"Yah, gimana kalau perlahan-lahan kita mulai memperkenalkan Nadine pada anaknya Ramon. Ayah dengar sendiri kan, tadi malam Nadine bilang kalau sudah putus sama pacarnya itu. Siapa tahu kalau ketemu sama anaknya Ramon, dia langsung cocok." Ujar Rosa, berdiri di samping Wilan, menemani sang suami yang sedang memberi makan pada ikan lele peliharaannya.
"Ibu benar, namanya juga usaha kan, kita coba aja dulu. Kalau nggak di coba, mana bisa kita tahu hasilnya akan seperti apa." Timpalnya, sambil mengamati ikan-ikan yang berebut makanan.
"Ya sudah, buruan hubungi Ramon. Kita ajak ketemuan secepatnya. Kan lebih cepat lebih bisa jadi lebih baik." Rosa sudah tak sabar.
Wilan meletakkan ember ke bawah tanah. Mengambil ponsel yang ada di saku celananya. "Kita duduk di sana Bu." Ajak Wilan pada Rosa, menuju ke sebuah tempat duduk di emperan teras samping.
Rosa dan Wilan duduk. Baru saja hendak mengusap layar depannya, terlihat sebuah panggilan sudah masuk.
Kring! Tertera nama Ramon di layar.
"Lah, panjang umur. Ini malahan Ramon sudah telfon, Bu. Baru juga mau Ayah telfon. Udah nongol duluan." Ujar Wilan, menunjukkan ponselnya pada Rosa.
"Wah, itu namanya jodoh! Buruan angkat Yah."
"Hallo. Gimana Mon. Ada kabar apa? Hehe."
"Wil, nanti malam kamu sekeluarga ada acara nggak?"
"Nanti malam? Nggak ada acara. Memangnya ada apa?"
"Wil, nanti malam kita agendakan makan malam sama anak-anak ya!"
"Hah, nanti malam? Kok dadakan gini?"
"Iya nggak apa-apa lah. Yang dadakan biasanya langsung jalan. Heheh. Jadi gimana?"
"Hahaha, bisa aja kamu. Ya sudah, aku nanti pasti akan datang. Nadine juga pasti aku bawa."
"OK Wil. Aku tunggu ya!"
"Iya, Mon. Semoga niat baik kita demi anak-anak di ijabah sama yang di atas."
"Siap! Sampai ketemu nanti malam ya!"
"OK! Yok!"
Tutttttt! Sambungan telefon terputus.
"Gimana Yah? Apa kata Ramon?" Telisik Rosa.
"Nanti malam Ramon ngajak makan malam. Sama bawa Nadine juga tentunya. Itung-itung untuk perkenalan saja."
"Yang benar Yah? Ibu sih setuju-setuju aja. Ibu jadi nggak sabar, gimana ya nanti reaksi anak-anak saat ketemu? Semoga nggak mengecewakan ya Yah."
"Iya bu. Tapi Ayah khawatir, Nadine akan menolaknya, Bu."
"Jangan pikirkan itu dulu, Yah. Kita ajak dulu Nadinenya. Masalah yang lainnya nanti serahkan saja sama Ibu. Ibu yang akan mengaturnya. Ayah tenang aja."
"Wilan menatap sang istri. " Semoga niat baik kita dilancarkan ya bu."
"Aamiin Pak." Sahut Rosa dengan senyum lebarnya. "Kalau gitu biar Ibu sekarang uang kasih kabar ke Nadine ya, kalau nanti sepulang kerja harus langsung pulang. Nanti Ibu ngasih tahunya saat di rumah aja."
"Iya, terserah Ibu saja gimana baiknya."
Wilan meraih jemari istrinya, seakan mengatakan bahwa, semuanya akan berjalan sesuai yang mereka inginkan.
***
Reynor memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Hanya dalam waktu sepuluh menit ia sudah sampai di apartment Selena. Ia langsung naik ke lantai tujuh.
Sesampainya di depan pintu, Reynor segera memencet bel. Betapa terkejutnya Reynor saat melihat sosok berbeda yang ada di balik pintu. Seseorang yang tak asing baginya karena baru beberapa menit yang lalu ia melihat wajah itu dalam foto yang ada di unggahan sosial media milik Selena. Ya, laki-laki itu kini, benar-benar ada di hadapannya, dia adalah Leon, tunangan Selena.
Bugh!
Spontan Reynor menghadiahi laki-laki itu dengan sebuah pukulan keras yang mendarat di hidungnya, hingga tersungkur dan hidungnyapun mengeluarkan darah segar.
"Awwwww! Apa-apaa lo? Datang-datang main pukul orang!" Serunya seraya mengelap darah yang mengalir dari hidungnya.
"Hadiah yang pantas untuk orang yang udah berani merebut calon istri gue. Lo pantas dapatin itu!" Ucap Reynor setengah berteriak dengan menunjuk-nunjuk ke arah Leon.
Mendengar suara keributan, Selena yang tengah memasak di dapur segera keluar dan sudah mendapati Leon tersungkur di lantai dengan memegangi hidungnya.
"Leon! Astaga! Apa-apaan ini!" Selena panik melihat darah yang menetes hingga mengotori kaos yang di gunakan Leon. Selena ikut terduduk di bawah, dengan memegangi wajah tunangannya. "Hidung kamu berdarah sayang." Ucapnya panik.
"Apa kamu bilang, Sel? Sayang? Kamu panggil laki-laki b******k ini sayang?" Ucap Reynor tak percaya, tangannya mengepal menahan amarah.
Selena menatap tajam ke arah Reynoe yang masih berdiri di depan pintu. "Apa-apaan kamu Rey? Datang ke tempat orang malah bikin ribut? Kamu udah nggak waras ya?" Selena mulai terpancing emosi.
"Apa? Nggak waras? Kamu yang nggak waras Sel. Kenapa kamu malah memilih laki-laki b******k ini? Dia bisa ngasih kamu apa? Emas, berlian, tas branded,, atau apa? Apa selama ini aku kurang royal sama kamu. Semua yang kamu minta selalu aku kabulkan Sel. Kurangnya apa? Gue nggak bisa terima di giniin."
Selena bangkit, berjalan dengan terus menatap Reynor penuh amarah. "Leon memang tidak sekaya kamu!" Ucapnya seraya menyentuh d**a sebelah kanan Reynor. "Yang bisa ngasih limpahan materi yang tidak akan pernah habis. Tapi setidaknya dia lebih gantle, mau menemui orang tuaku untuk meminang. Itu yang nggak kamu punya. Bedanya sama kamu! Kamu itu pengecut! Cuma mikirin karir, karir, dan karir. Uang yang kamu kejar Rey. Sementara waktu untuk aku selalu nggak ada."
"Apa? Jadi kebersamaan kita selama bertahun-tahun ini nggak berarti karena dia menemui orangtuamu duluan?"
"Iya!"
Reynor membuang muka. "Heh, nggak asuk akal."
"Nggak masuk akal menurut otakmu. Tapi itu sangat berarti untukku." Ucap Selena tegas. Mendingan sekarang lo pergi dari sini. Dua hari lagi gue akan menikah. Gue nggak mau acara sakral dalam hidup gue terganggu karena masalah ini. Dan kalau lo ada waktu, lo bisa datang besok."
"Nggak akan ada pernikahan antara kamu dengan dia. Kamu harus menikah denganku! Sel, aku janji... "
Selena tiba-tiba memegang lengan Reynor.
Reynor menundukkan pendangannya, menatap tangan Selena yang menempel di lengannya.
"Cukup, Rey! Hubungan kita sudah selesai! Please jangan ganggu aku! Aku ingin hidup dengan tenang, aku ingin memulai hidup baru dengan seseorang yang bisa menghargai aku!" Nada ucapan Selena kini tak setinggi tadi. Matanya terlihat berkaca-kaca, mengharap pengertian dari Reynor.
"Tapi?"
Belum selesai Reynor bicara, Selena mmlepaskan tangannya dari lengan Reynor dan langsung meraih handel pintu.
Brukk! Selena menutup pintu.
"Selena!"
Dok! Dok! Dok!
"Sel, Selena! Buka pintunya! Aku belum selesai bicara! Tega kamu Sel ngelakuin ini sama aku! Selena buka!"
Reynor mematung di hadapan pintu, berharap Selena akan kembali membuka pintu dan mengubah keputusannya.
Hampir satu jam Reynor berdiri di tempat yang sama, namun Selena tak pernah kembali membuka pintu itu lagi. Kini, Selena benar-benar pergi. Tak terasa, air mata Reynor luruh, deras membanjiri pipinya.
Tak ada tanda-tanda harapan lagi, Reynor memilih meninggalkan apartment. Berjalan gontai, seperti tak bertenaga. Reynor hanya bisa meratapi kepergian Selena untuk selamanya.
***
Baru saja Nadine dan Vera berjalan beberapa langkah dari parkiran, nada dering ponsel milik Vera berbunyi. Sambil terus berjalan Vera mengambil ponsel yang masih tersimpan di tas gendong.
"Lah, tante Rosa?"
Nadine menoleh ke samping. Nyokap gue?"
Vera mengangguk. Lalu menyodorkan ponselnya ke Nadine.
"Hallo Bu. Kok telfon ke nomer Vera? Ini Nadine baru aja sampai cafe." Jawabnya terus berjalan.
"Ya kan HP kamu rusak. Kemana lagi kalau bukan telepon ke nomor Vera?"
"Owh iya, Nadine lupa kalau handphone Nadine rusak. Ada apa?"
"Nanti selesai kerja langsung pulang ya! Nggak boleh mampir keman-mana! Harus segera pulang!"
"Pulang cepat. Memangnya ada apa? Harus ya?" Nadine memajukan bibirnya.
"Pokoknya pulang aja nanti Ibu kasih tahu di rumah!"
"Iya udah deh, nanti selesai kerja aku langsung pulang."
"Bagus. Ya sudah ya, Assalamualaikum."
"Iya, waalaikumsalam." Nadine mengembalikan ponsel Vera.
"Kenape lo?"
"Kayanya kita ke hotelnya besok aja deh. Hari ini gua di suruh pulang cepat. Nggak tahu tuh Ibu, nyuruhnya dadakan gini." Ucap Nadine memajukan bibirnya.
"Ya udah terserah lo aja. Gue kan cuma sopir, ngikut sama penumpangnya lah. Yang penting bisa dapet bensin gratis aja, hehe."
Nadine menoyor kepala Vera. "Gratisan aja lo semangat! Iya nanti gue kabarin lagi."
"Asshiapp bu obos!"
***
Reynor membuka pintu utama rumah dengan kasar, hingga menimbulkan suara yang membuat Karina berjalan cepat dari ruang kelurga.
Karina mendapati Reynor kembali ke rumah, namun dengan wajah murka. Karina mencoba mengajak bicara dengan putranya itu.
"Rey, kamu nggak jadi ke kantor? Atau ada yang ketinggalan? Kok baru aja berangkat udah balik pulang?" Tanya Karina hati-hati.
"Malas, Ma!" Jawabnya singkat terus berlalu menuju ke kamarnya.
Karina yang rasa ingin tahunya mendadak muncul, mengekor di belakang Reynor.
"Kamu kenapa Rey? Kok mukanya kaya lagi marah gitu? Ada masalah di kantor?"
Reynor masih diam, membuka pintu kamar dan terus masuk ke dalam. Melemparkan tasnya ke atas sofa, membuka jasnya dan melemparnya asal, lalu dia sendiri membanting tubuhnya ke tempat tidur, memejamkan mata.
Karina duduk di sebelah Reynor. "Reynor! Kamu masih marah sama Mama soal tadi pagi ya? Maafin Mama ya Rey. Mama nggak bermaksud apa-apa. Mama cuma nggak mau kamu semakin sakit karena terlalu terobsesi mengejar Selena, sedangkan Selena sendiri sudah nggak memikirkan perasaanmu. Mama nggak mau lihat kamu terpuruk lagi, Rey. Mama ingin segalanya yang terbaik buat kamu. Mama sayang sama Mas Reynor." Ucapnya dengan nada suara yang makin melemah. Memandangi wajah padam putranya yang entah sedang memikirkan apa. Netranya mengembun, menahan buliran yang hampir saja jatuh.
Mas Reynor, adalah panggilan kesayangan Karina pada putra satu-satunya dari kecil. Ketika ia sudah mulai mengucapkan kata itu, artinya memang dia benar-benar tulus melakukan itu dari hatinya yang paling dalam, tidak ada kebohongan sama sekali.
Mata Reynor seketika terbuka, lalu menatap mata sang Mama yang sedang duduk di sebelahnya. Reynor bangkit.
"Ma! Aku udah nggak marah sama Mama." Memegang tangan Karina. "Please Mama jangan kaya gini. Aku nggak bisa lihat Mama sedih. Maafin aku ya Ma." Mencium punggung tangan sang Mama.
"Lalu kenapa kamu jadi seperti ini? Cerita sama Mama!"
Reynor menarik nafas. "Selena Ma. Dia benar-benar pergi! Aku harus gimana?" Ucapnya sendu.
Karina mengusap rambut Reynor. "Mama tahu ini berat, tapi Mama yakin, kamu bisa melaluinya. Selena pergi, itu berarti Tuhan tidak mentakdirkan kalian untuk bersama. Kamu harus ikhlas, Rey."
"Tapi apa aku bisa, Ma? Mama tahu sendiri kan, betapa aku sangat mencintai Selena? Delapan tahun kami bersama. Tapi kenapa seperti ini balasannya?"
"Rey, kamu nggak bisa sepenuhnya menyalahkan Selena. Bagaimanapun, kamu juga harus intropeksi diri."
Wajah Reynor berubah, "Maksud Mama? Aku yang salah?"
"Rey, sayang! Pada dasarnya seorang wanita itu butuh kepastian, butuh perhatian. Bukan soal materi saja yang ada di kepala mereka. Mungkin saat Selena meminta kamu untuk segera melamarnya, kamu secara tidak langsung menolaknya. Kamu selalu beralasan dengan pekerjaan yang tak ada habisnya. Mungkin dari situ datang laki-laki lain yang bisa memenuhi keinginannya, dan dia nyaman. Ya mungkin ini yang membuat dia memilih pergi. Kamu harus ikhlas, menerima kenyataan. Tuhan punya rencana yang lebih indah dari ini sayang. Percaya sama Mama."
Reynor bergeming, menatap mata Karina dalam. Ia memilih menjatuhkan kepalanya di atas pangkuan sang Mama. Cara ini yang selalu ia lakukan ketika dirinya sedang tidak baik-baik saja.
"Ma, Mama nggak tahu betapa hancurnya perasaanku saat ini. Tapi aku juga nggak mau bikin Mama khawatir. Aku nggak bisa hidup tanpa Selena, Ma."