“Maksud lu apaan?”
“Lu nggak t***l, Mbak. Gue tahu kalau lu sadar sama ketertarikan gue. Jadinya, gue mau secara gamblang bilang kalau gue suka sama lu. Ya, terlepas dari malam yang pernah kita lewati dan berkesan buruk dimata lu, gue mau nunjukin secara terang-terangan kalau gue tertarik sama lu.”
“Rik, jangan bercanda deh.”
“Emang gue kelihatan bercanda?”
“Jangan bikin gue gak nyaman,” ucap Maudy pada akhirnya. Dia menatap Erik yang tersenyum padanya. Tampan rupawan dan keren sih, tapi Maudy sama sekali tidak tertarik dengan pria ini. “Jangan kayak gitu, tetep professional. Lagian mana ada yang baru beberapa hari kenal langsung suka.”
“Ada kok, gue suka sama lu pas kita pertama tidur bareng.”
“Mulutnya!” desis Maudy kesal.
“Iya pas malam itu. Kan pertemuan kita selanjutnya juga gue udah jelas liatin ketertarikan gue, Cuma lu aja yang malah bogem gue, Mbak. Sekarang lu jadi manager gue, jadi ayok kita mulai dari awal lagi. gue suka sama lu, dan gak ada yang gak mungkin.”
“Rik, lu bikin gue gak nyaman,” ucap Maudy mulai mundur ketika pria itu mendekatkan wajahnya. “Lu gak bohong kan?”
“Nggak dong. Gue mah gak pernah bohong kalau masalah perasaan.”
Disini, Maudy akan menegaskan. Dia menarik napasnya dalam dan berucap, “Oke, makasih karena lu udah suka sama gue terlepas apapun alasannya. Cuma gue juga mau menegaskan disini kalau gak akan ada kesempatan disini. Gue gak tertarik sama sekali sama lu. Gue Cuma anggap lu sebagai boss gue aja, gak lebih.” Maudy kira, dia akan mendapatkan protes dan tatapan tidak suka.
Nyatanya, Erik malah tersenyum padanya. “Udah gue duga kok, kalau lu bakalan nolak gue, Mbak. Tapi gue gak akan nyerah buat tunjukin dan buktiin rasa suka gue ke elu. Jadi nantimah jangan kaget kalau gue ngasih perhatian lebih.”
“Tolong jangan bikin gue gak nyaman,” ucap Maudy lagi.
“Mana ada yang gak nyaman kalau diperhatiin sama orang ganteng kayak gue.”
Tidak tahan, akhirnya Maudy mendorong kepala Erik dengan tangannya. “Sumpah deh, udah gue tolak juga. Jangan melampaui batas, hubungan kita Cuma boss sama manager.”
“Ihihihi, udah lega banget,” ucap Erik merasa puas mengeluarkan isi hatinya. “Nanti jangan lupa deketan sama race engineer kalau gue balapan ya, Mbak. Biar suara merdu lu jadi penyemangat gue.” Mengambil penutup mata dan mulai berbaring disana. “Mbak, jangan kecapean. Istirahat aja. nanti kita masih punya waktu dua jam soalnya transit di Korea.”
Maudy tidak bisa mengalihkan tatapannya dari Erik yang sekarang membaringkan tubuhnya dan tidur dengan cepat. Suara dengkuran halusnya bahkan terdengar. “Gak waras, baru confess langsung tidur gitu aja?” kemudiam Maudy menggelengkan kepala. Tidak mungkin pria ini menyukainya. Karena sekarang Maudy sedang berseluncur didunia internet, melihat bagaimana riwayat Erik bersama para jajaran mantannya.
Terkenal dengan sebutan lady killer. Maudy jadi teringat dengan perkataan Detya, “Kalau bisa sih arahin biar dia gak mainin cewek. Cuma ya itu kehidupan pribadi dia. Yang penting gak ngaruh sama kontrak ataupun performa balapannya dia. Laggian penggemarnya tetep bertambah meskipun dia gonta ganti cewek.”
Bukan pekerjaan mudah menjadi manager Erik, Maudy harus mengatur semuanya. Karena Erik suka sekali dengan anggur, dia bahkan meminta pihak bandara menyiapkan anggur dan beberapa kebutuhan untuk meningkatkan energynya jika sudah sampai di Lounge nanti. Karena Maudy orang yang teliti, dia membaca semua email yang pernah masuk. Untungnya Detya sudah mengkonfirmasi pada semua jalinan kerjasama kalau sekarang dirinya yang menjadi manager Maudy.
“Grhhhhhh…”
Menoleh mendapati suara dengkurannya semakin kuat. “Gak bisa nih, gak bisa,” ucapnya memilih berdiri dan mencari tempat lain.
Dikabin kelas utama, hanya ada 14 penumpang dengan jarak kursi yang luas. “Permisi, apa ada bar area disini?” bertanya pada pramugari.
“Ada, disebelah sana, Bu. Mari saya antarkan.”
Keuntungan kelas utama, Maudy jadi bisa merasakan fasilitas ini. Untungnya dia tidak terlalu bodoh, karena sebelumnya sudah mencari tahu. Ketika Maudy sibuk dengen pekerjaannya, tiba-tiba seorang pramugari mendekat.
“Mbak, maaf saya mau tanya.”
“Oh iyaa?”
“Mbak manager barunya Erik ya?”
“Iya, kenal sama Erik? Atau temen?”
“Ehehehe, dulu saya mantan pacarnya, Mbak.”
Woalahhh! Mantan pacarnya! “Oh iya, kenapa ya?”
“Malu sih sebenarnya. Dulu saya sering nanya ke Mbak Detya, tapi sekarang ke Mbak aja gak papa ya? mau tanya kalau Erik masih sama yang model itu, Mbak?”
“Kalau masalah kehidupan pribadinya, saya gak banyak tahu sih.”
“Tapikan seenggaknya pasti dengerlah siapa yang telponan sama dia, Mbak.”
Ingin sekali Maudy berucap, “Si Erik baru aja confess ke gue. Dia suka sama gue.” Tapi sadar diri, masa dirinya disandingkan dengan wanita-wanita cantik jajaran mantannya Erik. Sadar cantik dan seksi sih, tapi tidak sebanding dengan mereka. “Gak tau. Seriusan. Belum juga seminggu saya jadi managernya, jadi kami lagi focus dipertandingan.”
“Oh iya deh. Bilangin ada salah dari Ismi ya, Mbak. Yang dulu pernah muncak bareng.”
“Kenapa gak sampein langsung aja?”
“Malu, ehehehe.” Tersipu sendiri. “Kalau aja dulu saya lebih seksi, pasti Erik gak akan selingkuh.”
Maudy sampai heran, wanita ini masih tersenyum dan mengharapkan Erik ketika dirinya diselingkuhi. Jadi sudah fiks, dia tidak akan terbuai dengan jeratan si Lady Killer tersebut.
***
Mereka transit dulu di Korea. Karena Erik ini penumpang kelas satu maka dia mendapatkan The Asiana First Class Lounge. Sudah ada petugas juga yang akan melayani mereka secara pribadi. Biasanya jika keluar Negara seperti ini, hanya akan ada Erik dan sang manager beserta beberapa staff Erik yang ada di Jakarta. Namun sekarang ini Erik ingin leluasa menghabiskan waktu bersama Maudy, jadi ketika Maudy menyarankan membawa sang stylish, Erik menolak dengan alasan, “Nanti disana juga ada yang dandanin gue, Mbak.”
Membuat Maudy misuh-misuh, padahal stylish mereka suudah dibayar. “Wuihh gila,” ucap Maudy ketika memasuki Lounge yang begitu mewah. “Katanya kita punya waktu dua jam, lu tidur aja, Rik.”
“Tidur mulu, mau lihat keindahan lah.”
“Plis, jangan ngegombal deh. Gu-” ucapannya menggantung ketika melihat Erik sedang menatap keluar jendela. Oalah, keindahan itu toh. Maudy jadi malu sendiri. “Semua kebutuhan lu ada disini. Gue diluar ya.”
“Eh, Mbak, disini aja. lu kan belum tidur.”
“Nggak makasih,” ucapnya tetap melangkah keluar. Lounge ini memiliki tiga ruangan; kamar tidur, kamar mandi dan ruang bersantai. Wifi yang begitu kencang membuat maudy tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bekerja. Supaya nantinya jika pertandingan dimulai, dia bisa ikut menikmati.
“Mbak, mau makan.”
Haduh, lupa punya anak kecil. “Kan makanan udah ada didalem, Rik. Mau yang kayak gimana? Itu udah dipesenin sesuai jenis kesukaan lu loh.”
“Gak mau sendiri. mau disini aja, sama Mbak.”
“Lu kenapa sih ah?” Maudy bergeser saat Erik duduk disampingnya.
“Mau disuapin sama cewek yang gue suka.”
“Rik, jangan mulai deh. Tuh sana keluar, banyak cewek-cewek disana.”
“Kagak, orang gue sukanya sama lu. Kalau gue gak disuapin sama lu, gue gak mau makan ah.”
Maudy memandang Erik dengan penuh kekesalan.
“Lagian lu udah kebanyakan kerja, Mbak. Rileks, kerja jadi manager gue gak serepot itu kok. santai aja. Tarik napas dalam ya. mending kita ke spa pijat aja, lumayan 30 menit juga.” Erik memindahkan laptop Maudy ke meja dan menarik tangannya. “Ayo spa.”
“Emang gak bisa kesini apa? Kan ada layanan pijat.”
“Deket orang dipinggir. Nanti balik lagi sini langsung ada makanan.”
“Gak usah pegang-pegang,” ucap Maudy menarik tangannya dengan kasar. Merasa keterlaluan, Maudy berdehem. “Gak usah pegang-pegang, gue gak suka.”
“Maaf, refleks soalnya gue suka sama lu, Mbak.”
“Udah ah, ayok katanya mau ke spa.”
Lagipula Maudy lelah dan butuh ketenangan untuk sekarang. Dia mendapatkan ruang terpisah dengan Erik. Maudy tengkurap setelah berganti pakaian dan mulai merasakan pijatan. Aroma theraphy yang enak membuat Maudy akhirnya terlelap, tidak sadar kalau 30 menit sudah lewat.
Erik yang khawatir itu memaksa masuk. “Saya itu calon suaminya dia,” ucap Erik kesal, kenapa tidak ada yang mengenalinya sebagai pembalap disini?
“Biar saya yang bangunkan ya, Pak.”
“Gak usah, saya yang bangunkan. Tidurnya baru 30 menit, jadi pasti pusing. Tapi kalau lihat wajah saya, pasti langsung sumringah,” ucapnya berjongkok dan menatap wajah Maudy yang begitu anggun. Cantik sekali, pantas saja jantungnya seringkali berdetak kencang.
“Mbak, Mbak bangun,” ucapnya mengguncang tubuh Maudy. “Mbak. Ayo ke Lounge, kita makan dulu sebelum take off.”
Mulai membuka matanya dan kaget melihat Erik. Mana Maudy sadar kalau dia tidak pakai baju.
“Ayok ma-” BUGH! Oh, lebih dulu bogeman menghantam wajahnya.
****
Mendapatkan pukulan dari Maudy untuk yang kesekian kalinya, Erik hanya bisa menghela napasnya dalam. “Makannya jangan kayak gitu lagi loh, Rik. Malah bikin gue dalam masalah ‘kan.” Maudy mengobati luka Erik.
Karena tidak mau berkepanjangan, Maudy bahkan menyuapinya. “Makan yang banyak, lu harus tanding. Mana besok gue udah dihubungi sama Team katanya lu harus udah stay di sirkuit sore hari. Ada latihan fisik juga.”
“Udah komunikasi sama Team?”
“Dari sebelumnya juga udah.”
“Wah, cekatan banget. Kirain masih sama Mbak Detya. Idaman banget deh situ, Mbak.”
Maudy menyendok banyak nasi dan menyuapkan pada Erik hingga pria itu tidak lagi bicara. “Gue gak tertarik sama bocil kayak lu. Tolong bersikap sewajarnya kalau gak mau disinisin sama gue.”
“Gak papa disinisin sama Mbak. Yang penting gue ngerasa lega soalnya udah bisa memperlakukan cewek yang gue suka dengan baik.”
“Halah, pacar lu dimana-mana.”
“Kan akhirnya gue berlabuh di elu, Mbak. Yang lainnya Cuma masa lalu.”
“Gue gak tertarik sama cowok yang punya riwayat sama cewek.”
“Gak normal atuh, Neng, kalau gue riwayatnya sama cowok lagi. gimana sih?”
Asli, niat hati membuat Erik berhenti menggodannya tapi malah membuat pria itu semakin gencar dan menanggapi dengan santai. “Makan yang banyak. Abis itu istirahat bentar. Jangan ganggu gue ah, gue mau tidur,” ucapnya menyelesaikan pekerjaan mengurus Erik. Maudy membersihkan sisa makan sebelum berbaring di sofa.
“Dikamar aja, Mbak.”
“Gak mau. Jangan ganggu gue. Awas aja kalau deket-deket.”
“Dih, ganas bener. Gue suka deh.”
Merinding, Maudy menutup kepalanya dengan bantalan sofa dan terlelap sebentar. Dia butuh istirahat supaya nanti di pesawat bisa menghindari Erik lagi. berhubung duduk mereka berdampingan, jadi Maudy berencana untuk menjauh.
Sayangnya itu tidak berhasil, Erik terus menahannya untuk tetap duduk. Membicarakan terkait pekerjaan sambil sesekali diiringi dengan kalimat, “Mbak, lu cantik banget. Alangkah bahagianya gue kalau dapetin lu.” Belum lagi perlakuannya yang menaikan selimut Maudy, yang refleks dibalas dengan tepukan pada lengannya.
Balasan Erik? Dia hanya terkekeh. “Gak papa, yang penting gue udah perhatian sama cewek yang gue suka.”
Maudy masih keukeuh kalau Erik itu hanya mempermainkannya. Pasti dia ketagihan dengan tubuh semok dan indahnya. “Kita gak akan transit lagi ‘kan?”
“Nggak, mau tidur.”
“Iya deh, capek.”
Erik membantu Maudy membenarkan posisinya. Ketika ada pramugari mendekat hendak membantu, Erik menatap matanya tajam. Jadi Erik sendiri yang membantu. “Mau nonton film gak?”
“Nggak. Ini apasih? Yang penghalang itu ya? bisa dinaikin.”
“Jangan dinaikin lah. Nanti kalau gue ada perlu gimana?”
“Ck.” Berdecak kesal dan berbaring memunggungi Erik.
Risih juga diperhatikan pembalap itu. baru satu hari mereka menghabiskan waktu bersama, kepala Maudy sudah pusing. Rasa lelah mengalahkannya hingga perlahan terlelap. Erik gemas melihat pipi itu terjepit, dia menaikan selimut sang pujaan hati.
“Erik,” panggil seseorang.
Menoleh dan mendapati…. Mantan perempuan yang pernah bersamanya. “Kenapa?”
“Mungkin kamu ada waktu buat kita?”
“Maaf, waktu gue dihabiskan buat mengejar cinta calon istri gue,” ucapnya mencium puncak kepala Maudy yang sedang berbaring.
Sialnya, saat itu Maudy terbangun dan apa yang terjadi. Hendak memarahi Erik tapi ada pramugari disana. Kesal juga saat Erik mulai memegang tangannya. “Ini calon masa depan gue. Buat semua wanita yang mau ngejar gue. Maaf jalan kalian buntu.”