Belum Percaya

2082 Words
Begitu sampai di Austin, keduanya sudah ditunggu oleh Tim Erik. Sembari memperkenalkan diri, Maudy menebak-nebak. “Ralph?” “Ya, itu aku.” Ralph adalah bagian manager umum yang bertanggung jawab untuk mengelola tim pembalap secara keseluruhan, termasuk mencari sponsor dan sumber pendanaan, mengatur strategi balapan, dan menangani logistik dan koordinasi bersama Maudy. “Kau menjaganya dengan baik bukan? Staminanya harus bagus.” “Tentu saja, aku menjaganya dengan sangat baik. Aku beri beberapa sayuran yang sehat,” balas Maudy sambil bercanda. Untungnya dia belajar Bahasa Inggris sebelumnya. “Tunggu, kenapa wajahmu lebam, Er? Kau baik-baik saja?” Maudy menelan salivanya kasar ketika duduk dikursi depan mobil, itu ulahnya. “Baik, aku tidak sengaja jatuh karena melihat wanita yang sangat cantik.” “Oh, c’mon, Man, jangan mulai lagi. focus pada balapan, dan kau akan mendapatkan wanita juga pesta,” ucap Ralph yang duduk bersama dengan Erik dibangku belakang. Maudy mendengarkan bagaimana Erik dan Ralph sedang menyusun jadwal dan rencana mereka untuk pertandingan mendatang. “Maudy, kau mendengarkan bukan?” “Ya, nanti malam aku juga akan ke sirkuit.” Bukan sembarangan hotel, Maudy sampai terpengangah melihatnya. Dia menyadarkan diri sendiri dan mulai terbiasa. Sebagai seorang manager pribadi, Maudy berjalan lebih dulu untuk bicara dengan resepsionis. Dari saran Detya, kamar Maudy dan Erik bersebelahan bahkan memiliki connection door. Tapi sekarang Maudy malah takut Erik melakukan hal-hal yang aneh. Selesai bicara dengan Ralph, kaki Erik langsung menyusul Maudy. “Biar orang lain aja yang bawain barangnya.” “Iya.” “Mau pesen makan dulu nggak? Dibayar sama perusahaan kok, bukan dari dana management kita.” “Nanti ajalah, mau tidur dulu.” 20 jam berada di pesawat nyatanya membuat Maudy pegal-pegal juga. “Kalau pusat operasional timnya di Indianapolis ‘kan?” “Iya disana. Tapi nanti gue bakalan minta sebagian dari mereka pindah ke Jakarta supaya tetep bisa lakukan persiapan. Musim balapan mau berakhir, jadi gue harus persiapan lagi, Mbak.” “Kata Mbak Detya, lu dulu tinggal di Indianapolis. Nanti kalau lu balik lagi kesana, gue juga harus ikut?” Ada nada kekhawatiran dalam pertanyaannya. Jadi Erik menoleh dan tersenyum. “Gak akan, kenyamanan lu prioritas gue, Mbak.” “Ih apaan dah. Gue serius.” “Gue juga. Udah terlalu lama di Indianapolis. Kangen sama Indonesia sekarangmah, apalagi ada cewek cantik kayak Mbak.” Kalau saja bukan karena dollar, Maudy akan mendepak muka itu. “Munduran ih, nanti keliatan CCTV lu disangka macam-macam, Erik.” “Ehehehe, gemesnya.” “Kalau lu butuh sesuatu tinggal telpon aja ya.” “Gak, gue gak mau ganggu cewek kesayangan gue buat istirahat.” “Erik ih!” “Iya, Mbak, iya,” ucap Erik langsung berhenti tersenyum melihat wajah kesal Maudy. Masuk ke kamar masing-masing, Maudy merebahkan tubuhnya dengan posisi tengkurap. Dia sudah rindu pada Mark. Teringat maalam sebelumnya saat menelpon, anaknya itu menangis ingin ikut pergi keluar Negara bersama Maudy. Untuk menghentikan tangisannya, Maudy mengizinkan Mark membeli ponselnya sendiri. Namun anak lima tahun itu tetap dalam pengawasan orangtua supaya tidak membuka hal-hal aneh. “Mama, hehehehe.” “Ketawa kamu, Markidi,” gumam Maudy melihat anaknya tersenyum. Di Austin baru jam 9 pagi, ssedangkan di Indonesia sudah memasuki jam 10 malam. “Tidur, Nak.” “Mama, jangan lupa oleh-olehnya.” “Iya, nanti Mama kirim.” “Kenapa kirim? Mark mau ke Mama dong.” “Gak bisa. kerjaan Mama yang sekarang gak boleh bawa anak kecil. Mark udah dibeliin hape sama Mama. Pake buat belajar ya.” “Iya kalau inget.” Duh bocah ngeselin amat, tapi ngangenin. “Eungghhhh… ahhhh…” “Mama, suara apa itu?” “Udah dulu ya, Mama mau istirahat dulu. Mark tidur juga, udah malem. Dadah.” Segera mematikan sambungan telpon dan berjalan mendekati dinding. “Anggghhhh…” Oke, suaranya berasal dari sana. “Maudyy….” “Anjirr dia beneran ngebayangin gue pas anu?” merinding seketika. Maudy memeluk dirinya sendiri berharap keluar dari situasi ini. Yakin sekali kalau Erik itu pecinta perempuan. Hal yang membuat Erik tertarik padanya pasti karena malam itu. “Nggak boleh, kamu harus bertahan. Dollarnya lumayan banyak. Kalau keterlaluan, bogem aja lagi.” Maudy langsung meraih koper dan memisahkan pakaiannya yang ketat. “Gak boleh, nanti dia langsung lahap gue.” **** Erik membuka ponselnya, masih ada beberapa foto dengan sang mantan disana. Sangat disayangkan dia tidak bisa kembali bersama dengan mantan terindahnya ini karena dia sudah menikah dan punya anak. Erik belum bisa berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Ini semua karena Erik yang menuruti perintah orangtuanya untuk menerima perjodohan dengan sahabat masa kecilnya. Namun lambat laun, Erik tidak bisa memaksakan diri mencintai sahabatnya. Dia menyayangi wanita bernama Stefi, tapi tidak sebagai seorang pria. “Andai gue lebih cepet ninggalin perjodohan itu. pasti lu bakalan sama gue sekarang.” Menarik napasnya dalam. “Tapi gak papa sih, gue nemu cewek yang sekarang sreg sama gue. Gimana ya… sama dia tuh serasa punya lawan yang imbang. Dia hebat banget dalam urusan management, apalagi kalau nanti nikah. Ah iya, dia imut juga.” Menggeser layar ponsel dan langsung memperlihatkan wajah cantik Maudy yang dipotret secara diam-diam. “Cantiknya.” Seketika membuat Erik menghapus foto mantannya dengan menggebu-gebu. “Bye bye byee, gue udah move on,” ucapnya dengan semangat. Karena sebelumnya Erik sudah banyak tidur, jadi dia butuh jalan-jalan untuk meregangkan otot. Hendak mengajak Maudy, tapi yakin kalau perempuan itu sedang istirahat. Jadinya Erik pergi sendirian saja. dia sudah dewasa dan terbiasa sendiri. membawa roko, kacamata dan topi supaya tidak mencolok. Malas kalau sudah diajak berfoto bersama. Ada banyak kenangan di Kota ini bersama dengan keluarga, jadi Erik memutuskan pergi ke Lady Bird Lake. Karena Erik adalah anak satu-satunya, maka dia dimanjakan oleh kedua orangtuanya. Sampai Erik sadar kalau kehidupannya seperti bukan miliknya, kedua orangtua Erik memaksa jalan hidupnya. Naik taksi menuju Lady Bird Lake, Erik menghirup udara disana sampai…. “Stefi?” Perempuan yang tengah memakan camilan itu menoleh. “Hai.” “Lu…. Ngapain disini?” “Lu tanding ‘kan? gue dapet kabar dari temen gue yang kerja di Bandara, katanya lihat lu mau ke Austin. Kirain gak main kali ini.” Erik mengerjap, bukan hal yang aneh Stefi datang ke pertandingannya, mereka bersahabat sejak kecil. Namun biasanya Erik hanya melihat Stefi dari kejauhan, memandang sahabatnya dan memilih tidak menemuinya. Karena apa? Stefi jatuh cinta padanya. erik tidak mau menambah luka sang sahabat, apalagi dia berpenyakitan. “Duduk. Atau gue pergi aja ya? lu ngerasa keganggu?” “Jangan. Duduk aja santai.” Erik ikut duduk disamping Stefi. “Sendirian kesini?” “Iya, sekalian cari inspirasi juga. Kan sekarang gue udah bisa desain baju bagus, punya brand sendiri.” “Woahh, keren. Bangga gue sama lu. Secara dulu itu lu suka guntingin baju gue biar lebih enak dipandang.” “Hahahaha! Inget aja lu.” Keheningan melanda selama beberapa saat. “Makasih lu udah dateng dibeberapa pertandingan gue selama dua tahun terakhir ini.” “Hmmm, masih ada yang peduli sama lu. Gue mau minta maaf, gara-gara perjodohan kita, lu sama keluarga jadi gak akur kayak gini.” “Bukan salah lu, dari sebelumnya emang gue sama BoNyok udah banyak salah paham.” Stefi menarik napas dalam. “Emang gak masuk banget kalau lu sama gue, Rik? Kita kenal udah lama. Kenapa gak mau nyoba?” Ini juga alasan Erik selalu menghindar, karena Stefi mengharapkan perjodohan itu terjadi. “Kalau lu emang belum cinta sama gue, gak papa. biar gue aja yang cinta sama lu. Dengan nerima perjodohan ini, lu juga bakalan akur sama keluarga.” “Gak bisa kayak gitu, Stef. Gue gak mau memaksakan. Ada banyak hal yang gue sesali kalau terus nurut keinginan orang lain.” “Lu bener-bener gak suka sama gue?” “Gue sayang sama lu. Tapi sebagai sahabat.” Menggenggam tangan Stefi dan menatap lama sahabat masa kecilnya itu. benar-benar menyayanginya, tapi hanya sebatas itu. “Gue berterima kasih atas cinta lu ke gue, gue juga berterima kasih pas kecil lu pernah nolongin gue nyampe dampaknya lu sesek sampai sekarang.” Stefi terkekeh. “Jangan bahas itu, gue gak nyesel udah nolong lu.” “Iya, tapi gue gak bisa kasih harapan lebih. Lu bakalan lebih sakit kalau maksa, Stef. Lu sahabat gue yang berharga, lu bakalan dapet cowok yang lebih baik.” “Seenggaknya…. Kita bisa temenan lagi ‘kan?” “Emang selama ini enggak? Lu anggap gue apa dong selama ini, Setan?” “Calon masa depan gue.” Niat hati Erik untuk bercanda, langsung diurungkan. “Tapi kayaknya sekarang gue bakaln hapus lu dari ingatan gue sebagai laki-laki yang sempurna. Lu enggak.” Hendak protes, tapi sadar kalau itu cara Stefi untuk melupakannya. “Iyalah, terserah lu aja.” “Nanti gue bilang ke orangtua lu juga, kalau gue udah gak mau dijodohin. Biar mereka akur juga sama lu.” “Jangan, Stef. Gak usah maksain. Nanti kalau mereka kangen, pasti bakalan datengin anaknya sendiri. gue PD kok, gue kan anak tunggal jadi warisan pasti ke gue semua,” ucapnya sambil tersenyum membayangkan betapa banyaknya harta kekayaan yang akan didapatkan. *** Erik masih bersama dengan Stefi. Karena mereka kembali lagi bersahabat, Stefi langsung meminta Erik untuk mengantarnya jalan-jalan dan makan makanan enak disini. Hal mengejutkan pula kalau Stefi bermalam di hotel yang sama dengan Erik. “Ih aslian gue minta maaf. Gue gak tahu kalau lu ada latihan.” “Santai, lagian masih ada jeda beberapa hari kok.” padahal sebelumnya Erik hendak protes kalau Stefi mengajaknya jalan-jalan. Tapi baru saja mereka berbaikan, masa iya sudah ribut lagi. “Lu nungguin gue lama dong? Kalau sampe pertandingan?” “Hehehe, lu gak sepenting itu juga kali. Jadi ada Brand yang mau kerjasama sama gue. Besok jug ague pergi ke San Marcos. Kesini Cuma mau ke danau ajasih, soalnya inget dulu lu cerita kalau tempat itu favorite lu sama keluarga.” “Hehehe, iya.” Rindu juga sih dengan keluarga dan ingin memastikan kalau mereka akan mewariskan semua uang padanya. jahat memang, tapikan itu haknya, hehehe. “Lu kesini lagi pas gue main?” “Iya kayaknya, kalau lu maen gue pasti nonton. Dan jangan khawatirin keluarga lu, gue bakalan nyoba ngomong baik-baik biar mereka gak berharap sama perjodohan kita lagi.” “Tapi lu bener-bener udah sembuh ‘kan? alasan gue dijodohin sama lu kan karena penyakit lu yang gara-gara gue pas kecil. Gue bisa bikin lu sembuh, asal gak usah ada ikatan pernikahan.” “Ya ampun, udah jangan bahas itu. ayok kita temenan kayak dulu lagi, Bangs*t.” Erik terkekeh dan mengusak rambut Stefi. Dia suka sahabatnya yang dulu. “Oh iya, anjiir. Gue ada janji makan malam sama temen. Lu diturunin didepan aja ya. gak papa?” “Sans.” Disisi lain, Maudy panic karena Erik tidak ada didalam. Ponselnya juga tidak aktif. Sebentar lagi jam makan malam dan mereka harus pergi ke sirkuit. Kepanikan itu bahkan membuat Maudy menolak panggilan dari kontak dengan nama Mark dan Emoticon Love. “Belum menemukannya?” “Maaf, aku benar-benar terlelap dan tidak mendengar kalau dia pergi.” “Bukan hal yang aneh untuk Erik pergi, tapi sampai melewatkan jam latihan sangatlah mustahil. Dia biasanya pergi ketika ada waktu libur,” ucap Ralph yang ikut panic. Mereka sebelumnya memeriksa kamar dan berharap Erik sudah kembali, tapi nyatanya tidak ada disana. Jadilah Ralph dan Maudy kembali turun melalui lift kaca dimana mereka bisa melihat pemandangan keluar sana. “Itu Erik?” Ralph menunjuk keluar kaca. Melihat Erik yang mengendarai mobil dan keluar bersama dengan seorang perempuan. Bahkan mereka berpelukan dulu sebelum berpisah. Perempuan itu kembali menaiki mobil dan pergi dari sana. “Ternyata sedang mengincar perempuan. Tolong buat dia focus lagi, Maudy. dia bisa b******a sepanjang malam kalau memenangkan pertandingan.” Maudy hanya tersenyum dan melangkah lebar pada Erik yang tersenyum melihat kedatangannya. “pasti kangen? Pasti nyariin ya? tau nggak apa yang gue bawa dari danau buat lu, Mbak?” mengeluarkan bunga kecil dari sakunya. “Anjir gepeng. Nanti kita jalan-jalan kesana aja ya kalau ada waktu luang.” “Lu abis dari mana? Sama siapa tadi? Kalau kemana-mana itu bilang. Jangan bikin gue panic dong.” Erik tersenyum. “Mbak, jangan panikan gitu. Gue pastiin lu gak jadi perawan tua kok, pasti gue nikahin nanti.” Fokusnya teralihkan pada Ralph. “Nanti kita ngomong lagi ya. jangan ditekuk dong mukanya, calon laki lu ini baik-baik aja. keluar tadi sama temen kok.” Menatap Erik yang melangkah menjauh sambil memeluk dirinya sendiri. “Bilangnya suka sama gue, ternyata jalan sama orang. Emang pendusta.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD