abi mendorong bekalnya. Kini pandangannya fokus pada Ami yang sedang minum. “Lo anak orang kaya?”
Cepat-cepat Ami meneguk air minumnya. “Nggak tau, tapi kata teman-teman Ami waktu SMP, Ami termasuk anak orang kaya. Daddy Ami punya perusahaan.”
“Oh, ya? Apa namanya?” tanya Abi, Abi juga meraih botol air yang tadi diminum Ami dan menegaknya.
Melihat itu, wajah Ami merona. “J Group,” jawab Ami pelan.
Mata Abi berbinar. “Kalau kaya, nggak bisa masak, nggak apa-apa. Tinggal bayar pembantu. Gampang, kan?”
Ami menggeleng tidak setuju. “Kata Mommy, anak perempuan harus bisa masak. Kalau nikah nanti, bisa masakin suami makanan kesukaannya.”
“Serah lo aja, sih.” Abi kembali mengambil ponselnya, tadi Abi sedang sibuk berkirim pesan dengan Tante Rita. Wanita yang baru Abi kenal lewat intagram pagi tadi mengajaknya ketemuan di Cafe sepulang sekolah.
Selesai mengemas bekal makan yang telah kosong, Ami menatap Abi selama lima menit. Tidak ada tanda-tanda cowok itu ingin mengajaknya berbicara, Ami memutuskan untuk pergi saja. “Kak, Ami kembali ke kelas dulu.” Karena tau Abi tidak menjawabnya, Ami bangkit dan berjalan sedikit cepat.
Belum kakinya menginjak koridor, Ami kembali ditarik masuk oleh Abi. “Kasih nomor lo.”
“Nomor?” tanya Ami bingung.
“Iya, nomor ponsel atau nomor w******p, apa saja yang penting aktif.”
Senyum Ami mengembang, dengan cepat dia mengambil ponsel Abi dan mengetikkan nomor ponselnya. Beruntung Ami hapal, kalau tidak, bisa rugi sekali Ami. “Nih, Kak.” Ami menyerahkan kembali ponsel Abi.
Sekilas Abi melirik layar ponselnya, kemudian mendongak. “Makasih bekalnya.” Dia menepuk kepala Ami. “Besok bawa yang lebih enak lagi.”
Rasanya d**a Ami akan meledak karena perlakuan Abi. Tidak bisa berkata apa-apa lagi, Ami mengangguk kaku dengan pipi memerah, setelah itu berbalik dan berjalan sempoyongan.
Abi terkekeh melihat itu, tidak buruk juga pikirnya. Sepertinya Abi berpikir ulang mengatakan Ami tidak menarik, cewek itu begitu lucu sekali saat merona.
Tatapan Abi kembali pada layar ponsel dengan deretan angka, Abi menyimpan nomor Ami dengan nama, ‘Si Mungil’.
***
Tepat bel pulang berbunyi, dering ponsel Ami juga ikut berbunyi. Dia mengambil benda tipis itu dari dalam tas lalu mengernyit kening bingung menemukan nomor baru mengiriminya pesan.
+6282324xxxxxx : Besok pulang sekolah ke kost gue.
Me : Maaf, ini siapa?
+6282324xxxxxx : Abi, your superhero.
Senyum Ami melebar sampai ke mata. Ami mendekap ponselnya di d**a dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan seperti apa. Membuta Nadira di sebelahnya bergidik geli dan menggelengkan kepala.
***